BERTUAHPOS — Fenomena kopi keliling dengan sepeda listrik kini tengah marak di Kota Pekanbaru. Berbagai sudut kota mulai ramai ditemui pedagang kopi yang menawarkan sajian praktis dan terjangkau bagi masyarakat. Namun, tren ini menimbulkan pertanyaan, akankah kopi keliling bernasib sama dengan usaha minuman tren sebelumnya, seperti teh es dan cappuccino cincau lebih dulu ramai, yang perlahan redup?
Sebelum hadirnya kopi keliling, masyarakat Pekanbaru sempat dikejutkan dengan booming usaha teh es. Hampir di setiap jalan utama, pedagang dengan gerobak atau tenda menawarkan teh es dalam berbagai rasa. Namun, kepopuleran itu tidak bertahan lama, hingga akhirnya banyak pedagang yang gulung tikar. Hal serupa juga terjadi pada usaha cappuccino cincau, yang sempat digandrungi tapi akhirnya tenggelam karena persaingan dan kejenuhan pasar.
Menurut akademisi dari Universitas Islam Riau, Dr. Ahmad Maulana, M.M, fenomena ini adalah pola wajar dalam siklus bisnis kuliner di kota besar. “Setiap tren minuman punya masa booming, tapi biasanya hanya bertahan ketika ada inovasi berkelanjutan. Jika tidak, pasar akan cepat jenuh,” ujarnya saat diwawancarai Bertuahpos pada Rabu, 20 Agustus 2025.
Ia menambahkan, kopi keliling memiliki sedikit perbedaan dibandingkan tren sebelumnya. “Kopi punya pasar yang lebih luas dan segmentasi yang lebih kuat. Berbeda dengan teh es atau cappuccino cincau yang lebih bersifat musiman, kopi sudah menjadi bagian dari gaya hidup sebagian masyarakat,” jelasnya.
Namun demikian, Dr. Ahmad Maulana menekankan bahwa keberlangsungan usaha kopi keliling sangat bergantung pada strategi pelaku usahanya. “Kalau hanya menjual kopi hitam atau kopi susu dengan konsep standar, dalam waktu tertentu pasti akan turun juga. Kuncinya ada di diferensiasi, inovasi produk, serta pelayanan,” katanya.
Di sisi lain, tren kopi keliling dianggap sebagai bentuk kreativitas anak muda Pekanbaru dalam melihat peluang bisnis. Modal yang relatif kecil, ditambah dengan penggunaan sepeda listrik yang ramah lingkungan, menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen.
Meski begitu, tantangan tetap menanti. Persaingan antar penjual, keterbatasan area pemasaran, hingga perubahan tren konsumen bisa menjadi faktor yang memengaruhi keberlangsungan bisnis ini. “Kalau pelaku usaha bisa membaca tren pasar, memanfaatkan media sosial, serta menjaga kualitas, kopi keliling masih punya peluang lebih panjang dibandingkan tren minuman sebelumnya,” tambahnya.
Kini, tinggal bagaimana para pelaku usaha kopi keliling mengelola bisnis mereka. Apakah akan bernasib sama dengan teh es dan cappuccino cincau yang hanya sesaat, atau justru bertahan sebagai bagian dari budaya ngopi masyarakat urban di Pekanbaru.***





































