BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Ustaz Abdul Somad (UAS) mengaku bahwa dalam kurun waktu beberapa hari belakangan dirinya diserang buzzer di Instagramnya.
Serangan itu, menurut dia, tentu saja berkaitan dengan isu politik di Pilpres 2024, yang mana dirinya dianggap memberikan dukungan kepada salah satu Capres.
“Beberapa hari ini, kalian ejek aku, tentang menang dan kalah dalam Pilpres,” katanya memulai balasan dari serangan itu di sosial media.
Menurut UAS, dia dan para buzzer jelas memiliki definisi berbeda tentang menang dan kalah. “Inti masalahnya, kita beda definisi tentang menang dan kalah bro.”
UAS kemudian menceritakan secara gamblang tentang apa yang ia alami dan rasakan selama ini, sebagai buah hasil dari sikap politiknya yang dianggap berpihak. Berikut penjelasannya;
- Akhir 2018, aku diundang makan jenderal, empat mata. Aku diberi uang, ku tolak halus. Dengan cara, ku serahkan ke panti asuhan, poto penyerahan ku kirim ke beliau. Aku diberi mobil, ku kembalikan. Ku bilang rumahku kecil, tak muat garasi. Aku diberi 4 orang pengawal khusus. Ku jawab, “Saya di Riau aman jenderal. Nanti kalau saya perlu pengawal, saya sendiri yang minta”. Begitu caraku menolak.
Malam itu aku sudah menang, karena sudah bisa berkata, “Tidak”.
- Awal 2019. Surat izin cutiku ditahan rektor selama dua bulan. Dua kali aku bersimpuh ke rumahnya. Akhirnya dia menyuruh aku datang. “Ini surat izin cuti s3 saya tandatangani di depan kepala Bin”. Aku baru tau, ternyata tamu rektor malam itu jenderal bintang dua. Dia tanya aku, “Ustadz mau jadi apa? Dubes? Menteri?”. Ku jawab, “Datuk ku punya cucu 40. Aku satu-satunya cucu yang diwasiatkan sekolah agama. Aku sampai mati jadi guru ngaji”.
Aku sudah menang malam itu. Sebelum Kpu mengumumkan hasil pilpres 2019. Itulah mengapa rektor sangat marah saat aku bertemu pak Prabowo 11 Maret 2019.
- Tahun 2020, lama aku tidak masuk Medan. Khawatir terusik pilkada Medan. Tiba-tiba keponakanku nikah. Aku sengaja jalan darat, supaya kedatanganku tidak terdeteksi. Saat tiba di hotel, tiba-tiba sumut 2 nelpon, mintak jumpa lima menit. Ku bilang, “Tak bisa bang. Ini untuk jaga abang juga biar gak apa kali nanti payah pulak”. Beliau ngotot mau jumpa. Akhirnya kami jumpa. “Begini Ustadz. Saya baru ditelpon Pak AH dan pak B. Pesannya, Ustadz jangan ikut-ikutan pilkada Medan”. Ku jawab, “Aku memang tak pernah ikut-ikutan. Untuk apa ku”. Selesai acara akad nikah keponakanku. Ku kontak Bang Akhyar Nasution dan Ustadz Salman (Pasangan AMAN), silakan datang bang, ku buatkan video dukungan. Kemanapun kami pergi kami diikuti intel. Akhirnya video itu kami buat di rumah keluarga di Bukittinggi. Aku tau, saat itu kami bukan melawan pasangan B-A, tapi melawan Indonesia. Tapi aku menang malam itu. Menang melawan keangkuhan. Aku Abdul Somad yang tidak bisa diatur siapa pun.
Kawan-kawan yang tidak tahan, ngasi saran, mendekat sajalah ke kekuasaan, terima saja semua yang mau datang, apa yang dipertahankan?!
Aku tidak bisa begitu, aku tak bisa berpura-pura, bermuka dua, lain di hati lain di muka. Kalau tidak cocok dengan hatiku, sampai mati tak kan ku ikuti.
Januari 2017, guruku memakaikan aku kain kafan. Dibisikkannya ke telingaku talqin, “Lailahaillallah”. Mati sebelum mati.
Lama aku merenung. Apakah tulisan ini ku posting atau ku telan sendiri. Bismillah. Ku posting. Ada di sana mahasiswa yang sedang menulis skripsi, tesis, disertasi, biografi, dst. Mudah-mudahan mereka dapat maklumat.
Jamaah yang tak tahan membaca cacian, bully dst di Ig, Fb, Youtube ku, unfollow saja. Ini berat jamaah, biar aku aja.***