WALAUPUNÂ perhelatan akbar pesta demokrasi pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2019-2024 telah usai, suhu perpolitikan di indonesia ternyata masih terasa hangat. Gesekan dan konflik di masyarakat sering kali terjadi akibat hoaks atau berita palsu yang menyesatkan, kondisi ini diperparah dengan rendahnya kemampuan masyarakat dalam menjaring informasi untuk mencari kebenarannya. Informasi-informasi yang menyesatkan akan semakin memperkeruh suasana di masyarakat dan pada akhirnya akan memperparah kondisi modal sosial yang saat ini sudah terbangun. Kondisi ini akan membuat masyarakat akan semakin saling tidak percaya dan toleransi antar umat beragama semakin menurun. Padahal kita semua sepakat, pembangunan tidak akan terwujud tanpa didukung dengan kondisi modal sosial yang baik. Bagaimana kondisi modal sosial di riau dan kenapa kita harus mewaspadainya?.
Modal sosial merupakan sumber daya yang melekat dalam hubungan sosial. Modal sosial terbentuk dari hubungan sosial antar individu sehingga besaran modal sosial sangat bergantung pada kemampuan dalam hubungan sosial atau kapabilitas sosial individu. Pada umumnya, para ahli memandang modal sosial setara dengan modal pembangunan lainnya yaitu modal ekonomi dan modal manusia. Modal sosial bahkan tidak jarang dilihat sebagai katalisator atau perekat yang memungkinkan modal-modal pembangunan lainnya bekerja saling memperkuat untuk menghasilkan output yang lebih efektif dan efisien.
Kondisi Modal Sosial di Riau
Rasa percaya merupakan unsur utama pembentuk modal sosial. Tanpa adanya rasa percaya antar individu, maka akan sulit terjadi hubungan sosial yang baik di masyarakat. Rasa percaya merupakan perwujudan dari modal sosial kognitif yang dapat tercermin dari persepsi sikap percaya individu terhadap anggota dalam suatu komunitas. Pada lingkup masyarakat desa, sikap percaya tercermin dalam interaksi sosial sehari-hari antar anggota masyarakat. Selain itu juga akan tercermin dari sikap toleransi antar anggota masyarakat yang tergambar dalam kerukunan hidup dimasyarakat.
BPS mencatat, sikap percaya rumah tangga di riau terhadap tokoh di lingkungan tempat tinggal mereka bervariasi. Sikap percaya terhadap aparatur desa/kelurahan sebesar 73,18 persen, sikap percaya terhadap tokoh masyarakat sebesar 85,15 persen. Sedangkan sikap percaya terhadap tokoh agama sebesar 88,47 persen.
Hubungan antar tetangga merupakan salah satu bentuk hubungan sosial sehari-hari serta dilakukan antar anggota masyarakat yang mempunyai posisi setara dalam struktur sosial. Sikap percaya antar tetangga sangat beragam dan mungkin dipengaruhi oleh faktor budaya atau sosial di daerahnya masing-masing. BPS mencatat, bahwa 78,39 persen rumah tangga di riau percaya menitipkan rumah mereka kepada tetangganya saat berpergian, serta 55,66 persen percaya menitipkan anak usia 1-12 tahun pada tetangganya.
Disamping itu, toleransi juga merupakan salah satu perwujudan modal sosial kognitif yang dipahami sebagai sikap mau menerima dan menghargai perbedaan diantara anggota masyarakat. Toleransi dalam sehari-hari terlihat dari sikap toleran terhadap persahabatan antar suku bangsa dan agama yang dilakukan oleh masyarakat. BPS menggambarkan bahwa masyarakat riau yang setuju dengan kegiatan suku lain sebesar 86,17 persen, sedangkan masyarakat yang setuju dengan kegiatan agama lain hanya sebesar 46,65 persen.
Komponen lain pembentuk modal sosial yang yang tidak kalah menarik adalah budaya tolong menolong sesama masyarakat. Rumah tangga di riau yang bersedia membantu tetangga yang membutuhkan pertolongan sebesar 63,36 persen.
Mewaspadai isu-isu negatif yang menyebabkan adanya konflik di masyarakat dan pada akhirnya akan menghancurkan kondisi sosial yang telah terbangun bukanlah tanpa alasan.
Pertama, rasa percaya masyarakat riau terhadap tokoh masyarakat dan tokoh agama sangat tinggi yaitu 85,15 persen dan 88,47 persen. Tingginya rasa percaya ini adalah suatu anugerah, akan tetapi akan menjadi suatu petaka apabila tokoh masyarakat/agama lalai memberi contoh yang baik kepada masyarakat.Â
Kedua, isu toleransi agama merupakan isu yang sangat berbahaya. BPS mencatat 53,35 persen rumah tangga di riau kurang setuju atau tidak setuju dengan adanya kegiatan yang dilakukan oleh agama lain di lingkungan tempat tinggalnya. Disamping itu, 76,45 persen rumah tangga di riau juga riau kurang atau tidak setuju dengan adanya tempat ibadah yang sudah ada/akan dibangun di tempat tinggalnya. Kondisi ini diperparah dengan fakta bahwa 26,30 persen rumah tangga di riau kurang atau tidak setuju jika anaknya bergaul dengan anak yang berbeda agama.Â
Upaya menjaga riau agar tetap menjadi wilayah yang damai dan nyaman harus menjadi tujuan utama serta menjadi tanggung jawab kita semua. Sebagai masyarakat kita harus mampu memilah informasi dengan benar serta bijak dalam mensikapinya. Menelusuri informasi dengan menjaring informasi yang benar sangat diperlukan mengingat banyaknya berita bohong/hoaks yang beredar.Â
Selain itu, mengingat besarnya harapan masyarakat riau yang ditandai dengan tingginya rasa percaya masyarakat terhadap aparatur negara, tokoh masyarakat dan tokoh agama, maka sudah seharusnya aparatur negara serta tokoh masyarakkat maupun tokoh agama menjadi teladan di masyarakat. Aparatur negara serta tokoh masyarakkat maupun tokoh agama adalah cermin bagi masyarakat, sehingga segala ucapan dan tingkah laku mereka akan selalu dilihat. Disinilah pentingnya mereka untuk terus berupaya menjaga persatuan di masyarakat. Mengingat suasana politik yang masih memanas, sekali saja aparatur negara/tokoh masyarakat atau tokoh agama memberikan statemen yang negatif, maka pengaruhnya akan sangat besar di masyarakat.
Terkait isu suku dan agama merupakan isu yang sangat rentan dan berbahaya dan harus menjadi prioritas utama. Meningkatkan kewaspadaan terhadap isu agama sangatlah penting mengingat isu ini merupakan isu sensitif dan mampu memecah belah persatuan kita.
Pemerintah harus menjamin bahwa proses penyelesaian sengketa demokrasi berjalan lancar, jujur dan damai sehingga tidak menimbulkan kekacauan di masyarakat. Kita harus bersinergi bersama menjaga agar isu-isu negatif/hoaks tidak beredar di masyarakat. Isu-isu akan menyebabkan konflik yang pada akhirnya akan menghancurkan modal sosial yang telah terbangun. Kita harus sepakat bahwa kita tidak akan mampu membangun riau yang makmur tanpa didukung dengan kehidupan yang rukun, aman dan damai di masyarakat.***
Mujiono, SE, Statistisi Ahli
Di Badan Pusat Satistik (BPS)
Provinsi Riau
(Foto: Bertuahpos/ISTIMEWA)