BERTUAHPOS.COM — Ketidakjelasan informasi terkait defisit anggaran dalam APBD Provinsi Riau 2024, diduga akibat gagalnya kendali pendapatan dan belanja daerah.
Menurut pengamat kebijakan anggaran, Triono Hadi, hingga kini belum ada penjelasan rinci dari pihak Pemprov Riau terkait penyebab dan mekanisme terjadinya defisit tersebut.
“Informasi dari Sekda, Wakil Gubernur, dan Gubernur Riau belum memberikan gambaran yang jelas,” katanya kepada Bertuahpos, Kamis, 27 Maret 2025.
“Bahkan ketika saya mencoba menelusuri kanal-kanal informasi resmi, detail Laporan Realisasi Anggaran (LRA) 2024 tidak ditemukan,” ujar Triono.
ARTIKEL TERKAIT:
Polemik Defisit Anggaran, Ada Potensi ‘Markdown’ dan Pemprov Diminta Jujur Ungkap Data
Meski belum diaudit, kata dia, data tersebut semestinya sudah bisa disampaikan kepada publik demi transparansi, terutama di tengah simpang siur informasi yang membingungkan masyarakat.
Berdasarkan analisis sementara, Triono melihat terhadap data yang dirilis secara real-time oleh Kementerian Keuangan RI, defisit APBD Riau 2024 tidak hanya disebabkan oleh melesetnya proyeksi pendapatan asli daerah (PAD), tetapi juga karena lemahnya kontrol atas belanja daerah yang justru melebihi pagu anggaran.
Realisasi PAD Riau tahun 2024 hanya mencapai 72,1% dari target sebesar Rp6,7 triliun, atau sekitar Rp4,8 triliun. Artinya, ada kekurangan penerimaan sekitar Rp1,8 triliun. Sementara itu, dana transfer dari pemerintah pusat justru terealisasi melebihi target, mencapai 102%.
“Sayangnya, di saat PAD tak tercapai, pemerintah daerah justru gagal mengendalikan belanja. Total belanja yang telah direalisasikan mencapai Rp11,38 triliun, melampaui pagu dalam APBD-P 2024 sebesar Rp11,19 triliun. Artinya ada kelebihan belanja sekitar Rp196,8 miliar,” paparnya.
Selain itu, komponen belanja yang membengkak paling signifikan adalah belanja operasional, terutama belanja pegawai. Dari pagu Rp3,1 triliun, realisasinya mencapai Rp3,9 triliun, atau 124,8%. Kenaikan ini jauh di atas realisasi tahun sebelumnya yang hanya Rp2,5 triliun.
“Jika data ini benar, maka menunjukkan lemahnya tata kelola keuangan daerah. Sebab, pembelanjaan seharusnya dapat diprediksi dan dikendalikan sejak awal,” kata Triono.
ARTIKEL TERKAIT:
Kisruh Defisit Anggaran Pemprov Riau, Pengamat: Perlu Satu Sumber Data yang Valid
Kondisi ini tak hanya berdampak di tingkat provinsi, tapi juga merembet ke kabupaten/kota. Sebanyak Rp550,5 miliar dana bagi hasil (DBH) pajak daerah yang seharusnya disalurkan ke pemerintah kabupaten/kota, tertunda pencairannya. Sebagian di antaranya, yakni Rp283 miliar, bahkan merupakan tunda salur dari triwulan III tahun 2023.
Menurut Triono, jika mencermati data dari Kementerian Keuangan, defisit riil APBD Riau 2024 mencapai Rp1,7 triliun. Angka ini diperoleh dari selisih antara total pendapatan ditambah SiLPA tahun 2023 sebesar Rp574 miliar, dikurangi total belanja daerah.
Secara regulasi, lanjutnya, seharusnya pengeluaran yang melebihi anggaran tidak terjadi jika pengendalian keuangan berjalan sesuai ketentuan. Hal itu telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2019 yang melarang pengeluaran atas beban APBD jika anggaran tidak tersedia atau tidak cukup.
“Setiap kegiatan pemerintah daerah harus berdasarkan Surat Penyediaan Dana (SPD). Jika defisit sudah terdeteksi lebih awal, bagaimana SPD bisa tetap dikeluarkan untuk seluruh kegiatan?” ujarnya mempertanyakan.
Triono juga menekankan pentingnya audit mendalam terhadap pengeluaran tahun 2024, khususnya terhadap kegiatan yang belum dibayarkan. Realisasi belanja barang dan jasa yang mencapai Rp3 triliun serta tunda bayar senilai Rp915 miliar di 34 Organisasi Perangkat Daerah (OPD) patut dikaji ulang oleh pengawas internal maupun eksternal seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Triono menyarankan agar Gubernur Riau segera melakukan evaluasi terhadap pejabat yang berwenang dalam pengelolaan keuangan daerah. Langkah ini penting sebagai bentuk tanggung jawab sekaligus antisipasi agar krisis serupa tidak terulang di masa mendatang.***