BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Ada hal menarik untuk diangkat dibalik keseruan dan kemeriahan Parade Bhineka Tunggal Ika dan Pegelaran Budaya Nusantara yang berlangsung belum lama ini di Jalan Gajah Mada Pekanbaru, Ahad (20/8/2023). Sekedar informasi, kegiatan itu ditaja oleh Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) Provinsi Riau melibatkan 58 paguyuban dari Sabang sampai Marauke. Selain melakukan pawai, digelar pula bazar kuliner dan kerajinan tangan dari berbagai daerah di Indonesia.
Paling menarik atensi di acara itu Gubernur Riau Syamsuar yang tampil mengenakan Baju Surjan, pakaian adat dari Jawa yang biasanya dikenakan oleh laki-laki pada zaman dahulu, berwarna hijau berpadukan coklat beserta blangkon. Sepintas tampak biasa saja. Tak ada yang janggal dari pemandangan barusan. Namun cukup disayangkan bila dikaji dan dilihat dari perspektif penguatan budaya Melayu sebagai identitas Riau.
Mengingat status saudara Syamsuar selaku Gubernur Riau, kami berharap sekiranya lebih mengedepankan penggunaan unsur Melayu dalam momen bersifat umum. Tulisan ini bukan bermaksud menyudutkan Gubri secara personal maupun pakaian adat yang dikenakan. Akan tetapi bagi kita, apapun sukunya, sudah mengenal prinsip bahwa dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Sejatinya, setiap unsur yang berada di suatu tempat mesti membaur dengan budaya setempat.
Jadi, menyoal penerapan konsep pembauran bukan berarti kearifan lokal yang beradaptasi atau dituntut toleran terhadap heterogenitas atau keberagamanan. Justru sebaliknya, yang berasal dari berbagai latar belakang budaya hendaknya dapat memperkuat budaya melayu. Barangkali pandangan tadi terkesan fanatisme. Tetapi inilah elemen penting dibutuhkan untuk menjaga kekayaan negeri.
Di mata dunia, daya tarik nomor wahid dari Indonesia adalah keberagaman budaya. Setiap wilayah dan daerah punya corak masing-masing. Berangkat dari aspek tersebut maka setiap daerah sudah seharusnya menjaga identitas yang menjadi ciri uniknya melalui berbagai upaya. Pembauran diperlukan, hanya saja perekat sosial. Pembauran tanpa melekat ke budaya dan kearifan lokal pada akhirnya justru akan melahirkan asimiliasi yang mana perlahan akan mengikis budaya asli. Belajar ke Malaysia. Di sana juga sangat heterogen. Tidak semata beda suku tapi juga bangsa. Orang India, Cina dan berbagai suku dari Indonesia mendominasi di banyak wilayah Malaysia.
Meski begitu, semua etnis dan suku pendatang tetap terkondisikan. Banyak orang Indonesia dari suku yang basicnya bukan melayu setelah menetap lama di Malaysia dapat menyesuaikan diri. Paling ketara logat atau bahasa sehari-hari mereka pakai ialah bahasa Malaysia (melayu). Beda di Riau, melayu terkesan bahan seremonial saja. Bukan simbol kebanggaan dan prestise.
Inklusif
Kembali ke acara Parade Bhineka Tunggal Ika, berbicara pembauran, nilai yang terkandung dalam budaya melayu sudah teruji sekian lama mempraktikan cara hidup berdampingan, toleran dan terbuka ke setiap kalangan. Oleh karenanya, momen di atas dipandang tepat untuk memperkenalkan khazanah itu. Melayu identik sikap ramah-tamah. Ajaran melayu pun begitu menghargai perbedaan dan tak memandang rendah bangsa lain. Sebab, ruh yang menyemangatinya ajaran Islam.
Dalam Islam, semua manusia punya kedudukan sama di hadapan Allah SWT. Hanya kadar ketakwaan yang membedakan. Sikap bersahabat Melayu tercermin dari penggunaan bahasa nan lembut diselingi pantun dan sastra penuh makna. Masyarakat Melayu bahkan diajarkan ramah ke lingkungan. Konsekuensi kehidupan mayoritas bermata pencaharian nelayan, masyarakat Melayu sangat memelihara ekosistem laut agar tak rusak dan punah.
Tujuannya supaya kekayaan alam dapat dinikmati generasi berikutnya. Selain itu, konsekuensi secara geografis dominan hidup di pesisir pantai turut membentuk karakter masyarakat Melayu. Sejak dahulu kala mulai kerajaan melayu berkuasa, sikap inklusif (terbuka) begitu menonjol dan diakui sejarah nusantara. Kerajaan melayu begitu sukses dalam perdagangan internasional di masanya. Mereka berinteraksi dengan para pedagang Arab, Cina dan Gujarat.
Saking terbuka dan inklusifnya, masyarakat melayu tak sedikit tersingkir dari tempat tinggalnya. Contoh paling ketara Singapura dulu populasinya dihuni mayoritas melayu. Kendati bersikap terbuka, jangan sampai kehilangan identitas budaya dan aspek keislaman. Mengutip perkataan seorang bijak, etnis melayu bagaikan ikan di laut. Bisa menerima asinnya air laut tapi tak lantas ikutan asin karena air laut.
Berangkat dari pemaparan, nilai-nilai inklusif budaya melayu dapat dipakai sebagai sumber inspirasi. Langkah memperkuat budaya melayu semestinya dianggap serius, terutama di sisi pengambil kebijakan. Melayu bukan sebatas sisi ekstrinsik: bahan pidato dan dipakai simbolnya di acara resmi. Sepatutnya nilai itu dapat bersemi dan bersemayam dalam pola pikir dan pola sikap. Untuk mewujudkannya butuh pendekatan strategis, sistematis dan berproses.
Kebijakan pelestarian berbasis Perda dan Perkada harus terus diperkuat. Diawali unsur paling sederhana kayak penggunaan bahasa Melayu sebagai media komunikasi, baik aktivitas resmi kemasyarakatan dan kelembagaan Pemerintahan Daerah (Pemda). Kita berharap ditetapkan satu hari wajib berbahasa Melayu. Ikhtiar ini penting ditempuh demi melestarikan bahasa Melayu hingga dikenal generasi ke depan. Pendekatan bahasa memang terlihat simpel.
Tapi jangan lupa, bahasa sarana memahami kultur. Belajar bahasa Inggris jadi paham kultur Inggris dan britania. Begitujuga bahasa melayu media menyelami wawasan dan kekayaan budaya melayu. Apalagi menghadapi tantangan globalisasi dan keterbukaan informasi. Sejumlah peristiwa mencoreng marwah Riau. Mulai riak-riak peristiwa sehari-sehari yang jauh dari cerminan budaya melayu semisal munculnya kelompok yang menolak tamu atau orang yang berkunjung ke Riau hanya dipicu berbeda kepentingan politik, maraknya aktivitas menyimpang semisal LGBT dan lain-lain. Semua kejadian barusan bermula dari kosongnya pemahaman nilai Melayu dan ketidakpedulian dari pihak terkait menjaga marwah bumi Melayu.
Terakhir, upaya memperkuat budaya Melayu merupakan bentuk rasa terima kasih atas kehidupan yang kita jalani di atas tanah Melayu. Terkait ini, layak diketengahkan tulisan tokoh Riau Prof. Dr Syamsul Nizar MA berjudul Identitas Melayu yang dimuat di kolom Opini salah satu media online (19/7/2012). Beliau menggugah lewat pertanyaan: Masihkah kita mengaku Melayu namun tanpa identitas Melayu? Atau hanya bangga simbol Melayu yang disandang, namun masih miskin filosofi Melayu sesungguhnya? Atau hanya sebatas kebanggaan anak watan, namun tak memberi kontribusi atas negeri Melayu? Melayu hilang bukan disebabkan tak sejalan kondisi kekinian. Kitalah yang melupakan intirasinya. Melayu kehilangan identitas tatkala rasa malu telah menjadi abu, tak berterimakasih telah hidup di atas bumi melayu. Begitupula yang memandang melayu sekedar pemanis dan simbol, maka identitas hanya topeng. Melayu hanya nyanyian, pengakuan yang tak seirama dengan perbuatan dan kata pemanis belaka.***
Dr. (H.C.) H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA KOMISI V DPRD PROVINSI RIAU