BERTUAHPOS.COM — Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengusulkan moratorium ekspor kelapa bulat sebagai langkah jangka pendek untuk mengatasi kelangkaan bahan baku yang saat ini dihadapi industri pengolahan kelapa dalam negeri.
Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika, mengatakan usulan tersebut disampaikan dalam rapat koordinasi bersama kementerian dan lembaga terkait. Moratorium ekspor diusulkan berlangsung selama 3 hingga 6 bulan.
ARTIKEL TERKAIT
Petani Kelapa di Desa Simpang Gaung Mengeluh Hasil Panen Turun Drastis
“Kebijakan ini kami usulkan sebagai solusi jangka pendek untuk menstabilkan pasokan bahan baku domestik. Kelangkaan bahan baku sudah berdampak pada aktivitas industri hingga menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK),” ujar Putu dalam keterangan resminya, belum lama ini.
Selain moratorium ekspor, Kemenperin juga mengusulkan pengenaan pungutan ekspor terhadap kelapa bulat dan produk turunannya. Di samping itu, Kemenperin mendorong penetapan standar harga bahan baku kelapa yang menguntungkan baik bagi petani maupun industri.
“Langkah-langkah mitigasi ini diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan bahan baku serta menormalkan kembali harga kelapa yang saat ini terus melonjak di dalam negeri,” jelas Putu.
Putu menambahkan, dana dari pungutan ekspor kelapa nantinya diusulkan untuk dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP). Dana tersebut akan dikembalikan dalam bentuk program-program yang langsung menyentuh petani.
“Program itu meliputi peningkatan produktivitas tanaman kelapa, penguatan usaha tani, pemberdayaan pengolahan kelapa rakyat, serta pengembangan ekosistem industri pengolahan kelapa terpadu,” tutup Putu.
Sebelumnya, Gubernur Riau, Abdul Wahid, menyatakan kekecewaannya terkait usulan mitigasi kelangkaan kelapa di Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) yang disampaikan melalui surat bernomor B/500.1.1/047.1/DPP-SET/2025. Dalam surat tersebut, salah satu poin yang diusulkan adalah standarisasi harga kelapa bulat di wilayah Inhil.
“Saya kecewa dengan adanya surat yang meminta standarisasi harga kelapa,” kata Wahid di Pekanbaru, belum lama ini.
Menurut Wahid, kebijakan standarisasi harga memang penting untuk melindungi kegiatan industri, khususnya dalam menjaga ketersediaan bahan baku. Namun, ia menegaskan bahwa kebijakan itu harus berlaku adil, tidak hanya muncul saat harga kelapa sedang tinggi.
“Jangan hanya ketika harga kelapa mahal, pemerintah baru turun tangan. Saat harga kelapa murah, pemerintah seperti tutup mata. Saya tidak ingin pola seperti ini terus terjadi,” tegasnya.
Ia mendorong agar kebijakan harga kelapa diatur ulang supaya memberikan keadilan bagi petani dan pelaku industri. Jika diperlukan, standarisasi harga harus ditetapkan secara permanen, baik dalam kondisi harga naik maupun turun.
“Kalau memang sepakat, buat saja standar harga kelapa bulat oleh pemerintah. Mau mahal atau murah, tetap ada patokan harganya,” tambah Wahid.
Sebagai tindak lanjut, Wahid telah menginstruksikan Dinas Perkebunan (Disbun) untuk mengkaji kebijakan harga bagi seluruh komoditas perkebunan, tidak hanya kelapa. Komoditi lain seperti sawit, karet, dan kopi juga dinilai perlu mendapat perhatian yang sama agar kesejahteraan petani lebih terjamin.
“Kita lihat pemerintah pusat sudah menetapkan harga gabah Rp6.500 per kilogram. Jika tidak ada yang membeli dengan harga itu, pemerintah yang harus hadir. Saya ingin skema seperti ini diterapkan untuk komoditas lainnya juga,” tutupnya.***