BERTUAHPOS — Greenpeace menilai bencana banjir bandang dan longsor di Sumatera (Sumut, Sumbar, dan Aceh) terjadi akibat kelalaian kebijakan lingkungan pemerintah selama bertahun-tahun.
Bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh disebut Greenpeace Indonesia sebagai konsekuensi dari peringatan panjang yang diabaikan pemerintah. Organisasi lingkungan itu menegaskan bahwa kerusakan ekologis di Sumatera sudah diprediksi sejak satu dekade lalu, namun kebijakan tidak berpihak pada perlindungan lingkungan.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, mengatakan para ahli sejak lama memperingatkan risiko meningkatnya bencana akibat perubahan iklim dan degradasi hutan. “Greenpeace sudah pernah mengingatkan, tapi tidak didengar,” ujar Iqbal melalui kanal YouTube Abraham Samad, sebagaimana dilihat Bertuahpos, Sabtu, 6 Desember 2025.
Menurutnya, ada dua faktor besar yang memicu bencana kali ini. Pertama, cuaca ekstrem yang kerap dijadikan alasan resmi pemerintah. Kedua, kondisi ekologis yang disebutnya sudah rusak akibat pemberian izin yang tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Ia menilai kebijakan lebih mengutamakan kepentingan ekonomi dan politik.
Iqbal juga menyoroti temuan kayu gelondongan di lokasi bencana. Klaim Kementerian Kehutanan bahwa kayu tersebut hanya kayu lapuk dinilai tidak sesuai kondisi lapangan. “Bukti pandangan mata menunjukkan itu kayu yang sudah digergaji,” tegasnya, mengindikasikan adanya praktik pembalakan liar di kawasan terdampak.
Ia menegaskan tragedi ini bukan sekadar fenomena alam atau takdir. Dalam analisanya, ada tiga menteri yang patut dimintai pertanggungjawaban. Mereka adalah Menteri ATR/Kehutanan Raja Juli Antoni yang berwenang dalam izin dan pengawasan kawasan hutan, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang menerbitkan izin tambang dan pemanfaatan hutan, serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hanif Faisol sebagai pihak yang mengesahkan izin AMDAL.
“Ketika ada bencana seperti ini, berarti ada fungsi mereka yang tidak bekerja. Apakah fungsi pengawasan atau pengendalian. Atau mereka melakukan pembiaran. Pembiaran dalam administrasi itu sebuah kesalahan. Pura-pura tidak tahu,” ujarnya.
Greenpeace menilai langkah hukum terhadap para pengambil kebijakan bukan hal yang mustahil. Iqbal menyebut korban bencana bisa mengajukan gugatan, baik melalui mekanisme nasional maupun internasional. “Ini sangat mungkin diajukan untuk meminta pertanggungjawaban. Masyarakat yang menjadi korban juga dapat menuntut ganti rugi,” katanya.
Dengan kritik tersebut, Greenpeace menegaskan bahwa bencana di Sumatera merupakan cerminan dari lemahnya pengelolaan lingkungan dan kegagalan pemerintah menjaga keseimbangan ekologis.***


































