BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Beberapa kondisi fiskal memungkinkan terjadi seiring dengan pemulihan kondisi ekonomi Indonesia di tengah kebijakan moneter yang akomodatif.
Defisit anggaran menyempit pada tahun 2021 dari 6,1% dari PDB pada tahun 2020 menjadi 4,6% pada tahun 2021.
Country Director Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste Satu Kahkonen mengatakan kondisi ini terjadi berkat pulihnya penerimaan dan perlambatan pengeluaran masyarakat.
Dia menjelaskan, tingkat utang pemerintah naik tipis dari 38,6% PDB menjadi 40,7% pada 2020-2021.
Dukungan fiskal untuk mengatasi COVID berkurang di APBN tahun 2022 karena pemerintah memfokuskan kembali anggaran untuk perawatan kesehatan dan dampak dari perang di Ukraina.
Kebijakan moneter tetap akomodatif dengan suku bunga nominal yang rendah.
“Kenaikan harga dan pengetatan keuangan eksternal menciptakan hambatan bagi kebijakan moneter, meskipun kebijakan saat ini telah sesuai dengan kondisi yang ada,” ujarnya.
Sementara itu, di sisi dalam negeri, Indonesia masih memiliki kesenjangan output (output gap) yang negatif, ekspektasi inflasi yang masih dalam target, dan sektor keuangan yang mulai mendukung sektor riil.
Di sisi eksternal, kebutuhan pembiayaan tidaklah signifikan, perbedaan tingkat suku bunga riil dengan tingkat suku bunga di AS tetap positif, dan cadangan devisa yang memadai.
“Kebijakan moneter yang akomodatif telah menyebabkan peningkatan pinjaman bank sementara kerentanan sektor perbankan secara keseluruhan tetap rendah,” tegas Satu.
Pertumbuhan kredit swasta mulai tumbuh dan meningkat pada pertengahan tahun 2021.
Pada bulan Februari 2022, kredit swasta tumbuh sebesar 6,3% (yoy) setelah pertumbuhan selama 5 bulan berturut-turut yang relatif tinggi.
Sektor perbankan memiliki posisi permodalan yang kuat—rasio kecukupan modal sedikit meningkat menjadi 25,8% pada bulan Februari 2022, “Jauh di atas ketentuan minimum,” terangnya.
Kualitas aset bank umumnya tinggi, dengan tingkat permodalan bank dan cadangan yang memadai.
Rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan, NPL) hampir tidak meningkat sejak pertengahan tahun 2020 dan mencapai 3,1% pada bulan Februari 2022.
Namun demikian, pada saat yang sama, langkah penundaan sementara pembayaran pinjaman (forbearance) mengaburkan tingkat risiko neraca yang sebenarnya.
Meskipun NPL rendah, rasio kredit berisiko (Loans At Risk, LAR) di seluruh sistem keuangan yang didefinisikan sebagai jumlah NPL, kredit yang direstrukturisasi, dan kredit dalam perhatian khusus, mencapai 19,5% per bulan Desember 2021.***