BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Konflik harimau dengan manusia di Riau belum usai. Seperti yang terjadi pada Alm Indra. Pria berusia 30 tahun itu ditemukan dalam kondisi tubuh tercabik-cabik di Hutan Bagan Banio—kawasan Giam Siak Kecil.
Korban diduga diserang harimau pada Selasa 5 April 2022, setelah dia pamit kepada Istrinya untuk pergi ke lokasi, bermaksud membersihkan ladang dan melihat jerat rusa yang lebih dulu dia pasang.
Kronologi
Jasadnya baru ditemukan warga sehari setelahnya, pada 6 April 2022, di Seberang Pulau Teluk Padi, kilometer 68. Persisnya di Desa Tasik Tebing Serai, Kecamatan Talang Mandau. Kondisinya sungguh mengenaskan.
“Korban ditemukan sekitar pukul 10.00 WIB setelah dilakukan pencarian oleh tim gabungan, bersama warga setempat. Saat ditemukan, pada pundak kiri dan kanan korban, koyak dimakan binatang buas. Diduga harimau,” kata Kapolsek Mandau Kompol Maitertika, Kamis, 7 April 2022.
Sekitar 20 meter dari jasad korban ditemukan, terdapat rusa yang sedang terjerat. Pihak korban semakin yakin, kalau Indra jadi mangsa harimau.
“Saat tim tiba di lokasi jasad korban sudah dikebumikan. Sehingga digali informasi dan mendapat beberapa dokumentasi,” ujar Maitertika.
Kompol Maitertika menjelaskan, untuk memastikan keterangan warga, petugas juga mendatangi lokasi serangan harimau di Pulau Teluk Padi Km 68 Desa Tasik Tebing Serai Kecamatan Talang Muandau.
Menurut keterangan saksi, Indra berangkat dari rumahnya ke ladang pada pagi hari. Namun, sampai pukul 18.30 WIB Indra tidak pulang, sehingga membuat istrinya cemas. Dia berinisiatif untuk menghubungi ponsel suaminya. Masuk. Tapi tak diangkat.
Sekitar pukul 20.00 WIB Indra yang ditunggu belum juga pulang. Istrinya lalu menghubungi Kitam (50) yang tak lain adalah ayahnya. Dia memberitahu kalau sang suami belum juga pulang dari ladang.
“Karena korban tidak juga pulang, pihak keluarga meminta bantuan warga untuk sama-sama melakukan pencarian bersama-sama,” terang Maitertika.
Pencarian mulai dilakukan sekitar lebih kurang 50 warga pada pukul 23.00 WIB bersama-sama bergerak ke seberang pulang teluk padi menggunakan perahu bot untuk mencari korban, hingga pukul 02.00 WIB, tetapi korban tidak ditemukan.
“Paginya sekitar pukul 07.00 WIB korban ditemukan dengan posisi terlentang dan kepala terpisah dengan jarak 1,5 KM. Di sekitar lokasi ditemukan ada jejak tapak kaki diduga binatang buas (harimau),” terang Maitertika.
Selanjutnya, oleh warga jasad korban lalu dibungkus kain dan dibawa dengan perahu menuju rumah orang tuanya di kilometer 58, Desa Tasik Serai Timur. Lalu, dikebumikan.
Konflik Manusia dengan Harimau Belum Usai
Eyes on the Forest—koalisi LSM yang melakukan investigasi kejahatan kehutanan dan konflik di provinsi bagian tengah Sumatera—mencatat, sejak tahun 1997, konflik ini telah membunuh 55 orang dan 15 ekor harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae).
Tercatat juga 17 harimau telah ditangkap dan dipindahkan dari hutan habitatnya. Sumatera memiliki sejumlah hutan dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Dimana luas hutan di Sumatera sejak 1985 hingga 2007 telah berkurang hingga hampir setengahnya (48 persen).
“Dengan hilangnya habitat hutan, harimau tak memiliki tempat untuk mencari makan dan bersembunyi. Dalam sebulan terakhir saja, empat ekor harimau mati terbunuh di Riau,” bunyi laporan yang ditulis Eyes on the Forest, sebagaimana dilihat Bertuahpos.com, Jumat, 8 April 2022.
Dari laporan itu, dapat disimpulkan bahwa penyebab utama terjadinya konflik antara harimau dan manusia, disebabkan hilangnya tempat tinggal ‘si Raja Hutan’, akibat hadirnya perusahaan-perusahaan konsesi. Jika kondisi ini terus terjadi, maka ke depannya, konflik seperti ini masih akan belum usai.
Penyempitan Habitat dan Berkurangnya Rantai Makanan
Di akhir tahun 2020, BKSDA Riau pernah merilis bahwa kantong harimau di Riau diketahui tersebar mulai dari wilayah selatan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh menyambung ke arah Suaka Margasatwa Kerumutan—wilayah Taman Nasional Tesso Nillo hingga Suaka Margasatwa Rimbang Baling sampai ke Suaka Margasatwa Bukit Batu. Kawasan ini adalah habitat harimau Sumatera di Riau.
Sejak lama, masyarakat Riau sudah mengetahui bahwa kawasan-kawasan ini bukan tempat hunian manusia. Seringkali korban bermunculan akibat konflik ini, bukan dari warga setempat.
Sejak tahun 2018 hingga kini, pihak BKSDA tidak berhenti melakukan observasi di wilayah tersebut. Termasuk selalu mengingatkan kepada warga, agar tidak melakukan aktivitas apapun di lokasi itu.
BBKSDA Riau mengakui jika habitat harimau Sumatera terus mengalami penyempitan. Maraknya perburuan terhadap pakan dari harimau yang dilakukan oleh masyarakat juga menjadi faktor terjadinya konflik antara manusia dengan satwa yang memiliki ciri khas dengan motif belang berwarna oranye dan hitam di bagian tubuhnya tersebut.
Apalagi, untuk harimau dewasa, area jelajahnya hingga 40 kilometer. Aktivitas perburuan masyarakat secara liar terhadap babi, rusa, dan hewan-hewan lainnya, juga menjadi salah satu pemicu, karena pasokan rantai makanan tak lagi stabil. Jika hewan-hewan itu habis akibat aktivitas perburuan, maka harimau akan kehilangan pakan. (bpc2)