BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Dewan Keamanan (DK) PBB pada 20 Juli 1980 menolak Yerusalem sebagai ibukota Israel.
Dalam sidang DK PBB, tak satupun dari 14 negara anggota yang mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel. Saat dilakukan voting suara, skornya adalah 14 lawan 0.
Pada tahun 2017, DK PBB kembali mengambil keputusan yang sama. DK PBB menolak keputusan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai kolonial Israel.
AS kemudian menggunakan Hak Vetonya, dan menolak semua resolusi DK PBB.
Israel sendiri sudah melakukan banyak tindakan untuk mengklaim Yerusalem. Israel sudah mensahkan Undang-Undang yang memungkinkan untuk mencabut hak tinggal orang Palestina di Yerusalem.
Undang-Undang (UU) yang dikenal dengan ‘breach of loyalty’ ini telah disahkan pada Rabu, 7 Maret 2018 yang lalu.
Dengan UU ini, pihak Israel klaim bisa mencabut izin tinggal warga Palestina di Yerusalem dengan alasan tertentu, seperti memalsukan dokumen.
Menteri Dalam Negeri Israel, Aryeh Deri mengatakan UU ini adalah untuk melindungi penduduk Israel di ibukota Israel.
Sang menteri yang pernah dihukum karena penyuapan, kecurangan dan penyalahan kekuasaan ini beralasan UU tersebut akan digunakan untuk melawan penduduk yang berencana melakukan serangan ke Israel.
Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), menentang keras kebijakan Israel ini. Anggota seniot PLO, Hanan Asnawi mengatakan UU ini melanggar hukum internasional.
“Mengusir penduduk Yerusalem dari kota mereka sendiri. Ini adalah pembangkangan terhadap hukum internasional dan melanggar hal asasi manusia,” tegas Asnawi.
UU tersebut akan semakin mempersulit 420 ribu warga Palestina yang tinggal di Yerusalem. Mereka akan dianggap seperti orang asing di kota mereka sendiri, tanpa kepastian identitas dan tempat tinggal.
Dalam laporan Human Rigth Watch baru-baru ini, pencabutan izin yang memaksa orang Palestina keluar dari Yerusalem, bisa dianggap sebagai kejahatan perang. (bpc4)