BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Pemerintah seharusnya bekerja lebih keras dalam mengatasi persoalan sosial Gelandangan dan Pengemis [Gepeng] di Pekanbaru.
Keberadaan mereka di setiap perempatan lampu merah di tengah kota seolah menjadi pemandangan yang biasa. Mirisnya, sebagian dari mereka adalah anak di bawah umur, membawa bayi sebagai ‘umpan’ untuk dikasihani.
“Namun bukan rahasia umum ada sindikat bisnis besar yang menyokong di belakang mereka. Ada banyak riset yang telah membuktikan itu,” kata pengamat sosial dan kebijakan publik, M Rawa El Amadi, kepada Bertuahpos.com saat diminta pandangannya mengenai persoalan ini, Rabu, 30 Desember 2020.
Mereka terorganisir, jelas, kata Rawa. Dia juga mengatakan ada bisnis di balik itu semua. Solusinya ada pada ketegasan Pemerintah Kota Pekanbaru. Bukan Gepeng yang ditangkap, tapi jaringan di balik itu yang harus berantas.
“Masalahnya Pemko Pekanbaru berani nggak. Kalau nggak berani, kemungkinan dapat ‘bagian’ kan,” ucapnya.
Pada Selasa sore, 29 Desember 2020 menjelang azan magrib, setiap pengendara yang menunggu lampu merah di perempatan SKA Pekanbaru, melihat sekelompok pengemis yang beraksi. Sebagian besar dari mereka adalah anak di bawah umur, bahkan ada seorang balita yang digendong seseorang [mungkin kakaknya].
Keberadaan pengemis yang membawa bayi mulai meresahkan warga Pekanbaru. Masyarakat mengaku kasihan dan prihatin dengan bayi yang diajak mengemis tersebut.
Pengemis membawa bayi ini salah satunya terlihat simpang Mal SKA. Dengan mengendong bayi, pengemis ini mengharapkan belas kasihan pengguna jalan. Bayi yang dibawa pengemis tersebut tampak pulas tertidur, di tengah riuh suara kendaraan yang melintas di jalan raya.
Butuh Ketegasan Pemerintah
Mengatasi masalah Gepeng yang berkeliaran di ruang publik sebenarnya bukan tugas yang sulit bagi pemerintah jika upaya penindakan berjalan pada ketentuan hukum berlaku.
Karena setiap tindakan pemerintah melakukan penertiban terhadap kelompok ini telah dilindungi oleh ketentuan hukum, begitu menurut Rawa.
Namun faktanya, publik merasa keberadaan mereka seolah ‘dibebaskan’. Sebab itu, dia mendorong agar pemerintah melakukan penyesuaian kembali, terhadap peraturan-peraturan dalam penanganan persoalan ini.
Kata Rawa, aturan pemerintah hanya menyentuh sebatas pada Gepeng, tapi tidak betul-betul serius pada pihak yang mengorganisir kelompok ini. Padahal semua tahu ada ‘lingkaran bisnis yang besar’ di balik komunitas ini.
“Jangan hanya sebatas gepengnya yang ditindak. Kadang kan mereka dipaksa, kan sudah biasa terjadi hal-hal seperti itu. Tapi orang yang mengorganisirnya, ada bisnis di balik itu. Nah, bisnis itu yang harusnya dibuat sistem hukumnya. Kan nggak ada sekarang,” jelasnya.
Lebih jauh dia menjelaskan, penanganan pengemis dan gelandangan di Pekanbaru tak hanya sebatas pada tatanan hukum pada lingkup itu, tapi juga bisa dijerat dengan aturan hukum lain.
Seperti Undang-Undang tentang human trafficking, eksploitasi anak, hingga kekerasan terhadap anak di bawah umur. Semua aturan ini, menurutnya, bisa dipakai untuk mengatasi masalah Gepeng di Pekanbaru.
Namun fakta yang terjadi di lapangan saat ini sudah menjadi stigma umum, kalau upaya penanganan hukum terhadap Gepeng, hampir tidak berjalan sama sekali. (bpc2)