BERTUAHPOS — Ibrahim Tarmizi lupa kapan persis istrinya, Murni, divonis gagal ginjal karena penyakit diabetes. Tapi, dia masih ingat jelas betapa chaos-nya situasi saat itu.
Sore sebelum drop, Murni banyak makan mangga muda, jambu air dengan kecap asin campur gula dan durian. Malamnya, dia merasa begah pada perut, sesak nafas, lalu tak sadarkan diri.
Dokter dari Puskesmas setempat sempat memeriksa keadaan Murni. Denyut nadinya melemah, tekanan darahnya naik dan pasien kesulitan menarik nafas. Pagi harinya, Ibrahim membawa sang istri menggunakan speedboat — dengan waktu tempuh lebih dua jam — ke RSUD Puri Husada, Tembilahan.
Dokter mengatakan dia mengalami gagal ginjal. Kesulitan bernafas diakibatkan banyak cairan di paru-paru dan pasien harus menjalani proses cuci darah atau hemodialisis (HD). “Ibu ada BPJS, Pak? Kalau ada pastikan tidak ada tunggakan ya. Untuk HD-nya juga pakai BPJS saja,” kata petugas rumah sakit kala itu. Dia pun lega.
Sebagai pensiunan guru MTs swasta di Desa Simpang Gaung, Kecamatan Gaung, Indragiri Hilir, Ibrahim tidak punya tabungan. Terlebih, saat situasi seperti ini. “Saya tak akan sanggup,” katanya. Sejak itu, istrinya harus menjalani proses cuci darah dua kali seminggu.
Setelah tiga tahun menjalani HD, pada awal Juni 2023, Murni meninggal dunia di usia 50 tahun. “Selama beberapa tahun kami harus bertahan. Kalau istri saya tidak berobat dengan fasilitas BPJS, saya tidak tahu lagi harus bagaimana,” ujar ayah tiga anak itu.
Ibrahim dan seluruh anggota keluarganya terdaftar sebagai PBI lewat skema APBN sejak 2015 silam. Sejak pensiun, dia bekerja sebagai tukang kayu untuk membuat perabot rumah tangga. Itu pun menunggu pesanan.
Lewat program JKN, fasilitas kesehatan keluarga lebih terjamin. Setahun sebelum sang istri meninggal dunia, Ibrahim divonis mengidap TBC. Dia berobat di rumah sakit yang sama dengan fasilitas BPJS Kesehatan hingga sembuh total.
Sejauh pengalamannya, tidak ada kendala selama proses pengobatan. Pelayanan rumah sakit bagus, penanganan pasien tetap prioritas, kecuali proses administrasi yang cukup memakan waktu karena antrean panjang. Namun, hal itu masih bisa dimaklumi.
“Di rumah sakit, saya melihat ada banyak orang seperti kami. Warga miskin yang mengidap penyakit keras, dan mereka tetap bisa berobat dengan BPJS,” tambahnya.
Pedrianto Umar, divonis kerusakan ginjal 90% pada 2019 lalu. Dia harus menjalani delapan kali operasi. Dua kali operasi besar, dua kali operasi sedang dan empat kali operasi kecil. Jika tindakan medis itu dibayar mandiri, total biayanya hampir Rp300 juta. Itu baru untuk biaya operasi saja.
Setelah proses operasi selesai, Pedri harus menjalani HD tiga kali seminggu. Sekali cuci darah biayanya mencapai Rp1,8 juta. “Saya beruntung, semua beban itu ditanggung BPJS Kesehatan,” tuturnya.
Pedri awalnya terdaftar sebagai peserta mandiri di BPJS Kesehatan. Dua tahun menjalani HD, dia pindah sebagai peserta PBI pusat. Menurutnya program JKN tak hanya menjamin kesehatan masyarakat, tetapi juga membantu perekonomian keluarganya, khususnya dari beban biaya berobat.
“Jadi, saya hanya cari biaya untuk kebutuhan selama di rumah sakit. Masih bisa lah kita akal-akali,” ujarnya.
Awalnya, Pedri termasuk kelompok yang percaya bahwa membayar iuran BPJS Kesehatan adalah sia-sia. Sampai pada akhirnya, dia harus menjalani terapi HD dalam jangka waktu lama. “Saya tidak akan sanggup berobat kalau tidak di-cover BPJS. Jujur, biayanya terlalu besar,” kata ayah dua anak itu.
Dia menyadari bagaimana konsep “gotong royong” — dalam iuran BPJS Kesehatan — bekerja lewat program JKN. Selama ini, dia sadar tidak mampu menyisihkan penghasilan untuk tabungan dana darurat. “Membayar iuran itu sama dengan menabung. Toh, di saat sakit saya tetap bisa pakai uang itu lewat fasilitas BPJS, kan?” ungkapnya.
Menurut data Indonesian Renal Registry tahun 2020, sebanyak 198.575 pasien di Indonesia menjalani hemodialisis dengan total 2.754.409 sesi tindakan. Di Provinsi Riau sekitar 25,57% pasien gagal ginjal kronis harus menjalani terapi hemodialisis (hasil riset kesehatan dasar).
Sementara itu, data rekam medis di ruang hemodialisis RSUD Arifin Achmad di Pekanbaru mencatat adanya peningkatan signifikan dari 1.101 kunjungan pada 2022 menjadi 1.669 kunjungan sejak Januari – Desember 2023. Hal ini sejalan dengan data dari Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau pada tahun 2023, tercatat sebanyak 17.258 orang di Provinsi Riau menderita gagal ginjal kronis.
Satu hal tidak bisa dipungkiri, adalah peran besar BPJS Kesehatan dalam membantu pasien dengan penyakit kronis, seperti pasien gagal ginjal yang harus cuci darah seumur hidup. Tanpa BPJS Kesehatan, masyarakat pastinya akan menanggung biaya yang sangat besar.
Akademisi kesehatan masyarakat dari Universitas Hang Tuang Pekanbaru, Assoc. Prof. Dr. Reno Rinaldi, M.K.S, M.Kes, menyambut baik capaian realisasi kepesertaan BPJS kesehatan yang sangat tinggi.
Kondisi ini menggambarkan bahwa negara hadir untuk mengatasi masalah jaminan kesehatan masyarakat, khususnya bagi mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. “Kalau kita tarik dari sisi ekonominya, pasti sangat membantu sekali, karena biaya berobat itu sangat mahal,” ujarnya.
Bahkan, kata dia, terhadap pasien yang menderita penyakit berat dan membutuhkan perawatan seumur hidup, kehadiran BPJS Kesehatan tidak lagi spesifik bicara soal kaya atau miskin, melainkan sudah menyentuh semua lapisan.
Selain itu, sejumlah program di BPJS Kesehatan yang mendukung penanganan penyakit kronis dan layanan perawatan paliatif, bahkan, perawatan intensif seperti di ICU, penggunaan ventilator, hingga obat-obatan terapi, patut diapresiasi.
“Sekaya apapun dia, kalau biaya berobatnya mahal, pasti lah mereka juga merasa sangat terbantu dengan BPJS,” ujarnya.
Meski begitu, Reno menyoroti beberapa temuan di lapangan. Salah satunya soal warga yang sulit mengakses layanan kesehatan karena proses administrasinya dianggap rumit.
Bahkan, masih ada sebagian kecil masyarakat menganggap bahwa membayar iuran BPJS itu sia-sia, karena merasa tidak pernah menggunakan layanannya. Padahal, risiko sakit bisa datang kapan saja, dan saat itulah BPJS Kesehatan memainkan perannya.
Reno mencatat, ada lima poin yang perlu menjadi perhatian agar pelayanan kesehatan lewat program ini bisa berjalan maksimal, yakni; peningkatan edukasi dan literasi, digitalisasi layanan dan akses yang lebih mudah, pemangkasan waktu registrasi dan antrian, perluasan kerja sama dengan fasilitas kesehatan, serta evaluasi dan peningkatan mutu layanan.
Menurut Kepala Bagian Penjaminan Manfaat dan Utilisasi BPJS Kesehatan Cabang Pekanbaru, Delilla Melati, mengatakan terapi HD termasuk dalam kategori katastropik — layanan jangka panjang berbiaya tinggi. Pasien yang menjalani HD rutin bisa terus mendapatkan layanan tanpa perlu memperpanjang rujukan setiap 90 hari seperti layanan kesehatan lainnya.
Setelah dokter menyatakan pasien harus menjalani HD seumur hidup, rumah sakit cukup memperbarui rujukan secara internal tanpa harus mengirim pasien kembali ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama. “Kami sudah menyederhanakan proses ini,” katanya.
Bahkan, BPJS Kesehatan saat ini memfasilitasi layanan traveling HD. Peserta yang rutin menjalani cuci darah di satu kota, tetap bisa melanjutkan HD di kota lain, misalnya saat pulang kampung. Peserta cukup membawa surat pengantar dari dokter untuk mendapatkan layanan HD di rumah sakit tujuan.
Di Kota Pekanbaru, misalnya, sekitar 20 pusat layanan HD beroperasi dengan kapasitas mesin bervariasi, mulai dari empat hingga 30 unit.
BPJS Kesehatan hanya bekerja sama dengan rumah sakit yang mengantongi izin resmi dari Kemenkes dan memiliki tenaga medis kompeten, terutama dokter spesialis penyakit dalam dengan keahlian di bidang hemodialisa.
“Peserta hanya perlu membawa surat keterangan jumlah frekuensi HD dari dokter dan mengikuti jadwal yang sudah ditentukan rumah sakit,” ujarnya.***





































