BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Arkeolog Universitas Indonesia Ali Akbar mengatakan, ada yang perlu dikoreksi bersama terkait dukungan pemerintah, sejarawan dan penggiat sejarah, terkait kondisi kepurbakalaan di tanah air, termasuk di Riau.
Hal itu, menurutnya dapat dilihat dari apa yang terjadi pada Candi Muara Takus pada masa lalu. Dimana dukungan-dukungan dari pihak tersebut dianggap masih sangat lemah.
“Ya itu memang kekurangan kita di Indonesia, kampus yang memfasilitasi jurusan arkeologi hanya ada enam, artinya arkeolog di Indonesia langka!,” katanya saat dihubungi Bertuahpos.com via seluler, akhir September 2020 lalu.
Ali Akbar pernah menerima anugerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sebagai peneliti muda terbaik pada 2006 lalu. Dia membandingkan tentang pengelolaan cagar budaya di Eropa dengan di Indonesia. Pada tahun 2017, dia berhasil mendapat beasiswa Habibie Center.
Menurutnya, kondisi ini harusnya menjadi koreksi bersama bahwa itu merupakan kelemahan Indonesia, jika dibandingkan dengan negara lainnya, dalam hal menjaga cagar budaya.
Selain itu, jika dilihat dari dukungan akademisi juga minim. Bisa dilihat hanya beberapa kampus di Tanah Air yang menyediakan jurusan-jurusan terkait arkeologi, sehingga kondisi kepurbakalaan di Tanah Air tidak mendapat perhatian serius.
Secara geografis, di Indonesia hanya menyediakan jurusan arkeologi. Tiga di Jawa (UI, UGM, dan Universitas Udayana), dua di Sulawesi (Unhas, Universitas Halu Uleo), dan satu di Sumatera (Universitas Jambi). Namun semuanya masih PTN.
“Padahal Indonesia punya banyak situs bersejarah,” tambah lelaki yang pernah meneliti Muara Takus 10 tahun lalu ini.
“Nggak usah jauh-jauh, atau yang deket aja, Malaysia. Mereka ‘jualan’ budaya. Padahal budaya di Indonesia lebih banyak dan bervariasi,” sambungnya.
Orang Eropa sejatinya sangat mengagumi bangunan tua. Sebenarnya situs di Eropa monoton. Keragaman budaya di Tanah Air dalam bentuk bangunan jauh lebih kaya di Indonesia.
“Tapi mereka berhasil menjual budayanya, menjadi daya tarik dan memutar roda ekonomi,” ungkapnya.
Dia menambahkan, hal itu memang terkait erat dengan keberadaan lembaga dan infrastruktur terkait. Seperti posisi dan keberadaan balai kepurbakalaan daerah.
Pada saat, Ali Akbar melakukan penelitian di Riau tentang Candi Muara Takus, misalnya, kantor terkait arkeologi tidak ada di provinsi tersebut, tetapi ada di provinsi lain. “Semoga ke depan akan ada kantor terkait arkeologi dan pelestarian cagar budaya di tiap provinsi,” sambungnya.
Oleh sebab itu, menurutnya, perlu penambahan jurusan arkeologi di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, termasuk juga di Riau. (bpc5)