BERTUAHPOS.COM – Kabar penangkapan pasangan selebrita, AB dan NR, terkait kasus dugaan penyalahgunaan dan kepemilikan narkoba jenis sabu sungguh menghebohkan media pemberitaan tanah air dalam sepekan ini. Hal yang menarik dari mencuatnya kasus ini adalah bahwa kabar awal penangkapan tersebut justru diperoleh masyarakat dari unggahan satu akun di media sosial Twitter dan Instagram. Berasal dari akun Capres Abadi, @p3nj3l4j4h_id. yang mengunggah sebuah cuitan yang menyertakan tangkapan layar sebuah berita. Bisa ditebak, warganet pun langsung beradu cepat mengunjungi laman media sosial milik NR.
Ada hal yang menggelitik saat membaca berita-berita terkait penangkapan AB dan NR yang disajikan media pemberitaan, khususnya portal berita online. Bagaimana tidak, sebagian besar media menggiring pemberitaan kasus AB dan AR sebagai berita kriminal dengan gaya penulisan enternainment. Belum lagi nama NR paling sering ditulis dengan jelas dan lengkap –tanpa inisial, padahal masih dugaan- di bagian judul hingga teks berita dibanding nama AB, suaminya. Bahkan satu pelaku lainnya yang merupakan sopir pribadi AB dan NR yang juga turut tertangkap di lokasi kejadian malah diberikan inisial dalam naskah berita dan tidak pernah disebutkan di judul berita.
Sepintas apa yang dilakukan media terkait usaha memberitakan kasus AB dan NR ke khalayak tidak mutlak salah. Karena hal seperti ini seringkali dilakukan oleh media di Indonesia jika menyangkut kasus yang menimpa tokoh terkenal dan public figure. Padahal idealnya, pers harus menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dalam pemberitaannya. Pers bukanlah polisi, bukan jaksa dan juga bukan hakim yang bisa menyatakan seseorang bersalah atau tidak bersalah.
Peristiwa yang menimpa AB dan NR patut diangkat dan di blow up karena peristiwa tersebut mengandung unsur news value yang tinggi. Sosok AB dan NR memenuhi syarat untuk itu, keduanya adalah selebrita yang sangat dikenal masyarakat. Selain keduanya berasal dari keluarga tokoh konglomerat yang pernah memimpin salah satu partai politik terbesar di negeri ini. Tentu apa pun yang dilakukan keduanya dianggap menarik untuk diberitakan. Dan hal lain yang dianggap penting adalah jika kekuasaan politik dan kekuasaan media bersatu atau bersinergi di balik pemberitaan kasus AB dan NR.
Idealnya, setiap media menyajikan secara utuh peristiwa dalam pemberitaan secara objektif, adil dan berimbang. Dan itu harus berlaku untuk semua peristiwa. Namun pada kenyataannya, banyak penelitian telah membuktikan bahwa isi media tidak selalu mencerminkan seluruh realitas sosial yang ingin disampaikan, Media bergantung pada kepentingan ideologi, ekonomi dan politik yang dibangun. Tidak serta merta hanya mengikuti nilai kebutuhan publik, tapi bisa juga mengikuti kebutuhan elit media hingga kepentingan penguasa.
Oleh karena itu, kalangan kritis beranggapan bahwa berita bukanlah sekedar subyektivitas dari si pembuat berita, melainkan ada suatu kekuatan dominan yang mempengaruhi konstruksinya. Dan media bukanlah entitas yang netral, tetapi dikuasai oleh kelompok dominan (Eriyanto, 2012). Media punya kepentingan terkait segala hal yang diberitakannya.
Ini karena setiap pekerja media mempunyai pandangan dan konsepsi yang berbeda atas suatu peristiwa. Pembentukan konstruksi realitas dalam pemberitaan, sangat dipengaruhi oleh hubungan kekuatan-kekuatan sosial yang melingkupi media tersebut dan tentunya dengan berbagai tekanan yang mereka hadapi. Wartawan adalah subjek yang mengkonstruksi realitas lengkap dengan pandangan yang dimilikinya. Begitu juga bias dan pemihakannya. Di sini media dianggap sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas (Catur Nugroho, 2020).
Pendekatan Ekonomi Politik Media
Saat ini peran media dalam kehidupan manusia menjadi sangat sentral. Sehingga kajian mengenai peran media dalam kehidupan manusia menjadi penting. Berbagai pendekatan terhadap penelitian media yakni pendekatan yang sifatnya fungsionalis, pluralis dan kritis. Dalam pendekatan kritis yakni yang diwakili dengan terminologi pendekatan Marxisme terdapat tiga kelompok pendekatan yakni pendekatan strukturalist, ekonomi-politik dan pendekatan kulturalis
Pendekatan ekonomi-politik kritis dikembangkan di fakultas ilmu sosial oleh para ahli yang memiliki latar belakang pendidikan ekonomi, ilmu politik dan sosiologi. Pendekatan ini terutama mendapat pengaruh dari Teori Marxis, namun demikian dalam perjalanannya telah berkembang berbagai varian pendekatan ini. Menurut Chandler (1998), pendekatan Neo Marxist banyak digunakan oleh teoritisi media pada tahun 1960-an sampai dengan tahun 1980-an. Teori Marxist cenderung menekankan peranan media massa dalam mereproduksi status quo, sebagai kebalikan dari kelompok pluralis media yang menekankan pada peranan media dalam meningkatkan kebebasan berbicara yang merupakan perspektif dominan di Amerika sejak tahun 1940-an. Munculnya pendekatan Neo Marxist dalam ilmu sosial merupakan reaksi terhadap model fungsionalis dari masyarakat. Kelompok fungsionalis menjelaskan kelembagaan sosial mempunyai fungsi kohesif dalam sistem sosial-budaya yang saling terkait. Fungsionalis tidak mengakui adanya konflik, sedangkan marxisme se-baliknya menawarkan pandangan yang berguna mengenai konflik kelas. Neo marxisme berkembang terutama pada tahun 1970-an dan awal 1980-an (Sarwoprasodjo dan Agung, 2008).
Menurut Gurevitch terdapat 3 paradigma dalam pendekatan Kajian Media Marxisme yakni: (1) Kelompok “strukturalis” , antara lain adalah Althuserian Marxisme dengan fokus pada artikulasi internal dari sistem penandaan media. (2) Kelompok “political economy” memandang ideologi sebagai subordinat dari ekonomi. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah Graham Murdock yang menempatkan kekuatan media dalam proses ekonomi dan struktur produksi media. Pemilikan dan pengendalian media dilihat sebagai faktor kunci dalam mengendalikan pesan media. (3) Kelompok “kulturalis” yang termasuk didalamnya adalah Stuart Hall yang mewakili Culturalist Marxism mempunyai pandangan bahwa media massa bersifat habis dalam mempengaruhi pembentukan kesadaran publik (Curran et all, 1982:28 dikutip oleh Chandler, 1995). Kulturalis mengikuti strukturalis dalam hal menolak economism, tetapi tidak seperti structuralism, pendekatan ini menekankan pada pengalaman aktual; dari sub-kelompok dalam masyarakat dan mengkontekstualisasi media dalam masyarakat yang dilihat sebagai “a complex expressive totality”. Pendekatan Kulturalis tercermin dalam karya-karya The Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS) di University of Birmingham di mana Stuat Hall pernah menjadi direkturnya. Seperti dikatakan Curran, teori-teori Marxist bervariasi dalam hal pembahasannya mengenai pengaruh media massa dan pengaruh karakteristik dan kekuasaan dari ideologi media massa
Komodifikasi
Terbukti, media telah menjadi industri atau institusi bisnis yang besar meski tanpa meninggalkan bentuknya sebagai institusi masyarakat. Karenanya pemahaman tentang prinsip-prinsip utama struktur dan dinamika media menuntut analisis ekonomi, selain analisis politik dan sosial-budaya. Di sini komodifikasi adalah titik masuk awal untuk menteorisasikan ekonomi politik media. Vincent Mosco (2009) mendefinisikan komodifikasi sebagai proses mengubah barang dan jasa, termasuk komunikasi yang dinilai karena kegunaannya, menjadi komoditas yang dinilai karena apa yang akan mereka berikan di pasar (commodification is define as the process of transforming goods and service, including communication which are value or what they ill bring in the marketplace). Dalam hal ini ada tiga jenis komodifikasi, yaitu komodifikasi konten, komodifikasi khalayak, dan komodifikasi pekerja.
Sederhananya, komodifikasi adalah perubahan nilai dan fungsi dari suatu barang atau jasa menjadi komoditi (yang memiliki nilai ekonomi). Dikaitkan dengan komodifikasi konten media, maka bagaimana isi berita berubah menjadi sajian yang semakin menarik sebagai komoditas.
Awal lahirnya komodifikasi berasal dari Karl Marx yang membuat sebuah analisis komoditi. Marx menemukan bahwa komoditas telah menjadi bentuk paling jelas, representasi paling eksplisit, dari produksi kapitalis. Secara harfiah, kapitalisme tampil sebagai koleksi komoditas yang luar biasa besarnya. Kapitalis merepresentasikan bentuk dan arahan dari media bersangkutan.
Dalam bukunya Communist Manifesto, Karl Marx mendefinisikan komodifikasi sebagai “Callous Cash Payment,’’ yakni pembayaran bentuk tunai yang tidak berperasaan”. Karl Marx menggambarkan bahwa kaum kapitalis yang mempunyai kontrol atas apapun telah mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar, mengubah hubungan sentimental dalam keluarga menjadi hubungan yang mempergunakan uang sehingga segala sesuatu tidak akan bernilai jika tidak mempunyai nilai tukar (Nandi 2014).
Menurut Marx, komoditas terjadi karena adanya jangkauan kebutuhan yang luas, baik fisik maupun kultural dan penggunanya dapat dijabarkan melalui berbagai cara komoditas bisa muncul dari berbagai macam kebutuhan sosial tersebut termasuk di dalamnya kepuasan jasmani sampai pemenuhan kebutuhan untuk bertahan hidup, tetapi lebih meluas sampai penggunaanya yang didasarkan pada kebutuhan sosial. Sehingga komodifikasi mengacu kepada proses mengubah. Nilai pakai menjadi nilai tukar dan beragam cara bagaimana proses ini kemudian diperluas kedalam bidang sosial dari produk komunikasi, audience dan tenaga kerja yang selama ini mendapat sedikit perhatian. Proses komodifikasi ini menggambarkan cara kapitalisme membawa modalnya melalui perubahan nilai pakai menjadi nilai tukar (Mosco dalam Nandi, 2014)
Bila ini dikaitkan dengan industri media di Indonesia, harus diakui lebih banyak melibatkan relasi antara pihak pemodal (kapitalis) dengan negara dibanding melibatkan relasi antara pengelola media dengan khalayak media. Dari dua elemen ini, maka yang terasa sangat dominan perannya dalam industri media di Indonesia saat ini adalah pemodal yang menjadi penguasa media. Dan hegemoni penguasa media di Indonesia makin diperparah dengan terjunnya para pemilik media ke dalam kancah politik tanah air, sehingga begitu banyak media di Indonesia menjadi alat bagi kepentingan ekonomi dan politik pemiliknya.
Lebih jauh tentang komodifikasi, ada tiga kekuatan utama yang mendorong terjadinya proses komodifikasi. Pertama, perusahaan media yaitu korporasi yang memproduksi dan mendistribusikan media, mengembangkan teknologi baru seperti web, situs, jejaring sosial, dan aplikasi mobile untuk tujuan komersial, yaitu membangun pasar, menghasilkan keuntungan, dan mendapatkan nilai lebih. Kedua, negara yang berkontribusi secara luas untuk memobilisasi lembaga, hukum dan dukungan publik untuk proses komodifikasi. Negara yang memberikan kerangka kerja kelembagaan bagu produsen media. Jika negara tidak mendukung korporasi media dengan peraturan yang memudahkan proses produksi maka komodifikasi tidak akan berkembang. Hal ini biasa terjadi di dalam negara yang menganut sistem totaliter absolut, di mana seluruh proses komunikasi media diatur bahkan dipegang oleh lembaga negara. Ketiga, pemilik modal (kapitalis) yang menggunakan media untuk menyampaikan pesan mereka, khususnya melalui iklan komersial yang bekerja sama dengan informasi dan hiburan mempromosikan produk-produk mereka (Catur Nugroho, 2020).
Komodifikasi Konten
Mosco menyampaikan, komodifikasi konten (isi media) sebagai sebuah proses komodifikasi dalam komunikasi yang melibatkan transformasi pesan, mulai dari hal-hal kecil sampai sebuah sistem yang memiliki makna berarti, menjadi produk pasar. Komodifikasi menjadi hal yang penting ketika media telah menjadi produk komersial.
Berita yang mengangkat tertangkapnya AB dan NR terkait penyalahgunaan dan kepemilikan sabu menjadi konten media yang bernilai secara ekonomis dapat dipahami sebagai sebuah proses komodifikasi yang sangat strategis. Sehingga proses olahan dalam ruang produksi media berjalan sangat dinamis dalam berbagai pertimbangan antara struktur dan agensi. Di sini media berusaha untuk memproduksi konten yang bernilai ekonomis tinggi.
Tujuan utama produksi konten media pun turut mengalami pergeseran. Semula untuk pemenuhan atas hak informasai bagi khalayak, namun belakangan lebih pada konsep fungsionalisme ekonomi, yakni tercapainya nilai kapital dari sebuah produksi. Alih-alih menjalankan fungsi kontrol sosial, media seringkali menjadi sarana untuk menggiring opini publik ke arah yang diinginkan pemilik media, termasuk bagaimana dapat meraup keuntungan sebesar-besarnya dari penayangan berita tersebut dengan mengabaikan nilai-nilai yang ada di masyarakat.
Dan tujuan untuk mendapatkan keuntungan membuat berita yang disajikan cenderung tidak mengindahkan bobot atau kualitas isi serta fungsi dasar dari media sebagai sumber informasi serta fungsi mendidik khalayak. Tujuan utama berita pada industri media cenderung menyajikan isi berita yang dapat laku di pasaran. Akhirnya banyak berita yang dimuat oleh media menjadi tidak mendidik, dan keluar dari koridor seharusnya.
Ini jelas terlihat dalam pemberitaan kasus AB dan NR di sejumlah media. Berita AB dan NR cenderung digiring sebagai komodifikasi berita kriminal dengan infotainment. Bahkan beberapa media yang menempatkan NR sebagai sosok utama dalam pemberitaannya justru menggunakan postingan-postingan NR di media sosial pribadinya sebagai bahan berita yang diberi interpretasi-interpretasi yang merugikan pihak NR, tanpa disertai chek and recheck dalam bentuk wawancara dengan NR. Parahnya lagi, beberapa media lainnya mengkomodifikasi isi beritanya sebagai berita politik yang menyudutkan pihak orangtua AB dan NR dalam kasus tersebut.
Dapat dikatakan bahwa pemberitaan kasus AB dan NR semakin lama untuk memenuhi libidonomic. Istilah ini dikutip dari Syah Putra (2015). Libidonomic yaitu libido atau syahwat dari para pemodal sebagai pemilik media untuk mendapatkan keuntungan kapital secara massif dan pada akhirnya melahirkan pembunuhan karakter seseorang di media. Dan ini sama saja mengabaikan elemen kebenaran –sebagaimana yang disebutkan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam 10 elemen jurnalisme— sebagai elemen pertama yang wajib dijunjung tinggi oleh jurnalis dan media jurnalistik. Karena realitas yang dibangun sebagian besar media di Indonesia dalam memberitakan kasus AB dan NR tak lain untuk membentuk opini publik dengan massa yang cenderung apriori dan opini massa yang cenderung sinis.
Benar, bahwa proses produksi isi berita di media tidak berlangsung dalam ‘’ruang hampa’’ yang bebas nilai, tetapi terjadi dengan memperhitungkan kepentingan dan kekuatan ekonomi dan kepentingan politik. Ini merupakan pembenaran bahwa tak ada satu pun media berita yang benar-benar netral dalam pemberitaannya. Media pada dasarnya berpihak dan punya kepentingan.*
*) Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi bertuahpos.com