“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (Ar-Rum: 41)
Petikan ayat Al Qur’an di atas sangat tepat disajikan dalam rangka memperingati Hari Bumi yang diperingati 22 April beberapa hari lalu. Momentum tersebut seharusnya membawa pesan bagi kita agar lebih berkomitmen dan konsisten menunjukkan dukungan perlindungan terhadap lingkungan.
Terlebih melihat bencana alam yang seakan tak henti hadir dan mengintai setiap waktu. Banjir dan Karhutla setakad ini merupakan bencana paling dominan terjadi di bumi lancang kuning. Tidak hanya melanda ibukota provinsi Pekanbaru yang heboh pemberitaannya di media massa lokal belakangan, namun juga dialami hampir seluruh kabupaten/kota di Riau. Belum lagi bicara Karhutla. Dua bencana tadi lebih banyak dipicu kesalahan manusia memperlakukan alam.
Dampak dari buruknya sikap terhadap alam dan lingkungan tidak hanya pada kehidupan keseharian kita sebagai warga. Duit yang dikeluarkan pemerintah paska bencana dan untuk memperbaiki kerusakan ekologis juga tak terkira besarnya. Mirisnya, jika dibandingkan antara kerusakan yang timbul dengan nilai pemasukan/pendapatan dari perizinan dan pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) jauh dari sepadan.
Persoalan banjir misalnya, dari banyak kasus akibat ketidakcermatan Pemerintah baik itu pusat hingga daerah memberi izin penggunaan suatu kawasan dan lahan. Contoh saja banjir melanda sejumlah tempat di Pekanbaru yang merendam pemukiman warga, belakangan diketahui adanya ketidakpatuhan terhadap aturan mendirikan bangunan. Wilayah yang seharusnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan kawasan penampungan genangan air malah disulap menjadi pemukiman.
Kasus di atas bukan yang pertama. Jika diaudit banyak ditemukan pembangunan tak sesuai dengan aturan. Meski perizinan sah menurut regulasi, sekarang terbukti ketika cuan lebih dipentingkan tanpa mempertimbangkan dampak ke depan ujungnya bukan untung malah buntung. Saat bencana terjadi pemerintah pusing sendiri. Istilah kekinian menggambarkan peristiwa ini adalah “bunuh diri ekologis”.
Alhasil, lebih banyak uang dan biaya yang harus dikeluarkan untuk memperbaiki kerusakan lingkungan yang jelas sangat tidak sedikit dan butuh waktu yang tidak sebentar. Sangat-sangat tidak ekonomis. Paradigma salah ini umumnya sudah ditinggalkan negara maju dan sejumlah perusahaan besar mancanegara. Mereka justru “rela” mengalokasikan biaya lebih besar demi meminimalisir potensi terjadinya kerusakan alam dan lingkungan. Dan cara dimaksud rupanya lebih efisien daripada menanggung biaya memperbaiki kerusakan. Bak kata pepatah: menjaga lebih baik daripada mengobati.
Sinergitas
Kita harus bangun dan sadar bahwa sekarang dibutuhkan tindakan nyata untuk mencegah agar kerusakan lingkungan dan alam tidak berlanjut, sembari memperbaiki kerusakan lingkungan. Melihat besar dan beratnya pekerjaan maka kewajiban tersebut mesti didistribusikan secara merata. Karena ini tanggungjawab semua lini.
Di sisi pemerintah, tentu penyempurnaan dan menjamin implementasi regulasi dan kebijakan mulai aspek kepedulian terhadap alam dan lingkungan serta pemanfaatannya. Termasuk revitalisasi atas kerusakan yang telah terjadi. Kerja-kerja ini butuh komitmen tinggi dan sinergitas level atas.
Pemprov Riau selaku perpanjangan Pemerintah Pusat harus dapat mengonsolidasi Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya dalam menyikapi isu-isu strategis terkait alam dan lingkungan.
Sejauh ini langkah Pemprov terbilang cukup baik walau ada cela yang harus disempurnakan. Termasuk menyikapi persoalan banjir di Pekanbaru, dimana Pemprov Riau akan membahas perencanaan pengendalian banjir secara bersama. Upaya ini perlu diapresiasi.
Perhatian tentu bukan semata Pekanbaru mengingat juga dialami Kabupaten/Kota lainnya. Tapi diharapkan ada gebrakan konkrit penanganan banjir ke depan terutama pemetaan masalah. Apalagi melibatkan banyak pihak mulai Kabupaten/Kota dan Pemprov Riau serta Pemerintah Pusat.
Contoh seperti dipaparkan oleh Wako Pekanbaru Firdaus, dari pendataan Pemko ada 363 titik masalah banjir di Pekanbaru. Dari 363 titik, kewenangan Pemko Pekanbaru 264 titik selebihnya kewenangan pusat 31 titik, Pemprov Riau 28 titik, dan Pemkab Kampar 18 titik. Tak bisa dipungkiri butuh anggaran besar. Meski begitu sangat realistis ditempuh.
Terkait siasat perjuangan anggaran ke pusat, Riau punya putra daerah terbaik di DPR-RI termasuk dari PKS sebagai jembatan aspirasi. Namun perjuangan harus diawali itikad baik dari Pemda, paling simpel melengkapi perkara administratif. Selama ini terkendala di sini, Pemda cenderung lalai mempersiapkan dokumen perencanaan dan sejenisnya.
Berangkat dari pemaparan, penanganan banjir sudah cukup narasi dan gagasan. Sudah banyak pula hasil kajian disampaikan pakar dari perguruan tinggi di Riau. Sekarang tinggal aksi jangan lagi berleha-leha. Ketika bencana akibat kelalaian manusia terus berulang semakin banyak biaya dikeluarkan untuk menanggung dampak.
Kita harus merubah mindset, memperlakukan alam dan lingkungan itu seumpama investasi, semakin besar modal yang diinvestasikan makin besar dan berkelanjutan pula manfaat yang bisa diperoleh. Begitujuga sebaliknya, sedikit kepedulian yang dinvestasikan imbasnya kerugian.
Kalaupun ada keuntungan didapat dengan merusak alam dan lingkungan paling hanya bertahan satu dan dua generasi. Adapun generasi di masa mendatang akan mengutuk. Sebab yang tersisa bagi mereka kerusakan alam dan lingkungan yang nyaris tak bisa dimanfaatkan. Belum lagi beban tenaga dan materi untuk memperbaikinya. Sekarang tinggal pilih: ingin dikenang dengan baik atau buruk?
*Penulis adalah Anggota DPRD Provinsi Riau. (Setiap materi dalam artikel ini merupakan tanggung jawab penulis)
Redaksi Bertuahpos.com menerima tulisan dalam bentuk artikel opini. Tulisan dapat dikirim ke alamat email redaksi@bertuahpos.com.