BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Belum lama ini Gubernur Riau Syamsuar menyoroti penyaluran dana Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP) atau akrab dikenal Corporate Social Responsibility (CSR) di Riau. Menurut orang nomor satu di Riau, selama ini komunikasi penyaluran dana CSR perusahaan belum berjalan sebagaimana mestinya. Pihak perusahaan lebih cenderung menjalin komunikasi dengan pemerintah desa atau kecamatan saja. Sementara koordinasi dengan pemerintah Kabupaten/Kota belum dilakukan secara intens. Sorotan Gubri ada benarnya.
Alasan paling ketara ketika perusahaan hanya menjalin komunikasi ke pihak desa atau unsur di wilayah objek program CSR semata, bisa membuat permintaan CSR lebih menonjolkan kuantitas daripada kualitas. Perusahaan pun kewalahan memenuhi tuntutan begitu banyak.
Selain itu sasaran CSR jadi kurang efektif. Melihat CSR dari sudut pandang terbatas tentu akan menyederhanakan potensinya. Skop pelaksanaan CSR memang lokal.
Namun dampak sesungguhnya sangat masif bila dapat diarahkan secara akumulatif yakni membantu upaya mewujudkan agar sumber daya dari perusahaan-perusahaan dapat terdistribusi dengan baik guna mencapai tujuan umum. Terlebih dalam mengakselerasi ketertinggalan daerah dan mendistribusikan kesejahteraan bagi masyarakat.
Inilah alasan kenapa pemerintah perlu berperan membantu memenuhi tujuan dan sasaran kebijakan CSR. Apalagi menurut konsep pembangunan modern, CSR titik temu antara pelaku bisnis dengan berbagai pemangku kepentingan dan masyarakat. Dalam tema pembangunan kekinian, kolaborasi dan sinergitas adalah kunci mencapai tujuan pembangunan. Seperti yang terjabar dalam konsep penta helix yang makna menurut asal katanya yakni penta artinya lima dan helix artinya lingkaran.
Secara istilah berarti lima aktor saling terkait dan berjalan beriringan, membuat percepatan laju pembangunan jadi sangat mungkin untuk ditempuh. Alhasil kualitas kehidupan meningkat. Adapun kalangan pebisnis/perusahaan adalah satu diantara pelaku dalam penta helix. Disamping akademisi/perguruan tinggi, komunitas/organisasi masyarakat, Pemerintah dan Media. CSR merupakan komitmen perusahaan memenuhi etika keperilakuan dan berkontribusi terhadap lingkungan. Pelaku bisnis dan masyarakat butuh hubungan simbiosis mutualisme.
Sehingga terbentuk harmonisasi sekaligus mendongkrak citra dan performa perusahaan. CSR juga salah satu cara meredam dan menghindari potensi konflik sosial yang berakar dari dampak operasional perusahaan atau kesenjangan struktural dan ekonomis yang timbul dari komponen perusahaan. Artinya, bukan bentuk kedermarmawan, tapi sesuatu yang sudah seharusnya ditunaikan.
Seiring muncul trust dan persepsi positif masyarakat sudah barang tentu positif pula bagi perusahaan menjalankan aktivitas dan operasionalnya.
Berangkat dari potensi dan dampak sosial CSR terhadap lingkungan dan masyarakat teristimewa yang berada di sekitar wilayah operasi perusahaan cukup signifikan, maka peran pemerintah sangat penting untuk menjamin keterlibatan sektor swasta dalam proses pembangunan yang berkesinambungan.
Itulah alasan mengapa CSR harus diatur dalam peraturan perundang-undangan. Mulai UU 25/2007 tentang Penanaman Modal dalam Pasal 15 (b) yang mewajibkan setiap penanam modal melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan, UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas yang mewajibkan perseroan yang bidang usahanya di bidang atau terkait dengan bidang sumberdaya alam untuk melaksanakan pelaporan tanggung jawab sosial dan lingkungan, berikut di tingkat daerah ada Perda 6/2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Di Provinsi Riau dan sudah ditindaklanjuti dengan peraturan lebih teknis yakni Pergub 142/2015 tentang Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Di Provinsi Riau.
Terkait Pergub, pelaporan merupakan cerminan dari perlunya akuntabilitas perseroan atas pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dengan begitu para pemangku kepentingan dan elemen masyarakat dapat menilai pelaksanaan kegiatan. Selaras dengan penerapan prinsip Good Corporate Governance.
Belum Optimal
Berangkat dari pernyataan Gubri di awal tulisan, sejauh ini CSR boleh dibilang belum optimal. Padahal kontribusinya bisa mendukung prioritas pembangunan daerah. Sekali lagi, pembangunan baik itu fisik atau non fisik tidak bisa hanya mengandalkan Pemerintah beserta keuangan daerah saja. Setiap elemen punya andil sesuai kapasitas dan kemampuan masing-masing.
Mengacu ke paradigma tadi, permintaan Gubri kepada pihak perusahaan dan pelaku usaha agar dapat menyesuaikan program CSR sesuai dengan skala prioritas dan rencana pembangunan daerah patut di dukung.
Meski di setiap kecamatan dan desa telah mempunyai rencana prioritas pembangunan dan juga telah diselaraskan dengan perencanaan daerah, namun koordinasi intens dengan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota perlu dilakukan, sebagaimana diatur dalam Perda.
Untuk tingkat provinsi, bentuk koordinasi dimaksud lewat Forum Tanggung Jawab Sosial atau Forum TJSP. Sebagai forum yang dibentuk Gubri untuk mengkoordinasi dan mensinergikan program Pemda dengan perusahaan. Sayangnya setakad ini tak banyak diketahui gebrakan dan perkembangan dari forum gabungan unsur dari Pemda, DPRD, Akademisi dan Asosiasi Pengusaha itu.
Kabar upaya merekap data CSR perusahaan di Riau juga masih kabur. Padahal Perda sudah mengatur kewajiban bagi perusahaan memberi laporan program CSR kepada Kepala Daerah melalui Forum TJSP Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota setempat.
Persoalannya ketidaksinkronan dan kurangnya koordinasi harus segera diatasi. Karena jelas sebuah kerugian besar bagi daerah. Mustahil memajukan Riau tanpa berkolaborasi dan bersinergi. Harus diakui hambatan terbesar terkait CSR memang ada perbedaan sekaligus kepentingan. Antara pemerintah dan perusahaan punya cara pandang tersendiri.
Dari sisi Pemda menganggap CSR perlu diselaraskan dengan prioritas pembangunan. Pandangan ini ada benarnya. Sedang di sisi perusahaan barangkali tak ingin CSR semata menggugurkan kewajiban tapi juga membawa efek balik berupa keuntungan bagi perusahaan.
Ya, bak pepatah sekali mendayung dua pulau terlampaui. Pandangan pragmatis dari perspektif manajemen perusahaan masuk akal. Adapun kami sendiri memandang implementasi CSR harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dari sudut pandang pribadi juga kurang sepakat jika penyaluran atau penggunaan dana CSR untuk wilayah yang menjadi objek perusahaan harus difasilitasi oleh Pemda.
Mengacu ke regulasi sebenarnya menegaskan peran Pemerintah hanya dalam tataran regulator dan fungsi koordinasi. Sebab ketika dikelola oleh Pemda khawatirnya malah menghambat efektivitas bantuan CSR.
Alasan dibalik penyelarasan CSR dengan program pemerintah logis. Namun diulangi kembali, Pemda hanya sebatas memandu dengan memberikan panduan tentang kebutuhan dan priotas pembangunan di daerah. Dasarnya dokumen perencanaan daerah. Supaya terukur dan tidak bias dengan kepentingan lain. Tapi jangan pula memaksakan dana CSR harus berupa kegiatan ini dan itu.
Berkaca dari perhelatan dan ekspos rencana program penanggulangan kemiskinan di gedung Daerah Balai Serindit Pekanbaru jelang akhir tahun 2021, dalam kesempatan tersebut Bupati Meranti Muhammad Adil membeberkan bahwa, mengacu pada data diterima dari Bappeda saat itu PT RAPP belum menyalurkan program CSR kepada masyarakat di wilayahnya. Padahal wilayah konsesi perusahaan dan mitranya cukup luas di wilayah yang ia pimpin.
Sang Bupati pun meminta supaya CSR dapat membantu mendukung sektor usaha kecil masyarakat dan sektor pertanian dan peternakan dalam rangka mencapai target daerah swasembada komoditas pangan. Cara begini dapat diterima. Selebihnya berikan keleluasan ke pihak perusahaan menentukan bentuk teknis kegiatan di lapangan apakah berupa pemberdayaan masyarakat dan bentuk kegiatan lain. Terakhir, perlu juga melihat penerapan CSR secara luas. Maksudnya bukan sekedar menagih anggaran CSR melainkan juga kajian mendalam. CSR memang kewajiban perusahaan tapi perlu dilihat lingkup penerapan. Sehingga kondisi “kesehatan” perusahaan jadi perhatian lebih dulu.
Jangan sampai menagih CSR perusahaan tapi lalai mengkaji urusan wajib seperti kondisi perusahaan “hidup segan mati tak mau” atau gaji buruh masih dibawah UMK dan lain-lain. Masalah-masalah tersebut hanya bisa diurai ketika terbentuk kesepahaman dan koordinasi yang baik.
*) Opini ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi bertuahpos.com