“Tahun 2007 udah ada fatwa terkait dengan games. Cuma mekanisme pembahasan fatwa itu kan dari permintaan dan pertanyaan masyarakat,” kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asruron Naim Sholeh seperti dilansir dari CNNIndonesia.
Terkait fatwa untuk gim, dia menjelaskan, selain ada momentum penembakan di mesjid di Selandia Baru, juga banyak muncul pertanyaan-pertanyaan masyarakat tergadap peran MUIN dalam masalah-masalah seperti ini. Atas dasar itu MUI berasa bertanggungjawab untuk memberikan jawaban dan pemahaman atas masalah ini.
Terdapat tiga aspek dalam fatwa tersebut salah satunya adalah ketentuan hukum yang berisi mubah dan haram. Mubah yang dimaksud adalah permainan yang murni menjual jasa atau sewa tanpa memberikan hadiah.
Sedangkan haram didefinisikan jika permainan pada media atau mesin yang memberikan hadiah atas dasar untung-untungan semata dan mengandung unsur judi. Selain itu, dalam fatwa itu MUI juga memberikan daftar gim yang boleh dan tidak boleh digunakan secara gamblang.
Penetapan ‘Halal’ pada gim Royal Game misalnya, menurut Asruron, semua itu melalui 4 kali persidangan yang dilakukan oleh MUI Jawa Barat. Mulai dari mengajukan permohonan izin hingga keluar fatwa MUI.
“Kami telah disidang 4 kali oleh tim fatwa MUI. Bahkan kami pun diminta untuk memperagakan cara permainan Royal Game dihadapan tim fatwa MUI. Setelah itu mereka menyimpulkan jika permainan ini tidak mengandung unsur judi dan diperbolehkan,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Permainan Ketangkasan (APPK), Dedi Zein.
Sementara itu, terkati dengan kasus penembakan di Selandia Baru, penetapan fatwa gim online belum bisa dipastikan apakah keputusan berupa fatwa atau peraturan semata. (bpc3)