BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU, 8 AGUSTUS 2023 – Tren meningkatnya jumlah Warga Negara Indonesia (WNI) yang memilih pindah menjadi Warga Negara Singapura (WN Singapura) perlu mendapat perhatian serius dari Negara (baca: Pemerintah).
Sepintas kepindahan WN Indonesia ke Negara lain tampak biasa. Namun ada fenomena berbeda teruntuk kasus Singapura.
Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2019-2022 total 3.912 warga negara Indonesia pindah kewarganegaraan Singapura.
Kemudian sebagian besar dari mereka yang pindah kewarnegaraan berada dalam kelompok usia produktif (antara 25 hingga 35 tahun).
Dua hal barusan yakni dari segi jumlah yang cukup banyak dan rentang usia produktif patut mengundang keprihatinan.
Kalau terus dibiarkan khawatir akan berpengaruh terhadap agenda dan kepentingan dalam negeri.
Mengingat selama ini Pemerintah kerap menggadang-gadangkan bonus demografi sebagai modal penting kebangkitan perekonomian bangsa di masa mendatang.
Menurut informasi, rendahnya angka fertilitas mendorong Singapura berusaha menggenjot populasi dari sekitar 5 juta kini menjadi 6,9 juta di tahun 2030.
Caranya, selain membujuk warganya punya anak, kebijakan paling getol yaitu memberi kewarganegaraan kepada tenaga profesional dari negeri lain.
Tercatat tiap tahun, 15.000-25.000 orang diberi status kewarganegaraan Singapura. Sudah barang tentu, syarat menjadi WN Singapura bukanlah perkara mudah. Prosedurnya pasti sulit.
Memang terdapat syarat Permanent Resident yang mewajibkan calon warga negara memenuhi kriteria tinggal dan telah menikah dengan warga negara Singapura selama minimal dua tahun.
Namun tak hanya itu. Pemerintah Singapura pastinya sangat selektif memilih individu yang layak mendapatkan status kewarganegaraan. Artinya, orang Indonesia yang beralih kewarganegaraan bukan “kaleng-kaleng”.
Secara kualitas dan kompetensi jelas sangat mumpuni. Wajar fenomena perpindahan perlu diwaspadai. Bahkan akademisi dan ilmuwan Indonesia menyebut ini alarm tanda bahaya.
Seiring meningkatnya pelarian modal Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia ke Singapura, bisa bikin brain drain di dalam negeri. Demikian kata ahli. Brain drain bermakna bahwa efek perpindahan orang-orang pintar dan terdidik dalam jumlah signifikan ke luar negeri, pada akhirnya membuat negara asal kehilangan “otak” yang terampil.
Sebab yang pindah pada dasarnya individu produktif, punya keahlian dan talenta terbaik. Kendati perpindahan kewarganegaraan sesuatu yang sah selama dilakukan secara legal, berikut alasan demi memperoleh taraf hidup lebih baik juga dinilai lumrah.
Akan tetapi dalam konteks negara modern, SDM dilihat sebagai aset berharga. Indonesia bangsa besar tak pernah kekurangan orang pintar. Meski bukan berarti membiarkan talenta terbaik pergi begitu saja. Sangat merugi manusia berbakat lari ke Negara lain atau tak terpakai akibat minim dukungan dan perhatian di negara sendiri.
Pemerintah mulai pusat hingga daerah mesti evaluasi total. Ironisnya bukannya berbenah, Sikap Pemerintah RI merespon ribuan WNI yang pindah menjadi WN Singapura sungguh di luar nalar.
“Mereka yang pindah ini usia-usia produktif, potensial. Kita berharap kebijakan Global Talent Visa menarik minat talenta terbaik dunia datang dan berkontribusi di Indonesia,” tutur seorang pejabat tinggi Imigrasi.
Global Talent Visa merupakan salah satu bentuk Golden Visa yang diberikan ke WNA ahli dan terampil di bidangnya untuk berkontribusi terhadap perekonomian dan pengembangan SDM di Indonesia.
Sangat disayangkan, wacana dan gagasan yang dimunculkan justru mengampanyekan langkah menggaet SDM dari luar negeri. Padahal di dalam negeri saja begitu banyak yang disia-siakan kemampuannya.
Paradoks
Penghasilan diduga kuat pendorong utama WN Indonesia melirik tinggal atau pindah kewarnegaraan. Meski bukan faktor tunggal. Hal lain ikut berkontribusi. Dari segi peluang, Singapura menyajikan kesempatan kerja di sektor formal jauh lebih banyak ketimbang di Indonesia.
Bagi para mahasiswa atau kaum intelektual yang menekuni bidang sains, tingginya gap sarana dan prasarana antara Indonesia dengan tetangga (Singapura dan Malaysia) turut mempengaruhi minat bertahan atau memilih pindah.
Makin klop menengok kecenderungan belakangan dimana elit Pemerintah dan elit perguruan tinggi di dalam negeri lebih sibuk berpolitik daripada memikirkan peningkatan kualitas pendidikan. Daya kritis kampus pun kian tergerus.
Disamping itu, kebijakan tenaga kerja memicu persepsi negatif. Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) per November 2022 mencatat sebanyak 111.746 orang Tenaga Kerja Asing (TKA) masuk ke Indonesia. Angka ini cetak rekor tertinggi sejak 2017.
Pemakaian TKA sebenarnya sah-sah saja selagi dalam rangka alih pengetahuan dan teknologi (transfer of knowledge) ke tenaga kerja lokal. Tapi mirisnya di lapangan berkata lain.
Hasil investigasi Ombudsman RI menemukan TKA khususnya dari China sebagian besar bekerja sebagai buruh kasar dan selevel kuli.
Temuan dibenarkan oleh Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko paska kunjungan ke Morowali Sulawesi Tengah. Benar-benar terbalik. Singapura mendatangkan SDM bernilai tinggi dari Indonesia.
Sementara “selera” Pemerintah Indonesia malah buruh kasar. Demi layani keinginan investor, derajat bangsa dipertaruhkan.
Berdasarkan pemaparan, selayaknya perpindahan WN Indonesia ke luar negeri dapat disikapi secara seksama. Ini PR pusat dan daerah.
Mengenai ketenagakerjaan, kebijakan dan sistem Upah Minimum Provinsi (UMP) yang tepat kuncinya. Supaya generasi muda berprestasi di Indonesia memperoleh pendapatan sepadan. Jangan sampai mereka berusia produktif dan berbakat dibiarkan digaji murah.
Kekhawatiran lain, ketika mereka tak dihargai sepadan, bakat yang semula bermanfaat positif bisa disalahgunakan ke arah lain. Faktor penghasilan lebih tinggi dan kehidupan teramat layak inilah daya tarik ditawarkan negara kayak Singapura guna menggaet SDM terampil.
Terakhir tak kalah penting, perubahan paradigma pembangunan SDM. Misalkan sektor pendidikan dan kesehatan, penggunaan istilah “belanja” dalam alokasi belanja pemerintah dianggap tak relevan lagi. Paling pas dipakai kata “investasi”.
Berhubung investasi, maka logikanya yang akan dituai tergantung sebanyak apa yang ditanam. Seorang WNI yang mengajar di Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Profesor Sulfikar Amir pernah membocorkan trik Singapura “merekrut” warga dari negara tetangga.
Diantaranya melalui pemberian beasiswa kuliah di universitas bergengsi di negara itu. Penerima beasiswa hibah biaya pendidikan atau tuition grant dikenakan syarat: harus bekerja di perusahaan Singapura selama tiga sampai empat tahun. Setelah bekerja dan menikmati berbagai kemudahan, ujungnya mereka memutuskan pindah Negara.
Belajar dari Singapura, upaya Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau menggalakan beasiswa SMA, SMK, S1,S2 dan S3 dari beberapa Negara semisal Pemerintah Jerman untuk belajar dan bekerja di sana sudah bagus.
Namun hendaknya ada strategi jangka panjang yang dimuat dalam dokumen rencana daerah. Tujuannya menjaga agar SDM Riau yang mumpuni dapat diberdayakan potensinya membangun daerah dan membuka berbagai peluang mereka mengabdi di negeri sendiri.
— — —
SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM – ANGGOTA KOMISI V DPRD PROVINSI RIAU