BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau meluncurkan publikasi investigasi dengan judul: Pasal 110A dan 110B UUCK: Mengorbankan Kawasan Hutan dan Melanggengkan Praktik Buruk Korporasi Sawit, pada Kamis, 7 Desember 2023 di Pekanbaru.
Kegiatan ini bertujuan memperkuat informasi publik agar dapat berkonsolidasi dan mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (MenLHK) untuk meninjau ulang keputusan persetujuan pelepasan kawasan hutan dan/atau persetujuan penggunaan kawasan hutan dan Menteri ATR/Kepala BPN dan Menteri Pertanian untuk cermat memeriksa apakah lokasi yang sudah memperoleh perizinan sektor kehutanan tersebut layak untuk ditindaklanjuti penerbitan hak atas tanahnya atau perizinan sektor perkebunan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Data dan Informasi Kegiatan Usaha Yang Telah Terbangun di dalam Kawasan Hutan Yang Tidak Memiliki Perizinan Berusaha di Bidang Kehutanan Tahap I-XI, ±736.273,53 ha Kawasan Hutan di Riau akan berikan kepada 453 perusahaan melalui Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK).
Peluncuran publikasi diawali dengan paparan hasil investigasi WALHI Riau pada 11 perusahaan yang mengajukan penyelesaian sawit dalam kawasan hutan.
Hasilnya dari total 28.031,2 ha tanaman kelapa sawit perusahaan dalam Kawasan Hutan, 12.431,20 ha diantaranya diindikasikan berada di luar Hak Guna Usaha (HGU).
Selain menempati kawasan hutan, tim juga menemukan satu perusahaan tidak memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP), enam perusahaan tidak sesuai peruntukan ruang berdasarkan RTRW, tiga perusahaan menanam di kawasan gambut fungsi lindung, tiga perusahaan menanam sawit di kawasan riparian, dan enam perusahaan pernah mengalami kebakaran hutan dan lahan.
Kesebelas perusahaan juga tercatat memiliki konflik lahan dengan masyarakat tempatan dan tidak memenuhi kewajiban IUP-nya.
Umi Ma’rufah, Koordinator Riset dan Kajian Kebijakan Walhi Riau menilai mekanisme penyelesaian perkebunan kelapa sawit di Kawasan Hutan terlampau menyederhanakan persoalan.
Ketentuan Pasal 110A yang menjadikan izin lokasi dan/atau izin usaha perkebunan sebagai dasar tindak lanjut penerbitan perizinan sektor kehutanan tentu abai pada kewajiban perusahaan untuk mempunyai hak atas tanah dalam melakukan aktivitas perkebunan.
Kemudian larangan penanaman sawit baru/replanting pasca 2 November 2020 juga tidak diatur pada PP No. 24 Tahun 2021. Hal ini mempertegas posisi pemerintah melegalkan kejahatan perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan melalui UUCK.
“Seharusnya pemerintah meninjau ulang kebijakan UUCK pasal 110A dan 110B terkait penyelesaian perkebunan kelapa sawit dalam Kawasan Hutan. Jika kebijakan ini tetap dibiarkan, setindaknya Riau akan kehilangan 736.273,53 ha Kawasan Hutan yang diberikan kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit. Selanjutnya implementasi kebijakan tersebut juga harus mempertimbangkan pelanggaran lain yang dilakukan oleh korporasi yang mengajukan penyelesaian sawit dalam kawasan hutan,” tegas Umi.
Pada peluncuran publikasi investigasi ini juga dihadiri oleh Eyes On the Forest (EOF) dan Senarai. EOF ikut memaparkan hasil investigasi sawit dalam Kawasan Hutan yang telah dilakukan sejak tahun 2018.
Sedangkan Senarai menyampaikan riwayat korupsi di Riau yang selalu berkaitan dengan aktivitas perkebunan dan kehutanan.
Tia, dari Eyes On the Forest (EOF) juga menyampaikan bahwa EOF juga telah melakukan investigasi perusahaan sawit dalam Kawasan Hutan sejak tahun 2018.
Investigasi terakhir EOF pada tahun 2023 ditemukan 42,269 ha perkebunan kelapa sawit berada pada Kawasan Hutan dengan usia tanaman berkisar 10 s/d 35 tahun.
Perkebunan diindikasikan berafiliasi dengan Sinarmas/GAR, Darmex, Adimulya, Anugerah/Royal Golden Eagle, Astra, Darmex, First Resources, Pancadaya Perkasa, Panca Eka, Panca Putra, dan Bumitama Gunajaya Agro.
“Aktivitas perkebunan sawit dalam Kawasan Hutan telah dilakukan jauh sebelum UUCK diterbitkan. Dan yang melakukannya adalah pelaku usaha perkebunan kelapa sawit skala besar. Hal ini mengindikasikan UUCK memang dipersiapkan untuk melegalkan perkebunan kelapa sawit perusahaan-perusahaan tersebut,” ujar Tia.
Jefri Sianturi, Koordinator Senarai, menyampaikan kasus korupsi di Riau tidak bisa dilepaskan dari aktivitas perkebunan kelapa sawit dalam Kawasan Hutan.
Kasus korupsi Muhammad Syahrir, mantan Kepala BPN Riau dan Surya Darmadi, Darmex Agro Group menjadi bukti bahwa perkebunan kelapa sawit dalam kawasan merupakan akar korupsi di Riau.
“Kasus Paling fenomenal tahun ini adalah kasus korupsi Surya Darmadi. Kasus ini melibatkan mantan Gubernur Riau Annas Maamun terkait pengusulan perubahan status Kawasan Hutan untuk empat perusahaan yang salah satunya merupakan lokasi investigasi WALHI Riau, PT Banyu Bening Utama. Surya Darmadi dijatuhi hukuman 16 tahun penjara dan denda 2 Triliun rupiah,” tutup Jefri.
Kegiatan ini juga membuka ruang diskusi kepada para peserta yang hadir. Para peserta memberikan tanggapan dan sepakat untuk mendorong agar KLHK harus transparan dan terbuka dalam pengoperasian kebijakan penyelesaian sawit dalam kawasan hutan.
Keterbukaan sangat penting bagi publik agar dapat turut memberi masukan dan menilai apakah keputusan yang diambil sudah memenuhi rasa keadilan.
Pertimbangan publik dan fakta pelanggaran lain yang dilakukan oleh korporasi dapat menjadi pertimbangan penting untuk menentukan kelayakan legalitas yang diberikan, atau untuk mengurangi luasan tersebut, atau bahkan tidak memberikan legalitas kepada perusahaan tersebut.***