BERTUAHPOS.COM – Peringatan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) pada 25 November menjadi momen refleksi penting. Tahun ini, Komnas Perempuan mengangkat tema “Lindungi Semua, Penuhi Hak Korban, Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan”. Tema ini menjadi seruan untuk melindungi perempuan, memenuhi hak-hak korban, dan mengakhiri segala bentuk kekerasan berbasis gender.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau menilai, peringatan HAKTP juga perlu melihat dimensi kekerasan perempuan yang berkaitan dengan krisis ekologis. Menurut WALHI, eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali turut merusak ekosistem, menambah beban domestik perempuan, serta menghilangkan ruang hidup masyarakat.
Sri Wahyuni, Dewan Daerah WALHI Riau, menjelaskan bahwa kerusakan lingkungan sering kali terjadi akibat maraknya izin yang diberikan kepada korporasi tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan. “Contohnya Pulau Mendol dan Pulau Rupat di Riau, yang dikepung oleh ekspansi perkebunan. Pulau kecil yang seharusnya dilindungi malah diberikan kepada korporasi perusak lingkungan. Ketika ruang hidup masyarakat diambil, bagaimana mereka bisa menghidupi keluarganya?” ujar Ayu.
Di Desa Pulau Bayur, Kuantan Singingi, ruang hidup masyarakat terganggu oleh aktivitas tambang batu bara. Sementara itu, di Desa Batu Ampar, Indragiri Hilir, aktivitas blasting tambang merusak rumah-rumah warga. “Eksploitasi akibat izin industri ekstraktif dan ekspansi sawit memberikan kontribusi besar terhadap krisis ekologis. Dampaknya, perempuan menghadapi beban ganda dan rentan mengalami kekerasan berbasis gender,” tambah Ayu.
Sri Depi Surya Azizah, staf WALHI Riau, menyebutkan bahwa kerusakan lingkungan juga memperparah krisis iklim yang dirasakan di Riau, terutama di wilayah perkotaan. “Sampah yang tidak terkelola menyebabkan pencemaran, buruknya sanitasi, hingga banjir. Beban terbesar dirasakan perempuan, yang bertanggung jawab atas kebutuhan domestik dan kesehatan keluarga, padahal mereka sendiri bergantung pada air bersih,” jelas Depi.
Depi juga menyoroti perjuangan perempuan adat yang aktif menyuarakan perlindungan ruang hidupnya. Namun, mereka sering menjadi sasaran kekerasan, seperti yang terjadi di Pulau Rempang, di mana intimidasi terhadap perempuan pembela HAM menyebabkan korban terluka, termasuk seorang lansia perempuan yang mengalami patah tulang. “Perempuan pembela HAM sering kali menghadapi kerentanan lebih besar dibandingkan laki-laki, karena patriarki membatasi ruang gerak dan suara mereka,” tambahnya.
Untuk memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, WALHI Riau bersama komunitas di Riau akan menggelar diskusi dan aksi, yang berpuncak pada peluncuran film dokumenter pada 10 Desember 2024. Film ini akan mengangkat perjuangan masyarakat, khususnya perempuan, dalam mempertahankan tanah dan ruang hidup mereka.
“Krisis ekologis bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga wajah lain kekerasan terhadap perempuan. Perlindungan lingkungan adalah bagian dari perlindungan terhadap perempuan,” tuturnya.***