The New Normal sebagai gagasan pascabadai puncak COVID-19, bukan barang baru — jelasnya hanya memakai “bungkus baru”. Dikatakan bukan barang baru, karena pernah dilakukan pada masa krisis di Amerika di tahun 1929 .
Pada saat — yang lebih kurang sama (setahun sebelumnya di tahun 1928) — kondisi Indonesia yang waktu itu masih bernama Hindia Belanda — tengah berkecamuk tersebab pemberontakan Partai Komunis Indonesia.
Namun, dalam tulisan ini tidak membahas tragedi tersebut, tulisan ini lebih menyorot pola ekonomi bisnis dan hubungan timbal baliknya. Nah, kita kembali pada tragedi rontoknya bursa saham di Amerika Serikat. Atau dikenal dengan istilah The Wall Street Crash of 1929.
Di era ini dinamakan juga depresi besar.
Dalam depresi besar tersebut, dibagi pula dalam beberapa tahapan, yaitu Black Thursday (Kamis Hitam), sebagai awal keruntuhan bursa.
Kemudian Black Tuesday (Selasa Hitam), masa kepanikan dalam 15 hari. Persis sehari sebelum kejadian, New York masih menjadi kota finansial utama dengan ikonnya New York Stock Exchange sebagai bursa efek terbesar.
Hingga tragedi 24 Oktober 1929. Bursa saham pun runtuh hingga tahun 1939. Sepuluh tahun! Amerika Serikat menghadapi gejolak ekonomi dalam satu dekade, nilai saham anjlok, banyaknya kredit macet, kebangkrutan mikro dan makro ekonomi, hasil panen yang gagal, dan acaman kelaparan. Tersebab banyaknya muncul “tunawisma” baru. Ditambah dengan krisis kepercayaan yang terjadi di dunia perbankan dan berujung pada krisis ekonomi. Depresi besar-besaran ini dinamakan juga Krisis Malaise.
Berkaca dari Kebijakan New Deal Roosevelt, adalah Franklin D. Roosevelt sebagai pengganti Herbert Hoover dalam membawa kepemimpinan Amerika Serikat.
Salah satu langkahnya, yakni mendorong kongres memproduksi paket undang-undang yang berlangsung mulai tahun 1933 hingga 1939. Isi paket perundangan di antaranya berisi soal likuidasi perbankan, pemotongan gaji pegawai pemerintah hingga 15%, menukar emas dengan dolar, pendanaan pekerjaan bidang pertanian, pendidikan, kesenian, hingga konstruksi.
Meski kebijakan ini tak berjalan mulus, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat, tetap bergerak pada arah yang lebih baik. Walaupun tidak begitu significant. Mulai angka 8% hingga 12%.
Namun, pertumbuhan ekonomi ini terus menunjukkan tren positif menjadikan Amerika Serikat sebagai negara super power, terutama dalam hal binis pascaperang dunia ke-2.
Hal ini tentunya lepas dari perdebatan apakah lebih berhasil ideologi kapitalis yang diterapkan Amerika di kala itu, dibandingkan dengan ideologi komunis yang dipakai Rusia.
Karena notabene, Rusia justru rontok dengan terpecah menjadi negara-negara bagian, pada 26 Desember 1991. Tersebab kebijakan glasnost dan perestroika — langkah untuk mengurangi korupsi di pemerintahan dan di partai komunis. Ditambah dengan mengurangi penyalahgunaan kekuasaan oleh Komite Sentral Uni Soviet. Sesuai dengan arti perestroika sebagai program restrukturisasi.
Atau, mau dibandingkan dengan RRC yang di masa era milenial kini, ternyata Tiongkok justru maju dengan komunisnya, atau Vietnam Utara. Sekali lagi, tulisan ini tidak membicarakan hal itu. Karena tulisan ini justru terkait dengan kebijakan Pemerintah NKRI sendiri, dengan adanya kebijakan New Normal pascabadai COVID-19 yang ‘masuk’ ke Indonesia — Meret 2020
hingga memasuki Juni 2020 — jumlah kasus mencapai 20 ribuan dengan jumlah kematian mencapai 2%.
Agaknya karena pemerintah Indonesia merasa dengan pemberlakuan 3 periode PSBB telah berakhir, dan Riau termasuk daerah dengan penunjukan grafik yang memiliki tren positif alias membaik — dari segi penambahan kasus, jumlah kematian yang menurun dan penambahan jumlah pasien yang sembuh. Maka Riau masuk dalam daftar daerah yang akan New Normal.
Kebijakan New Normal NKRI dalam Bingkai Ekologi Bisnis
Dr. Hans Henri P Kluge, Direktur Regional WHO untuk Eropa, yang memberlakukan syarat New Normal bagi negera-negara yang bersiap menghadapinya. Salah satu syaratnya mengurangi risiko wabah dengan pengaturan ketat terhadap tempat yang memiliki kerentanan tinggi, tempat tinggal orang usia lanjut, fasilitas kesehatan, serta pemukiman yang padat penduduk.
Maka, Presiden Joko Widodo merencanakan pada 1Juni 2020, sebagai momentum dimulainya kehidupan baru, atau memasuki tatanan kehidupan baru. Sejak 1 Juni dimulailah beroperasinya industri jasa bisnis dengan tetap menjalankan prosedur tetap kesehatan yang sama di masa sebelum PSBB. Mal dan toko beroperasi pun dalam jadwal terbatas.
Pinsipnya, segala sasuatu berjalan terbatas. Begitu juga dengan kebijakan terhadap lembaga pendidikan dan tempat ibadah. Karena kadua sektor inilah yang begitu terasa dampaknya. Anak-anak usia sekolah sudah banyak yang mulai gelisah di rumah, karena harus belajar sendiri, atau warga yang sudah mulai ‘bersalah’ pada Sang Maha Kuasa karena harus berlama-lama ibadah di rumah saja.
Bagaimana menyiasati New Normal?
Meminjam istilah biologi, ekologi alias hal yang mempelajari hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan lingkungannya, maka muncul istilah ekologi bisnis.
Ringkasnya, bagaimana pelaku usaha dalam hal ini beradaptasi dengan kondisi lingkungan sekitarnya. Bagaimana bisnis harus bertahan di masa-masa pendemi wabah COVID-19. Kalau pun harus bertahan tentu dengan pola berfikir terbalik — bagaimana bisnis tetap bertahan dengan pola yang berbeda.
Mengutip pandangan Thomas Khun, dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution, bahwa pengetahuan akan berevolusi mengikuti alurnya. Sehingga dalam sebuah ekologi bisnis, ia meyakini kalau binis akan selalu menyesuaikan diri, atau beradaptasi dengan lingkungannya. Lihat bagaimana Rasulullah — 14 abad lalu — membuat kebijakan pasca waba’/tha’un (wabah/penyakit menular) yang sudah menyebabkan 2.500 sahabat dan tentara Rasulullah di Amwas (Palestina) meninggal dunia.
Serangan wabah akibat imun tubuh yang lemah dan akibat hewan tikus yang terinfeksi penyakit kemudian membuat sarang pada sumber air minum warga hingga menyerang persediaan pangan. Dan, kemudian wabah ini juga berlangsung di zaman sahabat, tabiin, tabiut tabiin, hingga zaman dinasti-dinasti Islam selnjutnya. Dan kini di zaman modern hampir seluruh daratan di bumi tak lepas dari jerat COVID-19.
Lewat satu hadis Rasulullah SAW yang masyhur: Tha’un adalah suatu peringatan dari Allah untuk menguji hamba-hambanya dari kalangan manusia. Maka, pabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari darinya. (HR Bukhari Muslim).
Kebijakan Rasulullah pun berjalan sesuai hadis tersebut. Para sahabat yang masih sehat dipisahkan dari sahabat yang terjangkit penyekit. Yang sakit selalu diberi imun madu, korma, dan jintan hitam. Hadis ini selayaknya memberikan arahan pada kita, kalau langkah yang diambil pemerintah NKRI diadaptasi dengan melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), walaupun secara teknis banyak kendala di lapangan. Kini, dengan kebijakan New Normal, nabi mengajarkan agar ‘Tidak Lari’. Lalu apa maksudnya ini? Secara sains, kita sudah belajar dan mengamalkannya dengan cara menerapkan “ekology“.
Khusus dalam bidang bisnis, kita lambat laun akan menerapkan ekologi bisnis, bagaimana masyarakat dan pelaku bisnis mampu memainkan peran dalam situasi seperti ini. Terutama dalam masa wabah bagaimana bisa menerapkan hubungan timbal balik pelaku usaha terhadap bisnis yang digelutinya. Sebagaimana bisnis yang diprediksi berkembang salah satunya bisnis digital, maka pelaku usaha mesti memaksimalkan usahanya berbasis digital, terutama yang selalu ada hubungannya dengan kebutuhan di masa pandemic.
Memang hal ini pun berlaku secara bertahap. Butuh penyesuaian. Maka bisnis pun mesti memakai foilosofi air, yang selalu menempati wadahnya. Maka bisnis akan selalu berekologi dengan sendirinya.
Berekologilah, beradaptasilah! ***