BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Menteri Dalam Negeri [Mendagri] Tito Karnavian sebelumnya mengungkapkan bahwa kepala daerah dibodoh-bodohi dengan penyusunan penganggaran di APBD, sehingga membuat realisasinya tak menyentuh kepada masyarakat.
Tito menyebut hal seperti ini terjadi hampir semua daerah di Indonesia, tanpa menyebutkan di mana daerahnya. Namun Menurut pandangan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran [FITRA], hal yang sama juga terjadi dalam pengelolaan anggaran di Pemprov Riau.
“Benar, kami setuju [dengan pernyataan Mendagri], bahwa memang belanja modal [belanja yang menyentuh langsung ke masyarakat] porsinya sangat sedikit sekali di APBD Riau. Apalagi di daerah kabupaten dan kota,” kata Koordinator Fitra Riau Trino Hadi kepada Bertuahpos.com, Rabu, 5 Mei 2021.
Menurut catatan FITRA Riau, memang sebagian besar belanja daerah itu diperuntukkan untuk belanja pegawai, belanja operasi atau belanja penunjang pemerintah saja.
“Termasuk belanja modal misalnya, meskipun secara rasio belanja modal anggap lah di angka 20% dari APBD. Namun jika dibedah lebih detail isi belanja modal justru bukan langsung berdampak ke masyarakat,” tuturnya.
“Seperti belanja gedung kantor, fasilitas kantor, termasuk peralatan kerja lainnya. Sedangkan yang seharusnya porsi besar itu untuk layanan dasar publik seperti jalan, fasilitas pendidikan, kesehatan cenderung kecil,” kata Triono.
Dalam catatan FITRA Riau, terkhusus untuk penganggaran di Pemprov Riau, belanja operasional pegawai cenderung menunjukkan tren peningkatan. Hal ini, menurut Tri, pemerintah harus segera mengantisipasi, sebab dampak terhadap perbaikan perekonomian masyarakat akan berjalan lambat.
“Copy paste tidak lah [penyusunan APBD] tapi yang namanya belanja rutin (operasi) itu pasti ada dan Jumlahnya cenderung meningkat memang setiap tahunnya. Bahkan dalam kondisi apa pun,” kata Triono.
Dalam analisis FITRA Riau yang lebih dulu diterbitkan, catatan pemborosan Pemprov Riau dalam mengelola APBD justru masih terjadi di tengah pandemi Covid-19. Pemprov Riau, kata Triono, masih anggarkan lebih dari Rp26 Miliar untuk seragam, mebel, lemari, pendingin dan meja serta kursi. Itu diluar pengadaan belanja pakaian dinas sebesar Rp9,2 miliar.
Bentuk belanja boros lainnya, menurut FITRA, yakni belanja pengadaan kursi jabatan meja/tamu senilai Rp7 miliar, belanja pengadaan mebel Rp17 miliar, belanja lemari Rp625 juta, belanja alat pendingin Rp3,1 miliar.
Melihat porsi penganggaran seperti ini, dijelaskannya, akan sangat timpang dengan RPJMD Riau terhadap program pembangunan daerah. Malah, justru untuk target pembangunan itu tidak terlihat dalam menunjang target perencanaan di lima tahun Syamsuar-Edy Natar.
Untuk belanja pembangunan jalan dalam APBD 2021 saja Pemprov hanya mengalokasikan sebesar Rp433 Miliar. Sedangkan untuk belanja pembangunan jembatan sebesar Rp40 miliar. Jika dijumlahkan hanya Rp474 miliar. Padahal jika merujuk ke RPJMD, anggaran yang harus disediakan untuk porsi ini sebesa Rp875 miliar.
“Tentunya itu tidak sesuai dengan target yang seharusnya diupayakan di tahun 2021. Harus evaluasi lah benja boros seperti itu,”ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengungkapkan kepala daerah dibodoh-bodohi dalam merealisasikan APBD, sehingga belanja modal atau belanja yang realisasinya sampai ke masyarakat porsinya sangat kecil.
Dia menuturkan, kondisi ini terjadi hampir di semua daerah di Indonesia. Di mana proporsi untuk belanja modalnya sangat kecil.
“Kami sudah keliling ke beberapa daerah. Saya nggak ingin sebutkan, tidak enak. Hampir semua daerah itu proporsi belanja modalnya kecil,” kata Tito dalam video yang tayang di Youtube Bappenas RI, dikutip, Rabu, 5 Mei 2021.
Menurut Tito, anggaran Pemda yang akan dialokasikan mayoritas untuk belanja pegawai. Oleh sebab itu dia mencium adanya modus yang membodoh-bodohi kepala daerah.
“Belanja modal itu belanja yang langsung ke masyarakat baik untuk pendidikan kesehatan dan lain-lain,” ujar Tito.
Dia mencatat sebagian besar anggaran di daerah 70% untuk belanja pegawai, bahkan ada yang sampai 80%. Termasuk di dalamnya belanja operasional yang ujung-ujungnya untuk pegawai juga.
Rata-rata belanja itu hanya untuk membiayai rapat dengan alasan penguatan. “Padahal nantinya untuk bagi-bagi honor kepada peserta rapat,” katanya.
“Termasuk beli barang untuk kepentingan pegawai juga. macam-macam programnya, penguatan ini, penguatan ini. Saya sampai mengatakan kapan kuatnya? Penguatan terus dengan rakor, rakor, rakor isinya honor nantinya,” ucapnya.
“Saya juga sudah cek ke temen-temen kepala daerah, mereka nggak tahu. Main tanda tangan aja, karena diajukan oleh Bappeda, diajukan oleh Sekda, kemudian yang penting, apa yang dititipkan kepala daerah terakomodir, ditandatangani,” ucapnya.
“Ya, itu lah yang terjadi. Jalan-jalan rusak, sampah bertebaran. Karena memang belanja modalnya kecil. Bahkan saya cek ada yang belanja modalnya hanya 12%. Artinya belanja operasionalnya lebih kurang 88%. Nanti yang 12% itu pun, digunakan untuk pegawai, rapat, rapat, rapat lagi, mungkin bisa 3-4% lagi. Jadi yang sampai ke masyarakat hanya 7-8%. Ini menyedihkan,” tuturnya. (bpc2)