BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Sidang perkara korupsi dana rutin Bappeda Siak tahun 2014-2017 dengan terdakwa Yan Prana Jaya, kembali digelar di Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Senin 24 Mei 2021.
Jika sebelumnya ada saksi yang membantah bukti yang diajukan jaksa, kali ini giliran saksi membantah dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
Sesuai jadwal, Jaksa Penuntut Umum Muhammad Zulkifli SH MH cs, menghadirkan 6 orang saksi ke hadapan majelis hakim yang diketuai Lilin Herlina SH MH.
Saksi tersebut di antaranya, Erita, Kasubag Umum dan Kepegawaian Bappeda Siak, Defri Susanto, PNS Bagian Penyimpanan Barang pada Bagian Umum Bappeda Siak, Rike Edriani dan Nurma Nelli, masing-masing honorer di Bappeda Siak.
Kepada majelis hakim, saksi Erita membantah dakwaan Jaksa Penuntut Umum hal 171 yang dibacakan Penasehat Hukum Terdakwa yang berbunyi, “Atas arahan terdakwa pula, Donna Fitria, terhadap pengadaan alat tulis kantor, meminta Erita menyiapkan dokumen”.
“Saya tidak pernah menyiapkan pertanggungjawaban atas permintaan Donna Fitria,” ujar saksi Erita, tegas di hadapan majelis hakim.
Lebih lanjut kepada majelis hakim, saksi Erita menjelaskan, bahwa dirinya menjabat Kabag Umum dan Kepegawaian dari tahun 2013 sampai sekarang.
Dikatakannya, permintaan alat tulis kantor oleh seluruh bidang di Bappeda melalui saksi. Namun soal makan minum dan perjalanan dinas tidak.
ATK lanjutnya didapat di Toko Zidan, karena merupakan toko besar dan terlengkap yang bisa menyiapkan semua kebutuhan kantor. Saksi yang pesan langsung sesuai dengan permintaan dan kebutuhan.
Sementara pembayarannya menggunakan sistem hutang atau bon. Dibayar oleh saksi setelah uang tersedia di bendahara dan saksi telah menyiapkan semua kelengkapan SPJ.
Pembayaran lanjutnya, sesuai pesanan sudah terisi dan waktu pembayaran diserahkan lagi kwitansi kosong disesuaikan dengan SPJ.. Hal ini menurutnya karena ada item barang yang tidak sesuai.
“Ada barang yang tidak ada di toko dan harus dibeli dari luar. Kemudian ada barang yang dibutuhkan namun tidak ada dalam DPA seperti perbaikan komputer dan printer. Makanya disesuaikan dengan DPA,” ujarnya.
Dari sana lanjutnya ada kelebihan dana. Sejak tahun 2014-2017 menurut saksi ada sekitar Rp300 juta lebih selisih yang diserahkan ke terdakwa Yan Prana Jaya.
Atas pernyataan saksi ini, Al Hendri Tanjung SH, Penasehat Hukum terdakwa Yan Prana Jaya mempertanyakan, apakah ada tanda terima uang tersebut? dijawab saksi tidak ada. Apakah ada saksi yang melihat penyerahan tersebut, lalu dikatakan saksi tidak ada.
Lebih lanjut Al Hendri Tanjung, Penasehat Hukum terdakwa menanyakan mengapa sampai ada uang sisa di tangan saksi Erita, sementara saksi Erita bukan seorang bendahara.
“Ini aneh, saksi bukan bendahara, kok ada uang lebih sama saudara,” ujar Al Hendri Tanjung.
Saksi Erita menjawab, karena saksi membuat laporan pembelian alat menyesuaikan dengan DPA. Al Hendri melanjutkan pertanyaan apakah ada perintah dari terdakwa, saksi Erita mengatakan tidak ada.
Sementara terkait adanya pemotongan perjalanan dinas, saksi Erita dan saksi Defri Susanto, mengakui adanya pemotongan 10 persen.
Dana tersebut merupakan dana pribadi mereka yang dipakai terlebih dulu untuk melaksanakan perjalanan dinas, baru kemudian dibayar setelah uang di bendahara ada.
Atas pemotongan ini kedua saksi mengaku keberatan. Namun ketika ditanya Penasehat Hukum terdakwa apakah keberatan tersebut disampaikan kepada terdakwa pada saat itu, baik secara tertulis maupun lisan, kedua saksi mengatakan tidak ada.
Ketika ditanya Penasehat Hukum Terdakwa apakah ketika bendahara memotong 10 persen perjalanan dinas tersebut, kedua saksi ada di marah-marahi atau dipaksa ketika memotong 10 persen, kedua saksi mengatakan tidak ada
Sementara saksi Nurma Nelli dan Rieke mengaku tidak ada melakukan perjalanan dinas karena hanya merupakan pegawai honor. Keduanya hanya dimintai bantuan oleh saksi Erita untuk menginput data. (bpc17)