BERTUAHPOS.COM – Kebijakan tarif impor yang digagas oleh mantan Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump menjadi salah satu babak penting dalam dinamika perdagangan internasional selama dekade terakhir.
Melalui pendekatan ekonomi nasionalistik bertajuk “America First”, Trump secara agresif memberlakukan berbagai tarif tinggi terhadap produk-produk impor dari sejumlah negara, termasuk Indonesia. Kebijakan ini tidak hanya memicu perang dagang global, tetapi juga memberikan tekanan langsung terhadap stabilitas ekonomi di negara-negara berkembang.
Latar Belakang Kebijakan Trump
Sejak dilantik pada 2017, Trump menjadikan defisit perdagangan AS sebagai musuh utama dalam strategi ekonominya. Ia mengklaim bahwa AS selama ini telah dirugikan oleh praktik dagang tidak adil dari negara-negara seperti China, Meksiko, Jerman, dan juga negara berkembang seperti Indonesia. Untuk membalikkan kondisi tersebut, Trump memberlakukan tarif impor tinggi terhadap berbagai komoditas asing, dengan target utama produk baja, alumunium, otomotif, tekstil, dan produk elektronik.
Salah satu langkah paling kontroversial adalah kebijakan tahun 2018 yang menetapkan tarif 25% untuk baja dan 10% untuk alumunium dari hampir seluruh negara mitra dagang. Tak lama berselang, tarif tambahan diterapkan terhadap produk asal China senilai ratusan miliar dolar, memicu balasan dari pemerintah Tiongkok dan menciptakan perang dagang yang mengguncang pasar global.
Dampak Langsung terhadap Indonesia
Indonesia sebagai salah satu mitra dagang AS turut terdampak dari kebijakan tarif ini. Sejumlah produk ekspor unggulan Indonesia dikenai bea masuk tambahan, terutama dari sektor baja, karet, tekstil, dan barang-barang manufaktur ringan. Pemerintah AS beralasan bahwa produk-produk ini berpotensi “merugikan industri domestik AS” dan “dijual dengan harga dumping”.
Menurut data dari Kementerian Perdagangan RI, ekspor Indonesia ke AS mengalami perlambatan pada periode 2018–2020, terutama untuk komoditas yang terkena tarif tinggi. Kenaikan tarif membuat harga produk Indonesia menjadi kurang kompetitif dibanding negara-negara lain yang mendapatkan perlakuan lebih lunak atau memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan AS.
“Ini jelas merugikan pelaku industri nasional. Ketika akses ke pasar Amerika terganggu, efek berantai juga terjadi di sektor ketenagakerjaan dan investasi,” ujar Arief Hidayat, analis perdagangan dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia.
Penarikan Status Negara Berkembang
Selain kebijakan tarif, Trump juga mengeluarkan keputusan untuk mencabut status “negara berkembang” bagi Indonesia dalam konteks pemberian fasilitas Generalized System of Preferences (GSP). Pencabutan ini membuat ratusan produk ekspor Indonesia kehilangan fasilitas bea masuk nol persen di pasar AS. Hal ini memperberat tekanan terhadap daya saing ekspor nasional.
Menurut kajian dari Universitas Gadjah Mada, pencabutan GSP dan pemberlakuan tarif tambahan berdampak langsung terhadap sektor-sektor padat karya, seperti industri tekstil dan alas kaki, yang selama ini sangat bergantung pada pasar Amerika.
Respons Pemerintah dan Pelaku Usaha
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan dan Kementerian Luar Negeri melakukan berbagai upaya diplomasi untuk melobi pemerintahan Trump agar Indonesia dikecualikan dari kebijakan tersebut. Namun, hasilnya minim. Indonesia tidak termasuk dalam daftar negara yang mendapatkan pengecualian, berbeda dengan beberapa negara seperti Kanada dan Meksiko.
Pelaku usaha di dalam negeri juga menempuh strategi diversifikasi pasar ekspor, dengan menyasar negara-negara di Asia, Timur Tengah, dan Afrika. Namun, pasar AS tetap menjadi pasar strategis yang sulit tergantikan, mengingat besarnya daya beli konsumen Amerika dan peran pentingnya dalam jaringan dagang global.
Dampak Global: Ketidakstabilan dan Ketidakpastian
Secara global, kebijakan Trump berdampak luas pada stabilitas ekonomi dunia. Perang dagang antara AS dan China menyebabkan ketidakpastian di pasar keuangan, menurunkan volume perdagangan global, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia. Lembaga seperti IMF dan Bank Dunia menyatakan bahwa kebijakan tarif unilateral ini memicu kontraksi di sektor manufaktur global dan memperburuk kepercayaan investor.
Di pasar investasi, kebijakan ini menciptakan gejolak di pasar saham dan memperburuk volatilitas mata uang di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Investor global lebih berhati-hati, dan aliran modal cenderung menjauh dari pasar berkembang menuju aset-aset aman seperti emas dan obligasi AS.
Evaluasi dan Pelajaran Penting
Kebijakan tarif impor Donald Trump kini menjadi bahan evaluasi penting dalam dunia ekonomi dan politik internasional. Meskipun kebijakan tersebut bertujuan untuk melindungi industri domestik AS, namun berbagai analis menilai bahwa pendekatan unilateral seperti ini justru kontraproduktif dalam jangka panjang.
Bagi Indonesia, pengalaman menghadapi kebijakan proteksionis AS menjadi pelajaran penting tentang pentingnya memperkuat ketahanan ekonomi nasional, diversifikasi pasar ekspor, serta aktif dalam negosiasi perdagangan internasional.
Kebijakan tarif impor era Donald Trump bukan hanya mencerminkan perubahan haluan kebijakan perdagangan AS, tetapi juga menjadi simbol dari meningkatnya tensi proteksionisme di tengah era globalisasi. Bagi Indonesia, dampaknya dirasakan nyata dari penurunan ekspor, kehilangan fasilitas preferensi, hingga ancaman terhadap sektor padat karya. Kini, tantangan selanjutnya adalah bagaimana merespons dinamika global yang terus berubah, sembari menjaga daya saing dan kedaulatan ekonomi nasional.***