BERTUAHPOS. Rendang bukan hanya terbuat dari daging sapi atau kerbau. Di tanah asalnya, Minang, bahkan aneka daun tanaman pekarangan dan hutan pun diolah menjadi rendang yang lezat.
Surga rendang hadir di sepenggal Jalan Tan Malaka nan panjang di Kota Payakumbuh, Sumatera Barat. Di Kelurahan Sungai Durian, Payakumbuh Utara, toko-toko rendang kering berjejer rapi. Ada Toko Rendang Riry, Yolanda, Erika, Yen, dan lain-lain.
Toko-toko itu tidak hanya menjual rendang daging sapi atau kerbau, tetapi juga aneka rendang dari bahan yang orang kebanyakan tidak mengira. Tengoklah Toko Rendang Riry. Di sana tersedia rendang telur, ubi kayu, jagung, teri, bakso, hingga daun pakis dan daun ubi kayu. “Kami juga membuat rendang ikan tuna berdasarkan pesanan,”ujar Ratna Juwita (36), pemilik rendang Riry.
Awal Juli lalu, kami melihat pembuatan rendang telur di dapur Rendang Riry yang tampak sibuk. Di depan sebuah kuali, seorang ibu seolah tak henti-hentinya membuat dadar tipis dari adonan telur dicampur tepung dan sejumlah bumbu. Dadar tipis itu kemudian dipotong-potong dengan ukuran sekitar 4 cm x 6 cm.
Potongan dadar telur itu dibawa ke dapur lain dan dicemplungkan ke kuali besar berisi bumbu rendang yang masih menggolak. Setelah bumbu kering, potongan rendang yang sebelumnya layu menjadi kaku. Kami mencicipi beberapa potong. Teksturnya garing bagai keripik. Rasanya gurih berbalut bumbu rendang nan pedas.
Acara icip-icip beralih ke rendang lain yang berbahan standar, yakni daging sapi di toko itu. Namun, rendang sapi di sini dagingnya disuwir-suwir. Orang Payakumbuh menyebutnya rendang runtiah. Rasanya sama dengan rendang sapi, hanya teksturnya seperti abon yang kasar. Sementara itu, rendang ubi kayu dan jagung mirip keripik garing berbumbu rendang.
Harga rendang di toko itu sangat variatif. Rendang telur, ubi, dan jagung dijual seharga Rp 40.000 per kilogram, rendang daging suwir Rp 170.000, dan rendang paru Rp 150.000.
Ratna mengatakan, 80 persen rendang kering buatannya dijual secara curah ke Pekanbaru. Sisanya dijual ke daerah lain atau diborong pelancong yang mampir ke Toko Rendang Riry. “Yang paling banyak dicari itu rendang telur, sehari bisa habis 500-600 kilogram,”katanya.
Rendang belut
Masih banyak varian rendang yang bisa kita temukan di Tanah Minang. Di Lintau dan Batusangkar, kita bisa menemukan rendang belut yang dimasak dengan aneka daun dari tanaman yang tumbuh di pekarangan rumah hingga hutan belantara. Djasmalinar (50), warga Lintau, mengatakan, jumlah daun yang dipakai untuk rendang belut sekitar 100 jenis, antara lain daun ruku-ruku, aneka puding (puring), surian, daun asam kasambi. Ibu-ibu Lintau biasanya memilih membayar orang khusus untuk mencari dedaunan tersebut.
Proses memasaknya hampir sama dengan rendang daging. Santan pati dan bumbu dimasak hingga mengeluarkan minyak. Setelah itu masukkan daging belut yang sebelumnya telah dibakar disusul dedaunan. Rasanya luar biasa. Gurih daging belut yang terjebak di daun-daun tersebut berpadu dengan rasa santan yang manis dan pedas cabai. “Kita cukup makan daunnya saja sebab rasa belutnya sudah pindah ke daun,” ujar Puti Reno Rhaudatuljannah Thaib, pewaris takhta Istana Pagaruyung yang hari itu memasak rendang belut.
Rendang belut, kata perempuan yang akrab disapa Rhauda itu, termasuk makanan istimewa karena hanya dibuat untuk pelengkap upacara adat. “Menu ini jarang sekali dikonsumsi sehari-hari karena proses membuatnya sangat merepotkan dan panjang,”ujarnya.
Di Lintau, rendang belut dibuat menjelang Ramadhan sebagai persediaan lauk selama puasa. Menjelang Lebaran, masyarakat membuat lagi rendang belut untuk oleh-oleh perantau yang mudik.
Selain di Tanah Datar, rendang belut juga dikenal di daerah Agam, Solok, dan Lima Puluh Koto. Ketiganya adalah daerah yang memiliki banyak sawah, kebun, dan hutan tempat belut dan aneka dedaunan untuk rendang.
Rendang itik
Di Nagari Kapau, Bukittinggi, rendang yang amat populer justru rendang itik alias itiak serta rendang ayam. Siang hari di awal Juli, kami melihat cara memasak rendang di dapur Ibu Welti yang penuh dengan masakan kapau yang lezat.
Proses mengolahnya tergolong rumit dan perlu keahlian khusus sejak menyembelih bebek. Welti, tukang masak rendang itik di Kapau, mengatakan, jika tidak tahu cara menyembelihnya, daging bebek bisa berbau sangat amis. Daging bebek selanjutnya direndam air panas dan bulunya dicabuti. Setelah itu, daging bebek dipanggang di atas api kecil.
“Barulah daging bebek bisa diolah jadi rendang. Lama memasak dua jam dengan tungku kayu berapi kecil,” kata Welti.
Hasilnya? Alamaaaaak…! Bumbu rendang dan gurih santan benar-benar meresap ke sela daging bebek yang terdalam. Tekstur daging bebeknya terasa legit dengan rasa yang lebih gurih dibandingkan rendang ayam.
Rendang bebek dan ayam juga dikenal di Kabupaten Lima Puluh Kota yang memiliki banyak kantong pertanian. Di daerah semacam itu, kerbau jarang dikonsumsi karena tenaganya diperlukan untuk membajak sawah. Sementara itu, sapi dianggap hewan yang bernilai tinggi di pasaran. Itu sebabnya, orang-orang di Kapau dan Lima Puluh Kota sejak dulu lebih memilih memasak rendang ayam dan bebek, dua jenis hewan peliharaan yang biasa ada di wilayah pertanian.
Begitulah, banyak rendang di Tanah Minang. Meski bahannya berbeda, prinsip memasaknya sama, yakni memasak bahan dengan santan dan bumbu hingga kandungan airnya nyaris nol. Jika kuah belum kering tidak bisa disebut rendang, melainkan kalio.
Dari sekian banyak rendang yang ada di Minang, secara kultural hanya satu yang dianggap sangat penting, yakni rendang daging sapi atau kerbau. Rendang jenis ini harus ada dalam upacara adat, terutama batagak pangulu (pengukuhan penghulu) dan baralek (resepsi pernikahan).
“Boleh saja Anda membuat berpuluh-puluh hidangan untuk acara adat, tetapi kalau tidak ada rendang daging sapi atau kerbau, acara adat bisa batal. Rendang daging itulah ukurannya,” kata Rhauda.
Tidak salah jika orang Minang menyebut rendang sebagai induk samba atau lauk utama. Lauk lain, seenak apa pun, hanya dianggap pelengkap.
sumber: kompas