BERTUAHPOS.COM — Kondisi defisit anggaran dalam APBD Provinsi Riau 2025 tidak bisa dilepaskan dari buruknya tata kelola anggaran tahun 2024.
Pengamat kebijakan anggaran, Triono Hadi, menilai dampak dari anggaran yang disusun dan dijalankan secara serampangan tahun lalu membuat banyak program pembangunan terhambat.
ARTIKEL TERKAIT:
Menurutnya, kepemimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur Riau, Abdul Wahid dan SF Hariyanto, seharusnya sudah bisa menjalankan program-program prioritas sesuai janji kampanyenya.
Seperti; infrastruktur, pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, hingga bantuan sosial. “Namun, anggaran justru tersedot untuk menutupi utang tahun lalu,” kata Triono, Rabu, 26 Maret 2025.
Triono juga menyoroti tidak adanya informasi resmi yang jelas soal angka riil defisit.
Pemerintah daerah, baik Gubernur dan Wakil Gubernur Riau, maupun Sekdaprov Riau, hanya menyampaikan taksiran tanpa dokumen resmi. “Ini sangat berbahaya,” katanya.
Pemerintah (Pemprov Riau) tidak boleh menyebarkan informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
“Satu-satunya data yang bisa dijadikan rujukan hanyalah yang dipublikasikan secara real-time oleh DJPK Kementerian Keuangan,” jelasnya.

Target Tinggi, Realisasi Jauh di Bawah Ekspektasi
Berdasarkan data DJPK, Triono mengungkapkan bahwa potensi “markdown” atau penggelembungan target pendapatan daerah, khususnya dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), sangat besar.
Pada rancangan awal APBD 2024, total pendapatan daerah ditetapkan Rp10,06 triliun, terdiri dari Rp5,98 triliun PAD, Rp4,06 triliun transfer pusat, dan Rp7,78 miliar pendapatan lainnya.
Namun, dalam perubahan APBD yang ditandatangani pada 16 Oktober 2024, target pendapatan naik menjadi Rp11,121 triliun. Kenaikan terbesar berasal dari target PAD yang meningkat 13% menjadi Rp6,7 triliun.
“Masalahnya, realisasi hingga 31 Desember 2024 hanya Rp9,04 triliun, atau 81,3% dari target. Yang paling parah adalah PAD yang hanya tercapai 72,1%, atau Rp4,8 triliun dari target Rp6,7 triliun. Ini capaian terburuk dalam 10 tahun terakhir dengan situasi normal,” tegasnya.
Menurut Triono, pada masa pandemi Covid-19, memang pernah terjadi PAD yang tak mencapai target, tetapi selisihnya tidak separah ini. Yang mengkhawatirkan, perubahan APBD dilakukan hanya dua setengah bulan sebelum tutup tahun.
“Seharusnya proyeksi sudah sangat akurat, tapi realisasi justru meleset hingga Rp1,8 triliun. Ini patut diduga ada potensi markdown,” katanya.
Triono berharap pemerintah daerah untuk menyelidiki pos-pos anggaran secara lebih serius.
“Alasan target PI 10% tidak cukup menjelaskan selisih besar ini, karena nilai PI 10% hanya di bawah Rp1 triliun. Perlu kejujuran pemerintah dalam membuka data dan menjelaskan kepada publik,” tutupnya.***