BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) yang didukung oleh Kementerian Dalam Negeri dan Ford Foundation menggandeng Bahtera Alam menggelar seminar dan lokakarya Peningkatan Kapasitas Para Pihak Sebagai Upaya Perlindungan dan Penghormatan Hak Masyarakat Hukum Adat (MHA). Semiloka ini berlangsung selama 2 hari, Senin dan Selasa, 5-6 September 2022, di Hotel Pangeran, Pekanbaru.
Kegiatan ini dilatarbelakangi beberapa regulasi nasional, hingga hadirnya Perda Provinsi Riau Nomor: 14 tahun 2018, yang sejauh ini tidak mampu diimplementasikan secara kolektif oleh pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Riau. Disamping itu, kapasitas antar pihak—mulai dari masyarakat adat, pemerintah dan sektor lainnya—tidak mumpuni dalam mendukung penghormatan dan perlindungan masyarakat hukum adat.
“Seminar dan Lokakarya ini dilatarbelakangi atas adanya peluang pengakuan wilayah adat dan hutan adat bagi masyarakat hukum adat yang semakin lebar,” kata Direktur Eksekutif Bahtera Alam Harry Oktavian.
Terselenggaranya kegiatan ini sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan para pihak, sehingga kerja-kerja di lapangan dapat terakomodir dengan baik. Bahtera Alam, merupakan bagian dari Pokja Perhutanan Sosial Riau, merasa pentingnya peningkatan kapasitas para pihak yang nantinya akan membantu MHA di Riau.
Dalam kegiatan ini juga turut hadir direktur Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari, Emilius Ola Kleden. Emil juga menyampaikan kegiatan ini bukan sebuah kebetulan, mengingat dari sisi sejarah, Kabupaten Kampar menjadi pionir pertama di Indonesia yang mengeluarkan Perda tentang masyarakat adat.
“Saya berharap pertemuan ini, dapat mendorong isu-isu tentang perlindungan dan penghormatan masyarakat hukum adat di Riau. Serta kita bisa mendiskusikan upaya-upaya dan inisiatif yang telah dan akan dilakukan kedepannya tentang perlindungan dan penghormatan masyarakat hukum adat,” katanya Emilius Ola Kleden.
Kegiatan seminar dan lokakarya ini dibuka secara resmi oleh Asisten I Sekretariat Daerah Provinsi Riau, Masrul Kasmy—yang mewakili Gubernur Riau Syamsuar.
Masrul mengatakan, Pemprov Riau memiliki komitmen untuk terus mengawal dan membantu masyarakat adat mendapatkan pengakuan. Hal ini dibuktikan dengan 2 pengakuan yang telah dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI yaitu Ghimbo Bonca Lida dan Ghimbo Pomuan Kenegerian Kampa dan Hutan Adat Imbo Putui Kenegerian Petapahan.
“Saya hari ini risau juga, kami saat ini mengesa identifikasi MHA di Riau dengan membentuk tim yang mana itu saya yang akan mengomandoi. Kita berusaha bagaimana regulasi-regulasi yang banyak ini, pengakuan untuk masyarakat adat kita bisa berjalan mudah. Jadi kalau mau marah dan bentak-bentak meja ini lah waktunya. Tapi harus ada ujungnya, harus ada hasilnya,” ujarnya.
Adapun narasumber yang dihadirkan dalam Semiloka ini, yakni; Yuli Prasetyo Nugroho, S.Sos.,M.Si (Kepala Sub Direktorat Pengakuan Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI) dan Yance Arizona S.H.,M.H.,MA (Akademisi Universitas Gadjah Mada).
Lalu, R. Sandra Agustin, S.Hut, M.Si (Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau) dan Harry Oktavian (Direktur Eksekutif Bahtera Alam).
YMKL sendiri merupakan organisasi yang memiliki konsen pada isu perlindungan hak masyarakat hukum adat, salah satu wilayah kerja YMKL adalah di Riau yang bermitra dengan Bahtera Alam.
Peserta yang hadir dalam kegiatan ini lintas sektor, perwakilan masyarakat hukum adat Petapahan, Kampar, Asli Anak Rawa, Sakai bathin Sebanga, Tanjung Belit, Suku Akit serta perwakilan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota dan perwakilan NGO.
“Selama 2 hari ini disini kami mengikuti semiloka. Kami sangat berterima kasih atas kegiatan seperti ini, ini menjadi bukti kepedulian kawan-kawan NGO terhadap hak-hak masyarakat adat. Kami merasa masyarakat adat ini hak-haknya ini hilang, bahkan negara sendiri yang menghilangkan hak kami,” kata Saprul, perwakilan Masyarakat Adat Kenegerian Petapahan.
“Paling miris, hak kami ini malah diberikan kepada perusahaan-perusahaan atau investasi. Kami berharap para pihak, tolong lah dibantu masyarakat adat ini, baik dari segi legitimasi atau baik secara hak. Kami merasa hanya kawan-kawan NGO, pers dan akademisi yang peduli kepada kami, pemerintah sangat kurang mendukung akan hak-hak kami,” tambahnya.
Selama program berlangsung, YMKL dan Bahtera Alam mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk mengakui hak masyarakat adat atau komunitas yang hidup didalam dan sekitar hutan, khususnya hak mereka atas hutan adatnya serta akses legal atas hutan adat.
Selain itu, YMKL mendorong keterlibatan pihak lain seperti perusahaan untuk ikut andil dalam perlindungan hak masyarakat adat dan lokal.
Adapun capaian dalam program ini tentunya cukup baik, diantaranya pendampingan masyarakat adat Kenegerian Petapahan, Suku Sakai Bathin Sebanga, Suku Asli Anak Rawa dan masyarakat desa Sungai Rambai untuk perhutanan sosial.
Diantaranya YMKL mendorong Kemitraan Kehutanan di desa Sungai Rambai, Kampar Kiri yang mana sejauh ini telah mendapatkan kesepakatan bersama untuk kemitraan kehutanan antara PT PSPI dan Masyarakat Desa Sungai Rambai.
Selain itu, YMKL juga ikut berpartisipasi dalam upaya peningkatan kapasitas masyarakat adat dan lokal seperti mengadakan pelatihan tudung saji untuk perempuan adat Kenegerian Petapahan, Pelatihan Madu Trigona untuk Pemuda Adat Kenegerian Petapahan, Pelatihan Peningkatan Kapasitas Perempuan di 2 Komunitas adat yaitu Perempuan Adat Suku Sakai Bathin Sebanga dan Perempuan Suku Asli Anak Rawa.
Kegiatan-kegiatan ini membuktikan komitmen YMKL untuk tetap dan selalu mendampingi masyarakat adat dan lokal di Riau untuk memperoleh hak mereka.***