Oleh : M. Joni Paslah
Editor dan Kreator di Bertuahpos
– – –
“Saya biasanya membayar Rp700 ribuan, bulan Juni ini saya harus bayar sebanyak Rp2.100.000”, kata seorang ibu berjilbab potong empat berwarna kuning kunyit, berbahan baju cheruty. Si ibu duduk menemplok pada sebatang besi pipa panjang yang ada di depan teras kantor PLN rayon Panam Pekanbaru, siang Jumat awal Juni pekan lalu. Seorang laki-laki berkulit hitam, yang sedari tadi mendengar keluhan si ibu juga menimpali. “Kalau saya per bulannya bayar tagihan hanya sebesar Rp100 ribuan, kini terpaksa harus bayar tagihan mencapai 800 ribuan.”
Fantastis !
Itulah diantara keluhan warga yang mendatangi kantor pelayanan PLN rayon Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru. Selepas Jumatan, berangsur-angsur, warga yang tinggal di rayon Tampan pun mendatangi kantor PLN. Hingga antrian pun membludak. Sampai-sampai nomor antrian yang hanya sampai 60 antrian, habis. Warga yang belum mendapat nomor antrian akhirnya diarahkan agar datang mulai Senin pekan depan, sebut petugas keamanan yang hanya bisa senyum kecut mendengar komplen warga yang tak mendapat nomor antrian.
Apa yang saya paparkan di atas bukan cerita bersambung, namun fakta yang terjadi di lapangan. Banyak spekulasi yang beredar — terutama di media sosial — kalau pembayaran listrik bulan Juni 2020 membengkak sebagai akibat dampak subsidi gratis bagi masyarakat yang kurang mampu, yang dicanangkan Presiden Jokowi bulan Maret 2020 lalu.
Lucunya, petugas pelayanan beralasan kenaikan tagihan ini tersebab petugas lapangan pencatat meteran yang tidak bertugas seperti biasanya harus berada di rumah tersebab wabah COVID-19. Untuk laporan poto meteran bulan Maret dan April, tidak terekam oleh petugas. Sehingga PLN merata-ratakan pembayaran yang harus ditagih pada pelanggan pada bulan Juni 2020. Yang merupakan akumulasi kekurangan pembayaran bulan Maret April 2020.
Seperti tumor ganas yang entah dari mana akar penyebabnya, begitu pulalah tagihan listrik memasuki medio tahun 2020 ini. Adanya kenaikan pemakaian kwh yang dijelaskan oleh petugas pelayanan PLN belum memberikan penjelasan yang sesuangguhnya terhadap pemakaian listrik oleh pelanggan. Hanya berdalih karena seluruh kebijakan dari PLN pusat. Termasuk absennya petugas pencatat meteran di lapangan dirumahkan mengantisipasi wabah virus COVID-19.
Lagi-lagi pernyataan ini bagi saya tidak realistis. Termasuk pernyataan semuanya terpulang ke ‘pusat’. Entah itu PLN pusat, pemerintanh pusat, atau pusat-pusat yang lain. Yang jelas saya kira fakta ini sudah mengkhianati sejarah pendirian PLN sendiri.
Sejarah ketenagalistrikan di Indonesia, dimulai dari akhir abad 19. Saat beberapa perusahaan Belanda mendirikan perusahaan listrik untuk kebutuhan sendiri hingga dipublikasikan. Sebuah perusahaan Hindia Belanda Nederlandche Indische Electriciteit Maatchappij (NIEM), atau Perusahaan Listrik Hindia Belanda, yang berpusat di Amsterdam, Belanda. Dari Batavia/Jakarta, NIEM ekpansi ke wilayah Jawa Timur. Yang mendirikan perusahaan gas (NIGM) hingga akhir abad 19. Tahun 1909, perusahaan ini diberi hak membangun pembasngkit listrik beserta distribusi di Pulau Jawa.
Selama perang dunia kedua, perusahaan ini dikuasai oleh Jepang. Pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945, perusahaan itu pun direbut pemuda Indonesia, dan pada September 1945 perusahaan itu pun diserahkan pada pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Soekarno. Tak sampai 1 bulan kemudian pada 27 Oktober 1945, pemerintah pun membuat perusahaan jawatan listrik dan gas dengan kapasitas sebesar 157,5 MW. Berturut-turut kemudian pada 1 Januari 1961, dibentuklah BPU PLN (Badan Pimpinan Umum Perusahaan Listrik Negara) yang mengurus listrik, gas, dan kokas (batu bara berkadar karbon tinggi).
Tanggal 1 Januari 1965, maka pemerintah memisahkan pengelolaan listrik yang dikelola Perusahaan Listrik Negara (PLN), dan perusahaan gas yang dikelola Perusahaan Gas Negara (PGN). Khusus untuk PLN, maka sejak tahun 1990 hingga 1994, PLN pun terus bermetamorposa dari perusahaan umum menjadi Persero. Maka berlanjut pada tahun 2003, kapasitas listrik pun ditambah menjadi 21.423 MW yang tersebar di seluruh Indonesia. Untuk menggerakkan pembangkit listrik tenaga air, uap, diesel, oas, dan panas bumi di Indonesia. Di tahun 2003, kapasitas listrik Indonesia mencapai 473 kwh/kapita, dengan 6 anak perusahaan patungan.
Nah, dari cuplikan sejarah panjang PLN di atas merupakan jejak yang penuh semangat kemerdekaan Indonesia, demi atas nama kesejahteraan dan keadilan. Berbanding terbalik dengan pernyataan Presiden Jokowi untuk memberikan stimulus listrik di Indonesia sejak Maret 2020 lalu. Untuk pelanggan 450 kwh dan 900 kwh bahkan digratiskan. Subsidi dan non subsidi peruntukan pelanggan kelistrikan pun masih menyisakan pertayaan, bagaimana peruntukkannya. Kenyataan di lapangan, banyak yang tidak jelas.
Jika ada pertayaan yang menohok, patugas pelayanan hanya menjawab, semua diatur dari pusat. Entah pemerintah pusat, PLN pusat, semuanya tidak jelas. Yang jelas hanya satu, uang yang sudah dibayar, tidak bisa diambil lagi, karena sudah masuk ke kas negara. Kenyataan sebuah kata-kata sakti yang sangat menyakitkan. Mana imbalan untuk semangat perjuangan pemuda Indonesia yang dengan susah payah merebut PLN dari Kolonial Belanda?
Harusnya dengan kondisi begini, pemerintah tak perlu cari muka untuk bermanis-manis memberikan stimulus listrik, maupun stimulus lain yang kalau pada akhirnya berupa isapan jempol. Nama baik negara menjadi taruhannya. Buruk sikap pemimpinnya, maka warga negara menjadi bahan cemoohan yang berujung di luar negeri sana. Kembali masalah listrik, carut marut tenaga kelistrikan di Indonesia menurut saya adalah sebuah titik nadir dalam pengelolaan listrik negara.
Selain telah menodai pasal 5 Pancasila : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, juga menodai semangat pejuang kemerdekaan yang telah merebut perusahaan Belanda, kemudian dijadikan perusahaan listrik nusantara. Alangkah malunya kelak jika pemimpin ditanyakan di hadapan Allah SWT, kalau sikap dan langkah kebijakan yang diambil hanya akal-akalan saja. Sudah berbohong dihadapan Sang Pencipta, mengakali masyarakat pula. Sebuah kesalahan besar kalau pemimpin hanya menganggap ini sebuah kesalahan prosedur yang akan ditinjau ulang.
Sulitnya permainan lidah, karena apa yang diucapkan tak mungkin ditarik lagi. Hanya permintaan maaf saja dari pemerintah yang dimohonkan. Itu pun kalau boleh. Pendek kata, setiap kebijakan yang disampaikan memang harus dipikirkan matang-matang sebelum disampaikan. Walaupun kenyataannya pahit, demi sebuah persepsi yang tidak gagal paham. Begitu statemen yang sering di lontarkan.
Namun, kebijakan yang disampaikan telah lebih dulu tiba di tengah masyarakat. Jika terjadi gejolak dan ketimpangan di lapangan, pemerintah memang harus bijak, selain mengaku kekeliruannya selama ini, dan kembali merangkul orang atau lembaga yang benar-benar peduli atas nasib bangsa. Jangan lagi demi kepentingan tertentu.
Bangsa yang besar katanya harus tanyakan : apa yang kau berikan pada negara. Bukan apa yang negara berikan pada engkau. Dalam tatanan ideal, pertanyaan itu sungguh besar maknanya. Karena menuntut kepedulian bangsa dan warga negaranya dalam memberikan sumbangsih besar pada kemajuan negara. Namun, celaka jika pertanyaan itu ditanyakan pada masa tengah tersebarnya wabah virus corona kini, karena waktunya negara yang harus turun tangan.
Apa yang telah negara berikan pada engkau? Rasa aman. Ya itulah yang harusnya negara berikan pada masa sekarang ini. Masyarakat aman karena sembakonya tertangani oleh pemerintah dan negara di masa wabah, masyarakat merasa aman karena keselamatan mereka terjamin di saat wabah penyakit gencar-gencarnya melanda, masyarakat merasa aman karena aparat penegak hukum sangat peduli dengan kermanan warganya, masyarakat aman karena tagihan rumah dan motor yang dapat ditangani sedini mungkin oleh negara, masyarakat aman karena gaji UMR-nya tidak dipotong, masyarakat aman jika taguhan listriknya tidak membengkak drastis, masyarakat aman dalam menjalankan ibadah, ataupun masyarakat aman saat menjajakan hasil pertaniannya.
Masih banyak lagi nilai-nilai luhur yang berkaitan dengan rasa aman yang harusnya negara berikan pada warga negaranya (terlebih saat wabah menyebar). Pertanggungjawaban negara dan pemerintah akan dituntut hingga di akhirat kelak. Kalau sudah begini, tentulah pernyataan warga negara menjadi : Jangan berharap banyak dari pemerintah. Artinya negara dan pemerintah sudah meninggalkan rakyatnya? Wallahualam.
Namun sebagai warga negara yang baik, betapapun kenyataan ini pahit, bagi umat beragama diharapkan selalu berdoa kalau masih ada orang baik di negeri ini, dan selalu mendoakan amirul mukminin untuk segera mengatasi keadaan, agar tidak bergejolak seperti begara di belahan bumi lain seperti Amerika Serikat.
Nauudzubillah summa naudzubillah.***