BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Di penghujung tahun dan memasuki tahun baru masehi 2024 merupakan momen tepat untuk merefleksi dan mengevaluasi diri. Sehingga kita dapat mengetahui kekurangan dan menjadikannya sebagai pelajaran dan bekal masa di hadapan.
Tantangan dan rintangan yang menghadang semestinya membuat kita makin kuat dan tegar. Bukan sebaliknya berputus asa. Optimisme modal paling berharga. Jika evaluasi begitu bermakna artinya bagi pribadi, apatah lagi tataran mengelola negara.
Jelas lebih besar manfaatnya. Inilah yang hendak diketengahkan pada kesempatan kali ini. Menengok sejauhmana capaian penyelenggaraan pemerintahan daerah di Provinsi Riau. Terlebih tahun 2024 kesempatan terakhir periode kepemimpinan Provinsi Riau dibawah nahkoda pasangan saudara Syamsuar dan Edy Natar. Dengan sisa waktu sangat terbatas, masih ada peluang melakukan yang terbaik dan menunaikan amanah sampai tuntas.
Meninggalkan kesan baik yang akan diingat masyarakat Riau. Bak pepatah berujar: “Yang dimakan rasa, yang dilihat rupa, yang didengar bunyi.”
Terlepas apakah Akhir Masa Jabatan (AMJ) Gubri yang dilanjutkan saudara Edy Natar akan diteruskan hingga beberapa bulan ke depan atau tidak, sehubungan gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK), Pj Gubri mendatang tetap wajib berpedoman ke Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2019-2024.
Sebab ini pengejawantahan visi dan misi pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Riau serta guideline pembangunan masa depan daerah yang ingin dicapai masa 5 (lima) tahun. Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode perencanaan. Visi Gubernur dan wakil Gubernur Riau yang tertuang dalam RPJMD Provinsi Riau Tahun 2019-2024 yakni “Terwujudnya Riau yang Berdaya Saing, Sejahtera, Bermartabat dan Unggul di Indonesia (Riau Bersatu)”.
Adapun penjabaran arah dan prioritas kebijakan di tahun 2024 mengusung tema/fokus yaitu “mewujudkan Riau yang Berdaya Saing, Sejahtera, Bermartabat dan Unggul di Indonesia.”
Mengacu ke tema dan fokus di atas, topik pembicaraan terpusat ke isu Sumber Daya Manusia (SDM). Inilah kunci mengangkat harkat dan martabat daerah baik lingkup nasional dan internasional. Berkaca ke capaian setakad ini, jalan Riau menggapai cita yang terangkum di visi dan misi RPJMD terbilang terjal.
Kendati secara Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Riau selama satu dekade (2012-2022) terus alami kemajuan, dimana sejak 2014 status pembangunan manusia Riau meningkat dari level “sedang” ke “tinggi”, namun sempat anjlok dari 73,00 di tahun 2019 menjadi 72,71 di tahun 2020 meski kembali meningkat di tahun 2021 dan 2022 (73,52).
Pandemi COVID-19 ditunding penyebab utama perlambatan di tahun 2020. Namun kami kira tak cukup memakai pandemi sebagai dalih. Sebab dampak semestinya baru terlihat di tahun 2021. Penilaian akan berbeda melihat ke aspek teknis berikut.
SDM
Dimulai sektor pendidikan, salah satunya Angka Partisipasi Murni (APM). APM simpelnya digunakan untuk mengukur daya serap sistem pendidikan terhadap penduduk usia sekolah, sekaligus menunjukkan seberapa banyak penduduk usia sekolah sudah memanfaatkan fasilitas pendidikan sesuai jenjang pendidikan.
Mengingat kewenangan provinsi adalah SMA/MA Sederajat, maka inilah indikator APM yang dipakai guna mengukur ketercapaian sasaran pemerataan dan akses pendidikan melalui program pendidikan menengah dan program pembangunan sekolah terpadu. Mendedah tren pencapaian APM SM Sederajat Riau 5 tahun terakhir dinilai tak terlalu menjanjikan. Walau 2019 naik 63,81 dari sebelumnya 60,22 di tahun 2018, tetapi setelah itu terkesan stagnan: 66,86 (2020), 66,02 (2021) dan 66,43 (2022). Penyebabnya beragam.
Entah terkendala kurangnya pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB), pembangunan unit sekolah baru, jarak dan lain-lain. Jangan lupa pula fakta bahwa Riau pernah dihantui tingginya angka putus sekolah. Satu hal yang pasti, itu semua berefek negatif bila tidak dibarengi keseriusan dan upaya progresif. Anehnya, sadar keberadaan fasilitas pendidikan tak memadai dan belum merata, akan tetapi selama pandemi banyak pembangunan dan rehab RKB tak terealisasi bahkan alokasinya juga dikurangi.
Selanjutnya sektor kesehatan. Ancaman terhadap regenerasi perlu ditanggulangi sesegera mungkin. Diantaranya masih tingginya jumlah kematian menyasar bayi dan ibu. Ini problem berat selain stunting. Teruntuk kematian bayi di tahun 2022 (508 kasus).
Dibanding tahun 2021 (584 kasus) dan 2020 (534 kasus) memang turun, tetapi lebih tinggi dari tahun 2019 (483 kasus). Begitupula jumlah kematian Balita di tahun 2022 (545 kasus) lebih tinggi dari tahun 2019 (440 kasus). Kemudian kematian ibu di tahun 2022 yaitu 114 kasus, walau menurun dibanding tahun 2021(180 kasus).
Tiga penyebab kematian ibu terbesar di Riau yakni perdarahan (37 persen), hipertensi 21 persen, penyebab lain (32 persen) semisal kemungkinan komplikasi dalam masa kehamilan. Di luar itu diperparah pelayanan yang tak terintegrasi. Implikasinya fatal. Contoh rendahnya deteksi faktor resiko ibu hamil, sebagian Rumah Sakit (RS) belum mampu memberi penanganan Ante Natal Care sesuai standar bagi ibu selama kehamilan dan penanganan pasien ibu hamil yang akan melangsungkan persalinan berstatus gawat darurat, atau istilahnya PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif).
Tak heran menurut data rekap kabupaten/Kota, cakupan deteksi faktor resiko baik oleh tenaga kesehatan maupun masyarakat hanya 66,43 persen dari target 100 persen. Tambah miris, merujuk ke data kematian berdasarkan tempat, justru kematian di RS termasuk tinggi 68,4 persen (78 kasus dari 114 kasus). Upaya Pemprov Riau untuk terus menggesa kinerja kinerja persentase RS Pemerintah yang telah memenuhi syarat akreditasi patut diapresiasi.
Tercatat tahun 2021 capaian di 88 persen, adapun perhitungan 2022 di angka 91,67 persen. Sementara target 96 persen dan target Restra 2024 98 persen. Itu baru bicara RS. Apatah lagi Fasilitas kesehatan (Faskes) di desa-desa menjalankan Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi.
Oleh karena itulah pemerataan sarana kesehatan dan pendidikan PR terbesar yang menanti kesungguhan pemangku kebijakan. Dua sektor tadi penentu terbentuknya generasi yang berdaya saing. Sayangnya investasi ke sektor dimaksud masih setengah hati. Pembangunan infrastruktur lain jauh lebih diutamakan.
Bukan bermaksud mengerdilkan arti penting pembangunan infratruktur, iya kalau alokasinya ke jalan dan jembatan yang mendukung produktivitas masyarakat.
Kenyataannya beberapa tahun anggaran belakangan APBD mendanai pembangunan yang tidak prioritas, seperti pembangunan gedung dan kantor diluar kewenangan Pemda yang ujungnya malah membebani APBD serta proyek mercusuar.
Kita berharap di tahun 2024 dapat dirubah. Supaya pola belanja lebih tepat guna, berbasis prioritas dan kebutuhan.***
Dr. (H.C.) H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. (ANGGOTA KOMISI V DPRD PROVINSI RIAU)