Sejak tiga tahun terakhir, serangan buaya muara terhadap warga di Inhil semakin meningkat. Warga semakin sulit untuk berkompromi dengan satwa ganas itu. Apalagi menyangkut nyawa.
BERTUAHPOS.COM — Banyak desa di Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) dipasang plang peringatan “waspada serangan buaya”.
Selain populasi, ancaman dari serangan buaya muara di Inhil meningkat dalam tiga tahun terakhir.
Menurut warga sekitar Yurnalis, beberapa kasus serangan buaya terhadap warga—tak hanya membuat luka-luka—tapi menelan korban jiwa.
Pada 27 Desember 2024, saya berkunjung ke Desa Simpang Gaung di Kabupaten Inhil.
Perjalanan ini mengharuskan saya melintasi beberapa desa terpencil, dan selalu ada papan pengumuman tentang ancaman buaya di sana.
Menurut beberapa warga, ancaman buaya muara hampir berada di banyak desa. Seperti di Sungai Luar, Muara Sungai Gaung Anak Serka, Pintasan, dan beberapa titik yang menurut warga menjadi lokasi bersarangnya buaya-buaya muara itu.
Dari Sungai Luar, saya melewati jalan tanah kuning, membelah kebun kelapa warga untuk sampai ke pelabuhan penyeberangan di Sungai Empat. Sungai ini masih satu kesatuan dengan Sungai Gaung Anak Serka.
Aktivitas warga di desa ini seperti biasa. Puluhan hingga ratusan sepeda motor biasanya akan menyeberang sungai itu menggunakan boat cay — sejenis perahu ceper yang bisa mengangkut sekitar 10 sepeda motor.
Saya juga melihat, ada banyak warga yang beraktivitas di sungai, seperti mandi dan mencuci pakaian.
Meski semuanya tampak normal, tapi, di pelabuhan seberang, saya melihat sebuah spanduk bertulis: Waspada Serangan Buaya, Diimbau Kepada Warga Kelurahan Sungai Empat Waspada akan Buaya di Wilayah Sekitar Sungai.
Peringatan ini mempertegas bahwa ancaman serangan buaya di sini cukup serius.
“Kami tetap dituntut untuk selalu waspada. Apalagi kalau melakukan aktivitas di sungai,” kata Supardi, warga yang berdomisili di Desa Sungai Empat.
“Kami harus ekstra hati-hati, terutama di saat mandi, atau melakukan sesuatu di sungai pada malam hari. Beberapa kasus serangan buaya, memang dominan terjadi di sungai.”
Dari pelabuhan penyeberangan di Sungai Empat, saya masih harus melajukan sepeda motor menyusuri jalan sertu.
Ini adalah jalan utama menghubungkan desa dengan jalan perusahaan. Jaraknya sekitar 40 menit untuk sampai ke pelabuhan penyeberangan di Sungai gaung. Tepatnya di Desa Belantaraya.
Dari sini, perjalanan untuk sampai ke Dusun Pisang, Desa Simpang Gaung, menempuh perjalanan sekitar 45 menit.
Setelah menitip sepeda motor di salah satu rumah warga, saya dijemput Yurnalis dan Zaidan, warga yang berdomisili di Dusun Pisang.
Kami menaiki sampan kecil yang ditenagai Robin Engine. Warga biasa menyebutnya Boat Robin. Ukurannya sangat kecil. Hanya muat sekitar empat orang. Jarak dari air ke dinding sampan hanya beberapa senti.
Berkali-kali air melimpah hampir masuk ke badan sampan akibat gelombang yang dihasilkan oleh kendaraan laut lainnya. Kami tak banyak bercerta, karena suara bising mesin membuat suasana jadi tak kondusif.
Tapi saya sempat bertanya kepada Yurnalis, apakah jumlah buaya di sini semakin banyak dari tiga tahun yang lalu?
“Iya. Semakin banyak,” katanya singkat.
“Saat kapan biasanya buaya muara itu muncul?”
“Tak tentu. Bisa di saat air tenang. Peralihan antara pasang ke surut atau sebaliknya.”
“Mereka (buaya muara) tak menghindari aktivitas manusia?”
“Tidak. Mereka menampakkan diri sesuka hati. Kapan dia mau. Bahkan di tengah sungai yang pada pemukiman,” jawanya sambil tersenyum.
Tak terasa, sampan yang membawa kami sudah melintas Desa Pungkat. Dari sini, paling sekitar 15 menit lagi kami sampai ke tujuan. Tapi setelah meninggalkan Desa Pungkat. Pemandangan di sekitar sungai berbeda.
Tak ada lagi pemukiman warga di pinggir sungai. Berganti dengan berbagai tanaman hutan, seperti rasau, rengas, pandan rawa, pohon rumbia, dan beberapa jenis tanaman khas rawa lainnya.
Kata Yurnalis, ini tempat yang paling disukai buaya muara. Tenang, jauh dari keramaian sangat lembab dan gelap. “Buaya biasanya akan membuat sarang di bawah rimbun pepohonan itu yang tumbuh di air,” tuturnya.
Seperti di aliran sungai di sekitar Parit Getah. Pemukiman warga yang terpusat di darat. Pinggiran sungai hanya ditumbuhi hutan-hutan yang lebat.
“Warga sering melihat aktivitas buaya di sini. Apalagi di malam hari. Banyak pasang mata merah menyala di pinggir sungai,” jelas Yurnalis.
“Di dalam gelap, cara mengukur besar kecil buaya gampang. Lihat saja jarak antar matanya. Kalau jaraknya sekitar sejengkal tangan, dapat dipastikan ukuran buayanya sangat besar.”
Kami hening seketika, sampai secara tiba-tiba Yurnalis berteriak, “Itu, itu…” teriaknya sambil menunjuk ke kiri sampan di bagian belakang.
Saya melihat seekor buaya menyeberang sungai.
Dari penglihatan saya ukurannya cukup besar, dapat dilihat dari riak air di sisi kiri dan kanannya saat buaya itu berenang. Lalu masuk ke celah-celah tanaman rawa di pinggir sungai itu.
Tapi, menurut Yurnalis, warga di sini pernah melihat buaya muara dengan ukuran yang jauh lebih besar.
“Dulu pernah ada yang lebih besar. Dia berenang di tengah sungai yang dipadati pemukiman warga. Orang-orang turun ke pelabuhan rumah mereka untuk melihatnya.”
“Orang yang mandi buru-buru naik. Warga yang tengah mendayung sampan juga berhenti. Tapi karena suasana terlalu riuh buaya besar itu tenggelam. Lalu menghilang,” ceritanya.
Setibanya saya di Dusun Pisang, saya juga melihat spanduk peringatan yang sama dipajang di sebuah bangunan di samping Mesjid Shirotul Huda. Peringatannya juga sama, “Waspada Ancaman Serangan Buaya.”
Malam harinya, sambil ngopi, saya berbincang dengan Sarkawi dan Ibas. Mereka banyak bercerita tentang ancaman buaya—di sepanjang aliran Sungai Gaung Anak Serka dan Sungai Gaung.
Kebetulan Ibas—yang masih ada hubungan saudara dengan Sarkawi—berkunjung ke Dusun Pisang untuk memenuhi jemputan pesta pernikahan keponakan mereka.
Mereka bercerita spanduk pemberitahuan tentang ancaman serangan buaya dipasang hampir di setiap desa. Jika dulu warga benar-benar tahun dengan teror sang predator, kini upaya perlawanan justru dilakukan warga.
“Dulu, di desa lain, warga pernah menangkap buaya muara berukuran tujuh meter lalu mengulitinya,” kata Ibas.
Buaya itu memang diburu setelah beberapa kasus serangan terhadap manusia terjadi. Setelah mendapat izin dari tetua dan pihak berwenang setempat, warga membuat tombak besi. Ujungnya bersegi, seperti anak panah. Dipasang tali. Lalu ujungnya diikat ke jerigen kosong.
Saat tombak itu dihujamkan ke buaya, jerigen akan tetap mengapung di permukaan air sungai. Warga hanya perlu mengikuti ke mana arah jerigen kosong itu. Sampai buaya itu lemah dan mati.
“Berburu seperti ini tidak sering. Paling hanya beberapa kali. Itupun kalau ancaman buaya dirasa sangat meresahkan warga,” jelasnya.
Warga di sini, juga sudah memetakan titik-titik koloni buaya dalam jumlah banyak. Seperti di muara Sungai Gaung Anak Serka, Sungai Luar, Sungai Empat, Sungai Gaung, termasuk beberapa titik di Sungai Simpang Dalam.
Dengan mengetahui lokasi ini, kata dia, warga yang ingin beraktivitas bisa lebih waspada. “Kalau hanya sebatas penampangan buaya muara, sudah sangat sering dilihat warga,” cerita Sarkawi.
Melintaslah di muara Sungai Gaung Anak serka. Pemandangan puluhan ekor buaya muara sedang berjemur, sangat mudah ditemukan saat air surut.
Untuk mengetahui keberadaan buaya di malam hari, justru lebih mudah. Karena mata merah menyala selalu terlihat di pinggir sungai. Mereka biasanya akan menyerang di sungai yang dangkal.
Cerita lain, tentu masih banyak. Seperti perlawanan seorang pria di sekitar Teluk Pantai—yang disambar buaya saat mandi menjelang salat Jumat. “Dia sempat bergumul dan akhirnya selamat,” kata Ibas. Dan banyak lagi cerita-cerita lainnya.
“Selagi tidak mengganggu, tak masalah. Masalahnya, semakin ke sini semakin sulit bagi warga untuk berkompromi dengan buaya-buaya itu. Mereka memangsa. Wajar jika warga melawan. Tapi kami biasanya lebih memilih menghindar juga berhadapan langsung,” ujarnya.***