“Obat Covid-19 itu memang tak ada. Tapi bukan berarti kita harus melewati masa – masa sulit itu dengan penuh kecemasan. Kami percaya selalu bahagia akan memudahkan semuanya.”
BERTUAHPOS.COM, PAYAKUMBUH — Tak pernah pernah terbayangkan sedikitpun di Bedak Humaira (28), kalau dia, suami dan seorang anaknya yang masih berusia balita terserang virus corona (Covid-19). Padahal protokol kesehatan sudah dijalankan secara ketat.
Umai, begitu dia disapa, adalah warga yang berdomisili di Kota Payakumbuh, Sumatera Barat. Dia seorang ibu rumah tangga yang mengurus 1 anak dan suami. Sedangkan sang suami adalah karyawan swasta yang memiliki jam kerja teratur. Sedangkan anak perempuannya, masih berusia 2,5 tahun.
Pagi itu, sekitar pukul 05.30 pagi, ponsel Umai tergeletak di atas meja kamar berdering karena ada panggilan masuk. Degan tubuh lemas karena masih mengantuk, tangannya berusaha menggapai ponsel itu.
“Saya lihat nama kontraknya, itu panggilan dari Papa. Ya langsung saya angkat,” tuturnya memulai cerita.
“Umai, batuknya gimana?”
“Masih, Pa,” jawabnya.
“Makin parah atau gimana? tanya Ayahnya.
“Ya masih kayak kemarin. Kenapa, Pa?
“Nanti langsung cari obat ya. Kondisi anak sama suami gimana?”
“Nggak apa-apa. Mereka biasa – biasa aja. Papa kenapa?.”
“Tadi malam papa demam panas tinggi. Menjelang subuh dada sesak. Setiap persendian rasanya sakit. Tadi setelah shalat subuh, papa kaget, penciuman sama perasa hilang,” ujar Ayahnya menjelaskan.
Seketika itu pula Umai tersentak. Dibenaknya sudah sangat yakin kalau ayah kandungnya terpapar covid-19. Sedangkan, dia dan ayahnya terakhir kali berkontak kerat, kemarin. Saat tahu sang Ayah demam, dia bersama anaknya yang masih berusia 2,5 tahun mengunjungi kediaman ayahnya yang tak jauh dari tempat tinggal mereka.
Sejak saat itu, mereka terus melakukan komunikasi via HP. Sang ayah yang merasa dirinya terpapar covid-19 meminta kepada keluarga yang lain agar diizinkan di rawat di rumah sakit. Beberapa dari anak mereka awalnya tidak mengizinkan, termasuk sang Istri.
Namun menimbang bakal terjadi kontak yang lebih kuat, baik dengan tetangga atau kerabat, pihak keluarga mengizinkan agar ayahnya dirawat intensif di rumah sakit setelah hasil PCR menyatakan hasil positif corona.
“Hari itu juga saya langsung melakukan swab antigen. Suami dan anak diungsikan sementara menjelang hasil swab keluar. Sekitar 2 jam setelah itu. Hasil swab menyatakan saya negatif Civid-19,” ucapnya bercerita.
Akhirnya, Umai, suami dan seorang anaknya kembali berkumpul di satu rumah. Namun semakin hari batuk yang diderita Umai juga tak kunjung berhenti.
“Pas di hari keempat, kalau nggak saya, ya hari keempat, penciuman dan perasa saya menghilang. Akhirnya kami sekeluarga memutuskan untuk swab PCR tracing dari Papa, dan hasilnya semua positif covid-19,” ungkapnya.
“Sejak awal, ya sudah pasrah aja, kalaupun si kecil juga positif. Ya mau diapain lagi coba. Akhirnya, kami semua menjalani isolasi mandiri di rumah sampai masa inkubasinya habis dan dinyatakan sembuh.”
Menurut cerita Umai, hasil swab yang menyatakan dirinya dan keluarganya positif corona pada pertengahan April 2021. Awal menjalani isolasi memang stres cukup memuncak.
Dia khawatir dengan kondisi Ayahnya yang dirawat di rumah sakit, termasuk mengkhawatirkan kondisi ibunya yang menjadi kontak erat sang ayah.
Sedangkan Umai sekeluarga, mengurung diri di rumah, dan lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Durasi hilang penciuman dan perasa, kata Umai, sekitar 3 hari. Namun di hari ke 5 sang suami yang mengeluh kehilangan penciuman dan perasa.
“Sejak itu kami juga semakin yakin kalau kami semua positif. Tapi kalau anak, alhamdulillah tak ada keluhan. Dia tidak demam, batuk juga tidak, hanya saja, selama masa isolasi mendiri itu ada 2 hari anak saya bahwaanya lemas dan nggak mau makan. Tapi setelah itu normal kembali,” ujarnya.
Selama menjalani masa isolasi mandiri, Umai dan keluarga lebih banyak menghabiskan waktu dengan menciptakan suasana senyaman mungkin di rumah.
“Supaya nggak kepikiran yang aneh – aneh. Kadang – kadang kan ingat Papa di rumah sakit, rasa sedih muncul. Dalam kondisi kayak gitu takutnya imun turun. Makanya di rumah buah senyaman mungkin,” terangnya.
“Anak dibebasin dia mau main apa aja, yang penting dia senang. Suami saya juga lebih banyak menghabiskan waktu dengan hobinya menonton film – film layar lebar. Saya kan suka makan, jadinya selama isolasi ya pesan aja apa yang selera,” ujarnya sambil tertawa.
Setelah melewati waktu yang panjang, kata Umai, ada banyak pelajaran yang dapat diambil dari apa yang mereka alami. Terutama soal protokol kesehatan.
Umai termasuk ibu yang cukup ketat soal disiplin. Sejak wabah ini melanda, di rumahnya selalu tersedia masker media, dan tidak pernah menggunakan masker kain, kecuali untuk anaknya yang masih balita.
Di depan rumah, disediakan tempat cuci tangan lengkap dengan sabun. Setiap tamu yang berkunjung memang diminta untuk mencuci tangan sebelum melakukan kontak.
Selain itu, di kamar, dia selalu menyediakan handsanitizer, dan setiap habis berkegiatan, apalagi aktivitas menyentuh mulut mereka wajib menyemprotkan hand sanitizer. Dan sang suami, saat pulang kerja harus mandi bersih terlebih dahulu, baru beraktivitas atau berkontak dengan keluarga.
“Rasanya sudah seketat itu menjaga protokol kesehatan, dan agak paranoid dengan tamu – tamu yang datang. Eh, covid-19 malah datang dari keluarga sendiri. Saya dan keluarga tidak pernah menyesali apa yang terjadi. Tapi, apa yang kami alami sudah cukup membuktikan bahwa wabah ini benar adanya. Beruntung, kami semua tidak kenapa – napa. Di luar sana, ada banyak orang kehilangan anggota keluarga mereka akibat covid-19. Dari situ kami menyadari bahwa kami masih diberi kesempatan untuk memperbaiki diri,” tuturnya. (bpc19)