“Kamu tidak perlu menjadi luar biasa untuk memulai, tapi kamu harus memulai untuk menjadi luar biasa.”
– Zig Ziglar –
Pada suatu hari, di tahun 2015, para remaja di Kampung Tanjung Sari Poyo, Kecamatan Kundur, Kepulauan Riau (Kepri), tengah keranjingan balap liar. Kebetulan, jalan di kampung mereka lagi mulus-mulusnya karena baru siap diaspal.
Meski sering terjaring razia, tak membuat kelompok remaja tanggung ini jera. Kendati demikian, kegemaran mereka terhadap motor dan balap-balapan tak tersalurkan di tempat semestinya.
Aktivitas ini pun bikin warga sekitar resah. Bukan sekali dua, ada orang tua dari salah satu remaja itu mendatangi tempat mereka kumpul-kumpul dan menumpahkan kalimat umpatan sumpah serapah.
Tapi, bagi mereka “ya sudah lah”. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Ibarat kata, “anjing menggonggong, kafilah berlalu.” Sepeda motor yang mereka tunggangi tetap saja melaju, bahkan sampai tengah malam. Kondisi seperti itu pun berlangsung hingga beberapa waktu.
Di kampung itu pula, ada seorang guru honorer yang cinta musik Melayu. Namanya Syaipul Bahri, atau Ipul, begitu ia biasa disapa. Selain mengajar, hari-harinya dihabiskan di sanggar. Rasa cinta pada seni musik tradisional membuatnya tak pernah puas untuk belajar, meski fasilitas hanya alakadar.
Dia paham cara menggesek senar biola menjadi lantunan suara yang memesona. Mengerti memilah not Akordeon untuk dapat nada-nada indah. Kalau cuma memetik senar gitar jangan ditanya, sudah di luar kepala.
Bagi Ipul, setiap benda yang menghasilkan suara bisa menjadi musik. Musik bukan soal alat apa yang dimainkan, tapi mengatur komposisi suara menjadi nada, terbungkus lah ia dalam satu rangkaian harmoni mengandung makna, sedap di dengar, merdu di telinga.
“Membuat musik itu sama seperti koki dalam memasak, komposisi bumbunya harus pas. Bagaimana mencampurkan garam tapi masakan tidak keasinan, mencampurkan gula tapi tidak kemanisan, supaya sedap,” katanya saat bercerita dengan awak media dalam sebuah sesi wawancara virtual, Rabu, 2 Agustus 2023 lalu.
Semua kepiawaiannya memainkan alat musik didapat secara otodidak. Maklum, latar belakang orang tua sebagai petani mengharuskan dia hidup dengan keterbatasan ekonomi. Kalau mau pintar, pandai-pandai belajar, kalau mau sekolah tinggi, pintar-pintar cari uang sendiri. Begitu pesan ibunya.
Penggagas Perkusi Poyo Harmony
Suatu ketika, Syaipul yang ketika itu sedang berjalan seorang diri, dicegat oleh seorang Imam Masjid, sekaligus RT di kampung itu.
“Ipul, kamu aktif di luar dan sering tampil. Tengok lah, anak-anak remaja di kampung ini, banyak yang ikut ‘geng motor’, balap liar. Kegiatan mereka sudah sangat meresahkan masyarakat,” kata Pak Imam.
Seketika itu pula Ipul kebingungan. Namun di benaknya, apa yang disampaikan Pak Imam ada benar juga.
“Apa yang mau dibuat, Pak Imam?.”
“Ajak mereka ke sanggar,” jawabnya.
Kebingungan Syaipul kian bertambah, sebab dia tahu betul para remaja tanggung itu tak semua tertarik pada musik. Terlebih musik tradisional yang selalu lekat dengan jargon kolot dan jadul.
Untungnya, dia tak buntu akal. Di kepalanya membayangkan sebuah kelompok musik yang mana para pemainnya tampil dengan kostum dan alat musik tak biasa.
Dia pun menjatuhkan pilihan untuk membuat sebuah grup perkusi dengan aliran musik sendiri. Cuma itu pilihannya.
Kebetulan, dalam waktu dekat ada momentum peringatan Hari Sumpah Pemuda. Ipul berencana untuk membuat sebuah penampilan dengan melibatkan kelompok remaja balap liar itu.
Aliran musiknya tentu saja menyesuaikan, artinya bukan musik tradisional, tapi musik nasional dengan tabuhan instrumen penuh semangat.
“Pak Imam, saya punya alat musik Biola dan Jimbe, Pak Imam punya apa?”
“Saya punya Saron untuk Kuda Lumping dulu, pakai lah,” sambung Pak Imam.
Ipul lalu mengumpulkan para remaja itu dan mengutarakan niatnya untuk mengajak mereka bergabung dalam sebuah grup musik perkusi.
Dia menjanjikan sebuah penampilan memukau, untuk membakar semangat. Gayung bersambut, mereka ikut.
Total ada belasan remaja yang bersedia bergabung dalam grup perkusi ini. Mulailah mereka mencari berbagai peralatan seadanya, untuk disulap jadi alat musik alakadarnya.
Beberapa remaja disuruh meminjam drum plastik yang biasa dipakai untuk memandikan jenazah, “Karena itu yang paling cepat,” katanya. Sebagian lagi bertugas mencari ember cat bekas, sisanya mempersiapkan stik dari potongan plastik dan besi-besi bekas.
Para musisi dadakan itu diajari pukulan-pukulan dasar pada ember cat bekas dan drum jenazah. Sedangkan Syaipul, jadi pemanisnya, mengiringi dengan alunan melodi merdu dari gesekan biola.
“Total kami ada sekitar 15 orang waktu itu. Grup perkusi itu diberi nama Poyo Harmony. Lagu yang kami bawakan ketika itu semuanya lagu nasional,” kata pria kelahiran, 30 Juli 1991 itu.
Selain menjadi penentu, meriahnya tepuk tangan dan banyaknya acungan jempol, menjadikan hari itu bak masa transisi terbesar dalam lingkup sosial-kemasyarakatan, khususnya para remaja yang sebelumnya selalu lengket dengan label negatif karena aktivitas mereka sebelumnya.
Respon penduduk sekitar sangat luar biasa, para orang tua yang sebelumnya selalu dihantui rasa khawatir, berbalik memiliki rasa bangga atas penampilan anak-anak mereka.
Terlebih, para remaja yang dulu sibuk balap motor, kini mereka ada mainan baru. Setidaknya, grup perkusi yang mereka bentuk lebih bermanfaat ketimbang kebut-kebutan di jalan.
“Setelah itu, rutin lah kami latihan dan kami sering diundang dalam acara-acara besar, seperti MTQ. Puncaknya, kami melakukan MoU dengan Lanal Karimun di akhir tahun 2016. Jadi setiap ada acara mereka pasti kami ikut isi, bahkan jadi musik pengiring,” sebut bapak beranak satu ini.
Poyo Harmony Membekas di Hati
Dalam perjalanannya, grup Perkusi Poyo Harmony tentu tak berjalan mulus. Di antara tantangan besar yang mereka hadapi salah satunya cibiran sekelompok masyarakat, walau hanya segelintir.
Namun, tak sedikitpun dia termakan hasutan. Syaipul dan rekan-rekannya tetap berkarya sebagai sebuah upaya berbuat baik yang diharapkan bisa ditularkan ke generasi demi generasi.
Kondisi itu dapat dimakluminya karena memang latar belakang masyarakat di kampung ini, rata-rata tak mengenyam pendidikan tinggi. Namun pelan-pelan kendala itu bisa dihadapi.
“Saya sering bilang ke teman-teman, jangankan berbuat yang tidak baik, kita berbuat baik saja pasti ada yang tak suka. Itu sudah jadi lumrah manusia,” ucap anak keempat dari tujuh bersaudara ini.
Seiring berjalannya waktu, grup perkusi yang diprakarsai oleh Syaipul kian fenomenal. Bahkan ada banyak para orang tua dari kampung lain menginginkan anak-anak mereka bergabung di Poyo Harmony.
Tahun 2018, Ipul dan teman-temannya membuka perekrutan secara besar-besaran. Kala itu, hampir 200 orang bergabung. Seiring berjalannya waktu, ditambah dengan tuntutan pendidikan, mengharuskan satu per satu dari mereka pergi
Namun Poyo Harmony sudah melekat di hati. Grup perkusi ini sudah menjadi rumah dan keluarga kedua bagi mereka. Sekecil apapun prestasi yang berhasil ditorehkan Poyo Harmony, tetap membekas dan berarti bagi Syaipul dan rekan-rekan seangkatannya.
“Sekarang (Poyo Harmony) masih aktif. Keanggotaan ada sekitar 50-an orang dan mereka masih sering tampil,” ujar pria kelahiran Tanjung Batu, Karimun itu.
Penyelamat Generasi Milenial Lewat Musik Rongsokan
Seiring berjalannya waktu, Syaipul semakin menyadari bahwa apa yang dilakukannya bukan hanya sebatas menyalurkan hobi pada musik, tapi jauh lebih dari itu.
Meski selama ini dia tak pernah bersentuhan dengan aktivitas lingkungan, namun Syaipul sadar betul bahwa pemanfaatan sampah plastik, sedikit banyak berkontribusi dalam penyelamatan lingkungan, terutama di sekitar tempat tinggalnya.
“90 persen alat-alat musik yang dimainkan Perkusi Poyo Harmony berasal dari sampah plastik tak terpakai, seperti ember cat bekas, galon tak terpakai, drum-drum bekas, sisanya limbah-limbah besi dan lain-lain,” kata Syaipul.
“Kalau sampah itu tidak termanfaatkan, berserak, dan setahu saya proses penguraiannya sangat lama, bahkan puluhan hingga ratusan tahun, dan pasti akan sangat berdampak terhadap kondisi lingkungan,” sambungnya.
Dampak lain yang turut dirasakan Ipul dengan hadirnya Perkusi Poyo Harmony, bergesernya mindset buruk para orang tua terhadap aktivitas anak-anak mereka.
“Para orang tua sadar, bahwa tidak semua anak-anak mereka yang suka ‘pukul memukul’ itu negatif. Meskipun pada awalnya tantangan yang dihadapi sangat besar,” tuturnya.
Meski beragam persepsi muncul, setidaknya Ipul berhasil menjadi penggerak sebagai penyelamat generasi milenial meski lewat musik rongsokan.
Minimal ada dua hal penting yang menjadi dasar penguat dari gerakan yang dilakukan Syaipul.
Pertama, sebagai penyelamat generasi, kedua, sebagai gerakan penyelamatan lingkungan. Lewat perkusi, keduanya menjadi satu kesatuan yang saling berkesinambungan.
Menurut pengamat komunikasi sosial, Muhammad Syafi’i, salah satu pemicu utama munculnya penyakit masyarakat karena tidak adanya upaya penyelamatan serius terhadap suatu generasi (kelompok remaja).
Dari pengamatannya, anak pada usia remaja cenderung memiliki rasa penasaran tinggi terhadap sesuatu, sehingga kecenderungan untuk mencoba atau melakukan, juga semakin tinggi.
“Kalau mereka tertarik dengan balap, misalnya, mereka akan coba balapan itu seperti apa. Kalau mereka suka musik, mereka akan mencoba musik seperti apa,” tuturnya.
Oleh sebab itu, di masa-masa seperti ini, penting ada dorongan kepada kaum remaja untuk diarahkan ke hal positif. Salah satunya dengan memberi ruang berekspresi sebebas mungkin, agar kelompok ini mendapat pengakuan dari lingkungan di sekitarnya.
Seperti yang dilakukan oleh Syaipul Bahri. Kata Syafi’i, berangkat dari kekhawatiran terhadap kondisi remaja di lingkungan tempat tinggalnya, hatinya tergerak untuk melakukan sesuatu yang lebih bermanfaat.
Bahkan gerakan itu muncul di tengah keterbatasan finansial dan terbukti berhasil menyelamatkan generasi—mengubah sekelompok remaja dari hal negatif ke hal positif.
“Dengan tampil dalam sebuah kelompok perkusi misalnya, ada respon positif dari masyarakat, akhirnya keberadaan mereka diakui, itu sudah sangat luar biasa untuk mengubah kebiasaan negatif ke positif,” jelasnya.
Sementara itu, penggiat lingkungan dari Walhi Riau, Ahlul Fadli berpandangan bahwa upaya penyelamatan lingkungan memang tak harus dilakukan dengan gerakan yang besar.
“Sekarang ada banyak contoh yang bisa kita lihat gerakan-gerakan kecil dalam penyelamatan lingkungan, seperti pemanfaatan barang bekas untuk berbagai hal. Bahkan hal itu tidak hanya sebatas dari upaya penyelamatan lingkungan dan bentuk kreativitas di bidang seni, tapi juga bisa menjadi peluang ekonomi bagi masyarakat,” tuturnya.
Fadli menyebut, perkusi sejak dulu telah menjadi kesenian yang memberikan dampak terhadap lingkungan, terutama dalam mengurangi kontribusi sampah plastik terhadap kerusakan lingkungan.
“Barang-barang bekas, seperti ember, galon bekas, dan sampah-sampah lainnya tidak dibuang, tapi bisa jadi alat untuk bermanfaat dalam dunia seni. Itu suatu hal yang luar biasa,” tuturnya.
Menurut Fadli, apa yang dilakukan Syaipul adalah hal yang menarik. Dia tidak cuma jadi pelopor penyelamat generasi, tapi bisa menjadi pelopor penyelamat lingkungan lewat musik rongsokan di daerah kepulauan.
Hanya saja, yang perlu didorong bagaimana kehadiran Syaipul menginspirasi banyak orang untuk melakukan hal sama, sehingga upaya penyelamatan lingkungan lewat musik rongkan terjadi secara masif.
“Hanya saja, yang perlu kita dorong bagaimana sisi edukasi dalam penyelamatan lingkungan juga harus disampaikan kepada masyarakat. Jika bisa lewat musik, itu jauh lebih baik,” tuturnya.
Torehkan Prestasi Bergengsi Lewat SATU Indonesia Award
Pertemuan Syaipul Bahri dengan Astra di tahun 2017 boleh dikatakan tak sengaja. “Saya iseng searching di internet, pas lewat iklan sayembara dari Astra. Saya coba kirimkan karya,” katanya.
Karya-karya yang diikutkan Ipul ternyata mencuri perhatian pihak Astra. Dia kemudian diminta untuk mengikuti berbagai tahapan seleksi. Pada akhirnya, jerih payah yang selama ini dilakukannya membuahkan hasil.
Terbukti, dia berhasil diganjar penghargaan bergengsi lewat apresiasi Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Award tahun 2018 di bidang pendidikan. Kala itu, Ipul menjadi pelopor program penampungan untuk anak kurang mampu lewat sebuah sanggar pendidikan.
Pada tahun 2021, dia kembali diganjar penghargaan yang sama di bidang lingkungan. Dalam penilaian Astra, Ipul layak diapresiasi sebagai penyelamat generasi milenial lewat musik rongsokan dengan hadirnya Perkusi Poyo Harmony.
Menurut Ipul, Astra punya perhatian luar biasa terhadap orang-orang di sekitarnya. Terutama terhadap mereka yang konsisten berbuat baik tanpa pamrih.
Baginya, apa yang dilakukan Astra merupakan wujud kepedulian nyata. Itulah salah satu alasan mengapa orang-orang dengan gagasan inspiratif tetap bisa utuh memelihara semangatnya untuk terus berkarya dan berkembang hingga kini.
“Pertemuan saya dengan Astra telah mengubah banyak hal. Saya merasa apa yang saya lakukan selama ini benar-benar dihargai. Tak hanya itu, bimbingan dari Astra juga dilakukan secara berkelanjutan.
Semangat berbuat untuk negeri, ternyata memang tak pernah padam dari diri Ipul. Tahun ini, ia kembali menaruh asa pada SATU Indonesia Award 2023, dengan mengikutkan sebuah terobosan besar di bidang pendidikan.
Sebagai seorang abdi negara di SDN 14 Bandul, Kecamatan Tasik Putri Puyu, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, Ipul kembali mempelopori sebuah sistem berbasis IT untuk memudahkan siswa didiknya menyelesaikan soal-soal ujian. Hal ini, kata dia, sangat relevan dengan sistem pembelajaran berbasis teknologi.
“Saat saya ditugaskan di SDN 14 Bandul tahun 2019, kami dapat bantuan sebanyak 26 tablet, tapi waktu itu tak terpakai. Saya berpikir keras, apa yang bisa dibuat dengan perangkat ini tapi memberikan manfaat besar untuk anak didik saya,” tuturnya.
Hingga muncul sebuah gagasan brilian, yakni dengan memanfaatkan google form menjadi sarana digital untuk menyelesaikan soal-soal ujian. Platform ini dikombinasikan dengan QR code.
“Saya cukup tampilkan QR code. Jadi dengan tablet itu, siswa cukup scan QR code-nya dan muncul soal-soalnya. Bahkan, setelah selesai mengerjakan soal, siswa bisa langsung melihat nilainya.
Kala itu, di desa ini belum ada jaringan internet. Namun hal itu tak membuat Ipul habis ide. Dia mengaktifkan hotspot lewat smartphone pribadinya agar para siswa yang ikut ujian dapat jaringan internet. “Alhamdulillah-nya pola ini berhasil,” tuturnya.
Inovasi ini pun sampai ke pihak pengawas SDN 14 Bandul. Mereka kemudian mempelajari pola kerja sistem yang digagas Ipul. Pihak pengawas pun sepakat bahwa sistem pembelajaran berbasis teknologi ini harus bisa dinikmati oleh para siswa di sekolah lain.
Bahkan, sistem ini telah diadaptasi oleh sekolah-sekolah di daerah lain, salah satunya di Kabupaten Pelalawan.
“Dari situlah, sekarang sekolah kami jadi sekolah percontohan. SD kami menjadi sekolah pertama se-Riau yang melaksanakan ujian dengan sistem digital. Inovasi inilah yang akan saya ikutkan ke SATU Indonesia Award 2023. Mohon doanya,” tutur Ipul mengakhiri cerita.
Syaipul Bahri hanya satu dari sekian banyak orang-orang di luar sana, yang berbuat untuk negeri dan berhasil menoreh prestasi bergengsi bergengsi. Berangkat dari segala keterbatasan, tak membuat semangat mereka surut.
Dari Ipul kita belajar bahwa kreativitas dan gagasan adalah sesuatu yang mahal dan langka, tapi menjadi sebuah gerakan perubahan besar jika ditularkan. Tak ada kata negatif untuk mencontoh hal yang positif.
Hilary Hilton Ziglar, sang motivator dunia yang dikenal dengan sebutan Zig Ziglar, pernah berkata, “Kamu tidak perlu menjadi luar biasa untuk memulai, tapi kamu harus memulai untuk menjadi luar biasa.” ***