Oleh : Prof Dr Alaiddin Koto
Guru Besar, Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Riau dan Ketua Perti Riau
—
SETELAH merujuk ke berbagai literature, termasuk buku Antlantic, the Lost Continent Finally Found, sebuah buku hasil riset selama 30 tahun oleh Prof Arysio Santos, seorang geolog dan fisikiwan nuklir Brazil, tentang Nusantara, khususnya Indonesia, dan juga buku-buku berbahasa Jawa kuno seperti Serat Jitap Sara dan Jit Saka, buku yang ditulis oleh begawan Palasari ribuan tahun yang lalu, dan kemudian diterjemahkan ke bahasa Jawa kuno oleh para empu pujangga kerajaan atas perintah Prabu Srie Aji Joyoboyo, Raja Kerajaan Dhaha Kediri abad IX Masehi, dan buku-buku penting lainnya, H.M. Lintang Waluyo dalam bukunya, Wasiat dari Tanah Surga yang Hilang, menulis bahwa dalam perjalanannya, Pancasila sebagai dasar negara telah menunjukkan kesaktiannya.
Meskipun demikian, hal tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dapat berumur panjang?
Pertanyaan ini muncul karena dalam blue printnya, Zionis menargetkan bahwa dalam kurun dua generasi, kearifan nusantara, Pancasila, hanya akan menjadi pajangan belaka. Bahkan kaum zionis telah menargetkan nusantara akan bubar dan pecah menjadi negara-negara kecil.
Selanjutnya, Waluyo menanyakan, “akankah cetak biru Zionis yang dilakukan secara tertutup itu berhasil mencapai targetnya ?” Inilah yang harus di waspada oleh seluruh warga Negara, kata Waluyo lagi.
Dalam tulisan berjudul virus curiga, saya mengatakan bahwa suatu bangsa dan negara lahir karena kesepakatan, dan kesepakatan wujud karena kepercayaan. Rasa saling percaya diantara sesama pendiri bangsa itulah yang membuat sebuah bangsa dan negara berdiri, termasuk Indonesia.
Di negeri ini, saling percaya itu dituangkan dalam konsensus nasional dengan nama Pancasila. Inilah yang dijadikan dasar dan sekaligus “buhul” pemersatu bangsa yang secara etnis, budaya dan agama sangat beragam.
Buhul inilah, agaknya, yang disebut dalam cetak biru zionis hanya akan tinggal sebagai pajangan yang tidak punya kekuatan apapun, karena sudah dilemahkan oleh berbagai kepentingan melalui penafsiran-penafsiran parsial agar buhul itu robek atau putus sedikit demi sedikit, sehingga tidak bisa lagi menjadi pengikat kekuatan bangsa Indonesia. Kalau toh masih ada, hanya tinggal sekedar simbol tanpa makna dan tanpa kekuatan apa-apa.
Pertanyaan berikutnya adalah, mungkinkah buhul itu robek dan akhirnya putus sesuai harapan dalam cetak biru Zionis dan Indonesia bubar atau menjadi negara kecil-kecil?
Membaca fenomena dan gelagat negara atau kelompok-kelompok tertentu yang kini mulai nampak bermain di negeri ini, muncul asumsi bahwa buhul itu kini sedang diutak-atik untuk dilemahkan, atau dijadikan mainan yang lama kelamaan membuat anak-anak bangsa yang tidak memahami sejarah menganggap Pansacila sebagai sumber masalah, sebagaimana agama juga dijadikan sasaran tembak untuk dihilangkan perannya dalam Negara, karena dianggap penghalang kemajuan.
Kalau usaha ini berjalan terus dan tidak ada yang membendungnya, maka Pancasila memang akan tinggal sebagai pajangan tanpa makna, lalu kemudian dibuang, diganti dengan yang lain, maka bubarlah Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti yang diinginkan dalam cetak biru Zionis tersebut.
Lalu, apakah kita mau ?
Siapa saja yang dari dalam hatinya mencintai republik ini tidak akan pernah rela cita-cita Zionis berhasil diterapkan di negeri ini. Apapun yang ada padanya akan dipertaruhkan untuk tetap tegaknya NKRI sebagai bangsa dan Negara berdaulat, sebagaimana dilakukan oleh para pejuang dan pendiri bangsa dulu.
Segenap warga Negara kini sudah bisa menilai siapa-siapa saja yang benar-benar mencintai Indonesia dari dalam hatinya, dan siapa-siapa pula yang hanya berkoar-koar di mulut, tapi tidak di hatinya.
Sikap terhadap Pancasila agaknya dapat dijadikan ukuran ada atau tidak, besar atau kecilnya kecintaan seseorang terhadap negeri ini. Semakin tinggi reaksinya ketika Pancasila diolok-olok, semakin kuat dugaan bahwa orang itu benar-benar mencintai Indonesia dalam hati.
Orang seperti ini tidak punya kepentingan apapun selain tetap tegaknya NKRI di atas bumi ini. Menjadikan sikap terhadap Pancasila sebagai ukuran karena, seperti disebut di atas, Pancasila adalah pandangan hidup, jati diri, dan buhul yang akan mementukan tetap tegak atau bubarnya Indonesia.
Ketika seseorang bereaksi cepat saat melihat Pancasila diolok-olok dan atau diutak-atik, berarti yang bersangkutan melihat ada pihak yang sedang memutus buhul dan mencabik cabik kpribadian bangsa.
Kecintaan yang kuat dalam hatinya membuatnya segera bangkit dan melawan. Dia merasa jiwa dan raganya sedang disakiti. Sebalknya, orang yang hanya menjadikan Pancasila sebagai simbol penghias bibir dan tidak berurat dalam hatinya, akan bersikap diam, acuh tak acuh, atau paling-paling berpura-pura sebagai seorang demokrat yang lentur dengan perbedaan pendapat.
Maka, dari alur berfikir seperti di atas, saya berpendapat bubar atau tidaknya NKRI tergantung kepada besar atau kecilnya jumlah rakyat, termasuk para elit, yang masih punya ghirah dengan Pancasila. Kalau yang banyak adalah yang tidak punya kepedulian Pancasila di main-mainkan, maka blue print Zionis akan terwujud tanpa suasah payah, Tapi bila yang banyak adalah yang punya ghirah dan sensitifitas tinggi dengan Pancasila, maka bangsa ini akan tetap kokoh, karena buhulnya masih kokoh dan terus kokoh. Buhul itu akan membuat “takkan Indonesia hilang di bumi.”
— Pekanbaru, 17 Agustus 2020 —