Bantuan Sosial (Bansos) menjadi topik pembicaraan di berbagai media. Berawal dari keputusan Pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menggelontorkan Bansos.
Terbaru mengumumkan pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT) baru Mitigasi Risiko Pangan. Lewat program pengganti BLT El Nino ini, Pemerintah akan membagikan bantuan total sebesar Rp 600.000 untuk 18,8 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM).
Untuk merealisasikannya, menurut perhitungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), diperlukan dana sebesar Rp 11,25 triliun. Sebenarnya Pemerintah Pusat sudah menganggarkan Rp 496,8 triliun untuk Program Perlindungan Sosial (Perlinsos) di APBN 2024.
Kalau Pemerintah mere-alokasi anggaran untuk menjalankan program BLT Mitigasi Risiko Pangan, maka alokasi anggaran Perlinsos berpotensi tembus Rp 500 triliun. Angka tadi disebut-sebut terbesar sepanjang sejarah negeri ini.
Dari sini kemudian “bola salju” menggelinding. Pembahasan meruncing. Gencarnya penyaluran Bansos di awal tahun 2024 justru mendapat sentimen negatif dari berbagai kalangan. Banyak mengaitkan dengan momen politik. Aji mumpung istilahnya.
Munculnya prasangka di tengah publik cukup beralasan. Mengingat realisasi digesa hari H jelang Pemilu dan salah satu pasangan calon memiliki hubungan istimewa dengan Presiden.
Suasana semakin bereskalasi manakala menteri yang Tupoksinya “tak nyambung” cawe-cawe bagikan Bansos. Sempat viral video menteri meminta warga penerima Bansos berterima kasih ke Presiden Jokowi.
Alur cerita tambah menarik ketika Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani berkata bahwa masyarakat berhak tahu penggunaan APBN. Secara implisit Menkeu ingin bilang Bansos berasal dari duit rakyat, maka rakyat harus ikut mengawasi pajaknya dipakai untuk apa.
Puncaknya, perkara Bansos disinggung di debat terakhir Capres yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) minggu malam lalu.
Kisruh bansos sangat disayangkan. Terlebih muncul tanggapan menyudutkan pihak yang mengkritisi “gerilya” Bansos.
Seperti tanggapan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir dalam sebuah acara (3/2/2024). “…hari ini sedang ada isu bansos, BLT, apa yang salah? Ketika keluarga yang tidak mampu yang jumlah 20,2 juta, memang mau kita diamkan saja? Ketika kita bisa duduk di tempat ini, minum, makan, bagaimana saudara-saudara kita?”
Pernyataan barusan dinilai kurang bijak. Menganggap yang mengkritisi seakan anti Bansos. Kami selaku anggota Komisi V yang mengurusi bidang Kesejahteraan Rakyat dan Sosial DPRD Riau sadar betul manfaat Bansos.
Kita sepakat Bansos instrumen jangka pendek membantu masyarakat menjaga daya beli pada waktu tertentu. Semisal bencana alam, masa pandemi, membantu pengentasan kemiskinan dan kemiskinan ekstrim.
Program Bansos turut ambil bagian menyejahterakan masyarakat, memenuhi dan menjamin kebutuhan dasar serta meningkatkan taraf hidup penerimanya. Sebagaimana dipaparkan dalam Inpres 7/2014 tentang Pelaksanaan Program Simpanan Keluarga Sejahtera, Program Indonesia Pintar dan Program Indonesia Sehat untuk Membangun Keluarga Produktif.
Urgensi
Mencuatnya sorotan terhadap Bansos belakangan bukan bentuk keraguan atas program. Akan tetapi lebih didasarkan kepada azas tepat guna dan urgensi. Mengutip perkataan bijak: Bansos hendaknya memberi manfaat kepada yang diberi, bukan ke si pemberi. Kritik diperlukan.
Kembali ke pernyataan Menkeu, di samping wujud transparansi juga mengawal agar tak ada penyalahgunaan. Kita tidak mau muatan baik dibalik program Bansos dikaburkan oleh niat buruk untuk kepentingan lain.
Menyoal urgensi, kenapa guyuran Bansos ditempuh saat indikator ekonomi sedang membaik? Bisa berkaca ke beberapa indikator. Pertama, tingkat kemiskinan.
Dalam pidato rapat paripurna RAPBN 2024 dan Nota Keuangan di Gedung Parlemen (16/8/2023), Presiden Jokowi membanggakan turunnya angka kemiskinan dan grafik kemiskinan ekstrem.
“Tingkat kemiskinan juga terus menurun menjadi 9,36 persen pada Maret 2023. Begitu juga dengan kemiskinan ekstrem yang turun dari 2,04 persen pada Maret 2022, menjadi 1,12 persen pada Maret 2023,” kata Jokowi. Kedua, tingkat pengangguran, Jokowi juga berkata berhasil diturunkan dari 6,26 persen pada Februari 2021 menjadi 5,45 persen pada Februari 2023. “Dan pertumbuhan ekonomi selama tujuh kuartal terakhir sejak akhir 2021 secara konsisten berada di atas 5 persen,” Lanjut beliau.
Disinilah keheranan timbul. Kalau sekarang Bansos digencarkan, secara tidak langsung Pemerintah mengakui kondisi perekonomian dan sosial sedang tidak baik-baik saja. Paradoks berikutnya, wajah Pemerintah yang mendua.
Di masa pandemi Covid-19 Pemerintah gembar-gembor ingin mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap berbagai bentuk Bansos sebagai cara menyambut era new normal pasca pandemi.
Diantaranya mengurangi keluarga penerima Bansos beras 10 Kg/bulan dari semula 21,35 juta menjadi 20,66 juta (berkurang 690 ribu). Jumlah tersebut dikurangi berdasarkan hasil evaluasi Badan Pangan Nasional (Bapanas) bersama pihak-pihak terkait. Upaya ditempuh untuk menjaga kualitas produk pangan tetap terjaga hingga sampai ke tangan penerima bantuan.
Dalih Pemerintah didasarkan atas masifnya temuan dimana pembagian Bansos tidak tepat sasaran. Ombudsman RI menyatakan bahwa tidak tepatnya penyaluran bansos termasuk maladministrasi dalam kategori penyimpangan prosedur, yakni penyelenggaraan layanan publik yang tidak sesuai dengan alur/prosedur pelayanan.
Bila Bansos yang lalu saja kerap bermasalah dan tidak tepat sasaran, apalagi sekarang?
Akhir tulisan, kendati output Bansos masih diperlukan sebagai instrumen negara melindungi masyarakat kelompok miskin dan rentan, namun jangan jadikan program utama sampai-sampai menguras uang negara. Jangan pula tersimpan maksud lain dibaliknya. Jor-joran belanja Bansos akan menjerumuskan mental masyarakat.
Presiden Jokowi saat menjabat Gubernur DKI malah lebih pedas lagi komentarnya, menyebut Bansos tunai kayak BLT tidak mendidik. Sekali lagi, alokasi Bansos penting tapi mesti berlandaskan urgensi dan prioritas.
Sedih melihat Laporan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengenai realisasi anggaran belanja jenis Bansos, belanja fungsi pendidikan, dan kesehatan di APBN 10 tahun terakhir.
Dari ketiga belanja tersebut, realisasi dan alokasi anggaran fungsi kesehatan yang terkecil. Realisasi pos ini cenderung di bawah Rp100 triliun per tahun. Bahkan realisasi dan alokasi belanja kesehatan rentang 2022-2024 lebih rendah dari belanja Bansos. Padahal kesehatan vital guna membentuk Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa menuju Generasi Emas 2045.
Baik itu untuk akselerasi penurunan stunting; pemenuhan alat kesehatan dan pemerataan pembangunan fasilitas kesehatan; peningkatan kualitas dan distribusi tenaga kesehatan; penguatan teknologi kesehatan dan kemandirian farmasi dalam negeri; serta penguatan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Penulis Dr. (HC) H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, Lc, MM adalah Anggota Komisi 5 DPRD Provinsi Riau.