BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Ada dua kata yang sulit dipisahkan dari Munir. Yaitu keberanian dan HAM. Kata ini patut untuk diingat kembali sebagai renungan berbenah diri di hari kelahiran Munir, 8 Desember 1965.
Hal itu terjaga dalam sepanjang masa pengabdiannya dalam memperjuangkan hak-hak buruh di Tanah Air, hingga dia meninggal dunia.
Hingga kini, pembunuh Munir mungkin akan menjadi ‘rahasia yang tak kan pernah terungkap.’
Keberadaannya mengajarkan banyak hal tentang hak asasi manusia. Ketiadaannya mengajarkan tentang keberanian.
Begitulah sosok Munir di mata Abdurrahman Wahid [Gus Dur], dalam sebuah pengantarnya di buku Keberanian Bernama Munir: Mengenal Sisi-Sisi Personal Munir yang ditulis oleh Meicky Shoreamanis Panggabean.
Hari ini, tanggal 8 Desember adalah tanggal yang sakral bagi Munir, sebagai hari kelahirannya — persis di saat situasi negara Indonesia dalam keadaan genting akibat pergolakan politik Soeharto menggulingkan Soekarno.
Seantero dunia mengetahui kasus kematian Munir di udara. Tapi, siapa pelakunya bak ‘misteri yang sengaja ditutupi.’
Maka kematian Munir tidak dilihat secara lahiriah. Jasadnya boleh mati, tapi keberaniannya akan tetap hidup.
Inilah mengapa kata Munir dan keberanian selalu layak disandingkan.
“Sekian tahun lamanya dia mengisi hidup dengan perjuangan menegakkan hak asasi manusia di negeri kita,” kata Gusdur.
“Apapun kata orang tentang dirinya, Munir telah membuktikan bahwa perjuangan menegakkan HAM adalah sesuatu yang mulia.”
Menurut Gus Dur, meski penuh bahaya terus menerus mengintai nyawa, semenjak dia dan kawan-kawan berjuang bersama di KontraS dan Imparsial, Munir ‘tak akan pernah berhenti.’
Hanya saja terdapat perbedaan yang sangat besar antara Munir dan kawan-kawannya, yaitu “kesediaan untuk mengorbankan diri, bagi perjuangan yang diyakininya.”
Soal pengorbanan diri ini, ternyata pernah diungkapkan Munir secara langsung kepada Gus Dur.
Munir menyadari apa yang dia lakukan adalah sebuah tindakan berbahaya dan tidak semua orang bisa menerimanya.
Kesadaran terhadap itu, ternyata tidak membuat nyalinya ciut.
Dia bahkan dengan bangga mengatakan, “Apapun bahaya yang akan dihadapi, saya akan tetap melanjutkan perjuangan.”
“Ini yang tidak setiap orang mampu melakukannya, termasuk saya,” kata Gus Dur. Kalimat itu masih terngiang di telinga Gus Dur saat dia menulis tentang Munir.
“Pada suatu waktu saya bertemu Munir. Dia menyatakan akan menulis desertasinya di Negara Belanda.”
Kepada Gus Dur Munir berkata, bahwa dia akan memaparkan orang yang dia duga otak pelanggaran HAM di Indonesia.
“Waktu itu saya berkata di dalam hati, ‘Jangan Anda lakukan karena akan menimbulkan reaksi sangat besar.’ Tapi saya pikir, tak ada gunanya melarang Munir.”
“Karena itu saya tidak berkata apa-apa, hingga bencana kematian Munir yang sampai kini belum dapat diketahui siapa pelaku aslinya,” ungkap Gus Dur
Pengakuan Gus Dur ditulis setelah tiga tahun kematian Munir, tepatnya pada tahun 2007 sebagaimana tertulis dalam buku tersebut. (bpc2)