بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wash-shalãtu was-salãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wa bihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Beberapa waktu ini, aku selalu mengingatkan kembali anak-anakku tentang hakikat Keikhlasan dengan mengutip sebuah Hadist Qudsi dimana Nabi bersabda, “Ikhlas merupakan satu rahasia di antara rahasia-Ku, aku menaruh nya dalam hati hamba-hamba yang Kucintai.”
Apa sih yang dimaksud ikhlas ?
Dikutip dari Ensiklopedia Akhlak Rasulullah Jilid 1, Al-Kafawi dalam kitabnya Al-Kulliyat menjelaskan, ikhlas adalah meniatkan ibadah sehingga hanya Allah semata yang disembah. Pendapat lain menyebutkan, ikhlas ialah membersihkan hati, ucapan, serta amal.
Sedangkan dalam buku Kumpulan Hadits Qudsi Pilihan oleh Syaikh Fathi Ghanim, dalam syarah kitab Al-Asybah karya Al-Hamawi disebutkan bahwa ikhlas adalah rahasia antara engkau dengan Tuhanmu, tidak bisa dilihat oleh malaikat sehingga bisa ditulis, juga tidak bisa dilihat setan sehingga bisa dibatalkan, juga bisa tidak bisa dilihat oleh hawa nafsu sehingga bisa condong kepada nafsu.
Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat menuturkan kisah tentang Umar bin Abdul Aziz. Tiap kali Umar bin Abdul Aziz menyampaikan pidato di mimbar, muncul kekhawatiran akan rasa ujub dapat tumbuh dalam dirinya, sehingga ia menyudahi khutbahnya.
Kemudian juga tiap kali ia menulis surat, muncul rasa khawatir akan ujub dalam dirinya. Lalu ia langsung menyobeknya, dan berkata, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari keburukan nafsuku’.
Tiga Pemuda yang Terperangkap dalam Gua dan Keluar dengan Selamat karena Keikhlasan.
Abu Abdirrahman bin Abdullah bin Umar bin Khattab meriwayatkan, “Aku mendengar Rasulullah SAW bercerita : “Sebelum kalian, ada tiga orang sedang berjalan-jalan, kemudian mereka menemukan sebuah gua yang dapat digunakan untuk berteduh dan mereka pun masuk, tiba-tiba ada batu besar dari atas bukit yang menggelinding dan menutupi pintu gua, sehingga mereka tidak dapat keluar“.
Salah seorang diantara mereka berkata, “Sungguh tidak ada yang dapat menyelamatkan kalian dari bahaya ini, kecuali bila kalian berdoa kepada Allah SWT dengan menyebutkan amal-amal saleh yang pernah kalian perbuat”.
Kemudian salah seorang di antara mereka berdoa, “Ya Allah, aku mempunyai orang tua yang sudah renta. Kebiasaanku, mendahulukan mereka minum susu sebelum aku berikan kepada anak, istri, dan budakku“.
“Suatu hari, aku terlambat pulang karena mencari kayu namun keduanya sudah tidur, aku enggan untuk membangunkan mereka, tetapi aku terus memerah susu untuk persediaan minum keduanya“.
“Walaupun demikian aku tidak memberikan susu itu kepada keluarga maupun kepada budakku sebelum keduanya minum. Dan aku menunggunya hingga terbit fajar“.
“Ketika keduanya bangun, kuberikan susu itu untuk diminum, padahal semalam anakku menangis terisak-isak meminta susu sambil memegangi kakiku. Ya Allah, jika berbuat seperti itu karena mengharapkan ridha-Mu, maka geserkanlah batu yang menutupi gua ini”.
Kemudian bergeserlah sedikit batu itu, tetapi mereka belum bisa keluar dari gua itu.
Orang kedua pun melanjutkan doanya, “Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai saudara sepupu yang sangat aku cintai”.
Dalam riwayat lain disebutkan, “Aku sangat mencintainya sebagaimana seorang laki-laki mencintai seorang perempuan, aku selalu ingin berbuat zina dengannya, tetapi dia selalu menolaknya“.
“Beberapa tahun kemudian, dia tertimpa kesulitan. Dia pun datang untuk meminta bantuanku, dan aku memberikan kepadanya seratus dua puluh dinar dengan syarat menyerahkan dirinya kapan saja aku menginginkan”.
Pada riwayat yang lain, “Ketika aku berada di antara kedua kakinya, dia berkata, ‘Takutlah engkau kepada Allah. Janganlah engkau sobek selaput daraku kecuali dengan jalan yang benar.’
“Mendengar yang demikian aku meninggalkannya dan merelakan emas yang aku berikan, padahal dia seseorang yang sangat aku cintai. Ya Allah, jika perbuatan itu karena mengharapkan ridha-Mu, maka geserkanlah batu yang menutupi gua ini”.
Kemudian bergeserlah batu itu, tetapi mereka belum bisa keluar dari gua itu. Orang yang ketiga melanjutkan do’anya, “Ya Allah, aku mempekerjakan beberapa pekerja dan mereka digaji dengan sempurna, kecuali ada seseorang yang meninggalkanku dan tidak mau mengambil gajinya terlebih dahulu”.
“Kemudian gaji itu aku kembangkan dan menjadi banyak. Selang beberapa tahun, dia datang dan berkata, ‘Wahai hamba Allah, berikanlah gajiku!”
“Aku berkata, ‘Semua yang engkau lihat baik unta, sapi, kambing, maupun budak yang menggembalakannya, semua adalah gajimu”.
“Dia berkata, ‘Wahai hamba Allah, janganlah engkau mempermainkan aku!“.
“Aku menjawab, ‘Aku tidak mempermainkanmu“.
“Kemudian dia mengambil semuanya itu dan tidak meninggalkannya sedikitpun. Ya Allah, jika perbuatan itu karena mengharapkan ridha-Mu, maka singkirkanlah batu yang menutupi pintu gua ini”.
Kemudian bergeserlah batu itu dan mereka pun bisa keluar dari dalam gua. (HR. Bukhari dan Muslim)
Mengenai hadits di atas, Imam Nawawi berkomentar:
1. Berbakti kepada orangtua lebih diutamakan, bahkan lebih didahulukan ketimbang terhadap istri dan anak.
2. Tidak jadi berbuat dosa karena takut kepada Allah adalah tindakan yang sangat mulia.
3. Pekerja harus selalu diperlakukan dengan adil. Jika seseorang menggaji pekerja kurang dari haknya, maka haknya mesti dibayar kembali dengan cara-cara yang pantas.
4. Do’a apa pun yang diminta dengan tulus, dan dengan rasa rendah hati yang sesungguhnya, akan dikabulkan oleh Allah.
5. Allah terkadang menolong hambanya yang saleh dengan sesuatu yang tidak biasa, yang mana biasa disebut dengan karamah. Ini bagaikan mujizat para nabi, karamah dari orang-orang yang saleh adalah juga kenyataan. Namun mujizat dan karamah, keduanya muncul atas izin Allah.
Kututup artikel ini dengan do’a :
اَللّٰهُمَّ اجْعَلْ لِيْ نُوْرًا فِيْ قَلْبِيْ، وَنُوْرًا فِيْ قَبْرِيْ، وَنُوْرًا فِيْ سَمْعِيْ، وَنُوْرًا فِيْ بَصَرِيْ، وَنُوْرًا فِيْ شَعْرِيْ، وَنُوْرًا فِيْ بَشَرِيْ، وَنُوْرًا فِيْ لَحْمِيْ، وَنُوْرًا فِيْ دَمِيْ، وَنُوْرًا فِيْ عِظَامِيْ. وَنُوْرًا مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ، وَنُوْرًا مِنْ خَلْفِيْ، وَنُوْرًا عَنْ يَمِيْنِيْ، وَنُوْرًا عَنْ شِمَالِيْ، وَنُوْرًا مِنْ فَوْقِيْ، وَنُوْرًا مِنْ تَحْتِيْ. اَللّٰهُمَّ زِدْنِيْ نُوْرًا، وَاَعْطِنِيْ نُوْرًا، وَاجْعَلْ لِيْ نُوْرًا، وَاجْعَلْنِيْ نُوْرًا ۞
Allāhummaj‘al lī nūran fī qalbī, wa nūran fī qabrī, wa nūran fī sam‘ī, wa nūran fī basharī, wa nūran fī sya‘rī, wa nūran fī basyarī, wa nūran fī lahmī, wa nūran fī damī, wa nūran fī ‘izhāmī, wa nūran min bayni yadayya, wa nūran fī khalfī, wa nūran ‘an yamīnī, wa nūran ‘an syimālī, wa nūran min fawqī, wa nūran min tahtī. Allāhumma zidnī nūrā. Wa a‘thinī nūrā. Waj‘al lī nūrā. Waj‘alnī nūrā.
“Ya Allah jadikanlah cahaya pada hatiku, kuburku, pendengaranku, penglihatanku, rambutku, kulitku, dagingku, darahku, tulang-tulangku, di hadapanku, belakangku, sisi kananku, sisi kiriku, sisi atasku, dan pada sisi bawahku. Ya Allah tambahkanlah cahaya bagiku. Berikanlah cahaya kepadaku. Jadikanlah cahaya bagiku. Jadikanlah diriku bercahaya.”
Dikutip dari Imam Nawawi, Kitab Riyadhus Shalihin, Bab Ikhlas dan Niat dalam Segala Perilaku Kehidupan, Tampak dan Tersembunyi, Hadis No. 13.
Wallãhu A’lam bish-Shawãb.
Oleh: H Derajat
Ketua Pasulukan Loka Gandasasmita