BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Di zaman serba modern seperti ini, tenyata masih ada masyarakat yang tidak bisa menikmati kecanggihan teknologi. Seperti yang alami oleh masyarakat Desa Batu Sasak, Kacamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Riau.
Sebuah bangunan kios yang terbuat dari kayu, menjadi tempat persinggahan masyarakat di desa ini. Dari kios kecil itulah mereka biasanya memberi kabar kepada orang tua, sanak famili, istri, atau pacar yang keberadaannya jauh dari mereka.
Rudi, seorang pegawai kantor Pemerintahan di Provinsi Riau berkali-kali mengikat HP dan menggantungkannya pada sebuah paku yang melekat ada tiang penyangga atap bangunan itu. Hal itu terpaksa harus dilakukannya untuk memberi kabar kepada sang istri, bahwa tidak bisa pulang untuk beberapa hari kedepan. Pasalnya, akses jalan di desa itu tidak memungkinkan baginya untuk langsung pulang ke ibu kota Provinsi Riau.
Setelah nomor yang dituju tersambung, terdengarlah suara sang istri yang sedang menunggu kabar di Rumah. Dengan kepala sedikit terangkat ke atas, dia tidak berbicara banyak. Setelah memberi tahu di mana lokasi keberadaan dirinya panggilan itupun langsung ditutup.
Lebih kurang seperti itulah cara masyarakat di desa ini menggunakan teknologi. Minimnya fasilitas jaringan untuk seluler membuat mereka seolah terkurung di tengah perbukitan Bukit Barisan. Alfian Furqon, warga Desa Batu Sasak menyebutkan bahwa kondisi yang demikian membuat masyarakat di desa ini, dan 7 desa lainnya di wilayah itu sulit berkomunikasi, apalagi harus membuka internet untuk membaca berita.
Daerah terakhir yang memiliki fasilitas jaringan sinyal ada di Desa Muara Selaya, lebih kurang 7 kilo meter jarak yang harus di tempuh. Sementara sinyal yang ada di desa Batu Sasak, warga setempat menyebutnya sinyal “nyasar” dari Sumatera Barat.
“Hanya bisa di kios itu saja. HP di ikat dengan tali, kemudian digantungkan pada paku yang sudah tersedia. Bergesar 5 senti saja, sinyal putus,” katanya saat bercerita dangan bertuahpos.com, di sebuah warung masyarakat di desa itu, akhir pekan lalu.
Minimnya fasilitas, bukan membuat masyarakat kehabisan akal. Selalu ada cara untuk bisa berkomunikasi. Setidaknya, masyarakat di desa ini juga tahu cara menggunakan HP, laptop atau teknologi lainnya. Tujuannya, mereka tidak mau di bodoh-bodohi pemerintah.
Untuk bisa berkomunikasi menggunakan HP juga harus bisa lihat situasi. Jika cumata tidak memungkinkan, jangan harap bisa dapat jaringan. Selain itu. Tidak pula sembarang HP bisa digunakan. HP yang tidak biasa menangkap jaringan bisa dipastikan tidak bisa terhubung walau diolah sedemikian rupa. Ketika itu, Rudi terpaksa harus melepaskan card sim-nya dan meminjam HP warga. Barulah sinyal bisa terhung.
“Di sini tak guna HP bagus,” sambung Alfian sambil tertawa.
Begitulah sulitnya, masyarakat beberapa desa di Kecamatan Kampar Kiri Hulu ini. Mereka bukan tak ingin “melek” teknologi, tapi kondisi sarana dan fasilitas pendukung di desa itu, sangat jauh dari kata layak. Mereka juga taan bayar pajak, tapi hasil yang didapatkan tidak sebanding dengan apa yang sudah dikeluarkan kepada negara.
Melihat kondisi dan situasi seperti ini, tentunya masih banyak PR besar yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Khususnya Pemerintah Kabupaten Kampar. Sejumlah desa yang ada di Kecamatan Kampar Kiri Hulu ini, bukan satu dua tahun berdiri. Keberadaan mereka sebagai bagian dari Riau sudah sejak lama. Namun pada kenyataanya, belum banyak perubahan yang masyatakat dapatkan.
Penulis: Melba