BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU —Para penggiat lingkungan menyebut bahwa bencana banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan (Kalsel) sejatinya adalah bentuk peringatan keras untuk Gubernur Riau Syamsuar.
Riau sebaiknya sesegera mungkin mengambil langkah pencegahan agar bencana serupa tidak menimpa Bumi Lancang Kuning.
“Syamsuar harus membentuk tim khusus, menyusun dan segera menetapkan rencana penanggulangan bencana daerah tingkat provinsi,” kata Wakil Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) Okto Yugo Setyo dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 27 Januari 2021.
Pemerintah provinsi juga harus bergerak cepat untuk melakukan penertiban lahan-lahan sawit ilegal dan mewujudkan ‘Riau Hijau’ yang dulu digadangkan, dengan mengevaluasi izin-izin korporasi sawit yang merusak hutan dan lingkungan hidup.
“Ini sudah menjadi hal yang sangat mendesak, agar musibah bencana banjir di Riau tidak merenggut nyawa,” ungkapnya.
Dalam Peraturan Presiden 87 Tahun 2020 Tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana (RIPB) tahun 2020-2024, Gubernur wajib menyusun dan menetapkan rencana penanggulanan bencana daerah dengan mengacu pada RIPB secara terbuka dan partisipatif.
Dalam RIPB, strategi penanggulangan bencana pada poin 4 huruf c dan d, meningkatkan keterbukaan informasi dan komunikasi, kualitas sistem perencanaan, serta pemantauan dan evaluasi dalam penanggulangan bencana serta mendorong pelibatan pemangku kepentingan dalam tata kelola penanggulangan bencana untuk meningkatkan akuntabilitas.
Menurut Jikalahari, selain membuka akses informasi dan melibatkan para pemangku kepentingan, Gubernur juga harus merencanakan pemulihan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Pada poin 6 huruf d, meningkatkan kualitas pemulihan sosial ekonomi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup.
Penetapan rencana penanggulangan bencana daerah Provinsi, percepatan pemulihan sosial
ekonomi, sumber daya alam dan lingkungan hidup termasuk penegakan hukum dan evaluasi izin sangat penting dan harus segera dilakukan, termasuk melindungi hutan alam tersisa dari ancaman deforestasi.
“Hilangnya hutan alam yang menjadi tempat resapan air akibat pembukaan lahan menyebabkan terjadinya bencana banjir Riau dan longsor ketika musim hujan,” kata Okto Yugo.
Korban Jiwa Banjir Kalsel
Kasus bencana banjir di Kalsel, Hingga Rabu, 20 Januari 2021, terdapat 21 korban meninggal, 120.284 KK atau 342.987 jiwa yang terdampak dan 63.608 orang mengungsi akibat banjir.
Tiga bulan lalu, pada 13 Oktober 2020, dalam rapat terbatas melalui konferensi video Presiden Joko Widodo menyampaikan, “Siapkan langkah untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana hidrometeorologi akibat fenomena La Nina, yang diprediksi akan meningkatkan curah hujan bulanan antara 20-40% di atas normal.”
Lalu pada 23 Januari 2021, dalam konferensi pers secara daring Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyampaikan sebagian besar wilayah Indonesia yaitu 94 persen dari 342 Zona Musim saat ini telah memasuki puncak musim hujan seperti yang telah diprediksikan sejak Oktober 2020 lalu.
Puncak Musim Hujan akan terjadi pada Januari dan Februari 2021, untuk itu perlu diwaspadai terjadinya cuaca ekstrem.
“Jauh-jauh hari BMKG sudah mengingatkan pemerintah terkait hidrometeorologi, peringatan ini wajib dikerjakan Gubernur Riau,” Okto.
Bagaimana dengan Kondisi di Riau
Catatan Jikalahari, Riau merupakan daerah yang rawan banjir. Sejak 2008 – 2020 ada 58 orang meninggal, 1.067.615 jiwa terdampak banjir dan 4.895 rumah hancur dan terdampak banjir salah satu wilayah sering terdampak banjir adalah desa Lubuk Kembang Bunga.
Hasil temuan Jikalahari di bentang Tesso Nilo “Sejak 5 tahun terakhir banjir sering terjadi, ini akibat terjadi perambahan hutan alam di sekitar Taman Nasional Tesso Nilo dan kehadiran perusahaan sawit dan akasia, ini semakin diperparah karena PT RAPP Sektor Ukui membangun tanggul sehingga air sungai meluap ke desa,” kata Okto.
Perusakan hutan alam di kawasan hutan oleh korporasi sawit dan HTI serta cukong yang menebang hutan alam dan merusak gambut dalam penyebab utama banjir di Riau.
Di Riau, luas hutan alam tersisa dari tahun ke tahun semakin memprihatinkan.
Hasil analisis Jikalahari melalui Citra Landsat 8-OLI dan Sentinel-2, terjadi peningkatan deforestasi mencapai 3 kali lipat dibandingkan tahun 2018.
Pada 2019, sisa hutan alam di Riau seluas 1.442.669 hektar dari 6.727.546 hektar pada 1982.
Peningkatan deforestasi dilakukan oleh korporasi HTI, perkebunan sawit dan cukong-cukong yang merambah kawasan hutan lindung, konservasi dan taman nasional.
Berdasarkan data Jikalahari, korporasi menguasai 2,1 juta hektar yang dikuasai oleh APP dan APRIL Grup.
Temuan Pansus Monitoring Evaluasi Perizinan DPRD Provinsi Riau pada 2015 ada 1.8 juta hektar sawit ilegal yang terbagi dalam 378 perusahaan.
Pansus menghitung, dari potensi pajak perkebunan sawit di Provinsi Riau yang mencapai Rp 24 triliun, baru Rp 9 triliun yang mengalir ke kas Negara.
“Banjir yang terjadi karena deforestasi. Deforestasi terjadi karena ada korupsi, pembakaran hutan dan lahan yang terjadi di kawasan hutan dan gambut yang seharusnya menjadi zona lindung untuk resapan air,” kata Okto.
Jikalahari merekomendasikan; Pertama, Menteri LHK segera cabut izin korporasi HTI dan penegakan hukum terhadap korporasi sawit dan cukong yang menanam sawit dalam kawasan hutan.
Kedua, Gubernur Riau segera membentuk tim khusus mengantisipasi banjir di Riau. Ketiga, Gubernur Riau segera menyusun dan menetapkan rencana penanggulangan bencana daerah provinsi. (bpc2)