BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Riau menilai mencuatnya kasus gratifikasi fee asuransi pimpinan cabang PT. Bank Riau Kepri mengindikasikan pola manajerial yang tidak sehat di tubuh BUMD tersebut.
“Kalau kita lihat dari praktik – praktik yang dilakukan, memang ini bentuknya pidana. Dari kasus yang ada saya cenderung melihatnya ini suap sih,” kata Koordinator Fitra Riau Trono Hadi, saat dihubungi Bertuahpos.com belum lama ini.
Dia menambahkan, dari data – data yang diterima ada 2 asumsi yang mungkin terjadi, sehingga kasus penerimaan fee asuransi ini bisa berjalan mulus cukup lama dan baru tersentuh hukum saat ini.
Asumsi pertama, gratifikasi fee asuransi oleh Pimpinan Cabang PT. Bank Riau Kepri mungkin akan terjadi ketika tidak ada keterlibatan direksi. Dengan kata lain setiap pimpinan cabang diberi kewenangan sendiri kepada siapa yang akan mendapatkan fasilitas asuransi kredit tersebut.
“Tapi kalau asumsi ini yang kita pakai, rasanya nggak mungkin. Kalau memang direksi memberikan kewenangan seperti itu ke pimpinan cabang, kacau sekali manajemen Bank Riau Kepri,” tuturnya.
Asumsi kedua, kata Triono, pihak asuransinya yang belum ditetapkan mana kira – kira preminya yang akan dibayarkan dengan beberapa metode fasilitas yang tersedia di Bank Riau Kepri berdasarkan masing – masing jenis kredit (ada kredit aneka guna, KPR, Kredit konsumer, dan kredit usaha).
Baca Juga Berita Terkait Kasus Fee Asuransi di Bank Riau kepri:
Terima Gratifikasi, Pimpinan Cabang Bank Riau Kepri Diadili
Terkait Dugaan Gratifikasi Fee Asuransi Puluhan Pejabat Bank Riau Kepri, Ini Kata OJK Riau
Dirut Bank Riau Kepri Bungkam Soal Puluhan Oknum Pimpinan Diduga Terima Gratifikasi Fee Asuransi
Dr Trubus Rahardiansyah: Tahan Semua yang Terlibat Gratifikasi di Bank Riau Kepri
Curi Uang Nasabah, Bank Riau Kepri Hanya Memecat Secara Tak Hormat
Premi Asuransi Pinjaman Kredit di Bank Riau Kepri Berbeda – Beda
Namun, jika pola ini yang dipakai, harusnya tak ada pembagian fee ke pimpinan cabang. “Artinya bodoh sekali broker kalau mau ngasih fee ke pimpinan cabang sedangkan keuntungan yang mereka dapat sudah jelas. Masa mau ujuk – ujuk ngasih sebagian keuntungan mereka. Lagi pula kalau ada permainan di Pimpinan Cabangnya yang minta, kan bisa dilaporkan ke direksi di kantor pusat,” sambungnya.
Namun, menurut Triono, kedua asumsi tersebut memang masih belum bisa menjawab kemungkinan – kemungkinan mengapa kasus ini terjadi, dan terbiarkan dalam waktu yang lama hingga mencuat ke ranah hukum. “Nah, 2 model ini sebenarnya tidak bisa dipakai. Artinya bodoh sekali kalau direksi hingga komisaris menyetujui 2 model seperti ini,” sambungnya.
Oleh sebab itu, menurut penilaian Triono, terhadap dugaan kasus gratifikasi fee asuransi Pimpinan Cabang di PT. Bank Riau Kepri dilakukan secara terukur, sistematis dan masif. Salah satu indikator yang bisa dilihat, pertama, dari sisi waktu yang ternata pola permainan seperti ini sudah berlangsung cukup lama. Indikator lainnya, jumlah dana yang bergulir tidak sedikit bahkan hingga miliaran rupiah.
“Artinya nggak mungkin kalau direksi kantor pusat Bank Riau Kepri nggak tahu ada permainan seperti ini. Aneh pasti kalau direksi nggak tahu. Kecuali kalau polanya seperti kedua asumsi yang saya sampaikan tadi,” tuturnya.
Dia menduga bahwa apa yang terjadi di perbankan plat merah saat ini tidak lepas dari campur tangan para direksi di Bank Riau Kepri Pusat.
“Sederhananya begini lah, di Bank Riau Kepri itukan ada pengawas, ada komisaris yang bertugas untuk mengontrol dan pengendalian, termasuk lah pada sistem kredit, kan mereka punya. Mustahil kalau BRK nggak punya kan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, penilaian Triono, jika pihak rekanan berani mengeluarkan 10% dari keuntungan mereka, maka potensi keuntungan yang didapat tentulah sangat besar. Logika ini, menurutnya, hanyalah logika awam dalam bisnis. “Mana ada orang berbisnis mau rugi, begitu lah gampangnya. Dan mana mungkin mereka mau memberikan kredit kepada debitur yang tidak kompetitif, karena berbicara seberapa besar keuntungan yang didapatkan,” sebutnya.
“Saya menyarankan, kasus ini perlu didalami lagi sampai ke tarif preminya, antara masing masing rekanan, sebagai bahan perbandingan. Dari kasus ini saja sebenarnya, gampang penegak hukum untuk jerat direksinya,” tuturnya.
Kinerja Buruk Bank Riau Kepri
Fitra Riau, kata Triono Hadi, sejak lama sudah melihat ada persoalan besar di internal Bank Riau Kepri. Hal itu dapat dilihat dari kinerja – kinerja buruk dari track record sebelum – sebelumnya. Mulai dari kasus kredit fiktif, pembobolan uang nasabah — yang bahkan juga dilakukan oleh pimpinan cabang — hingga kasus fee asuransi yang kini sudah masuk ke ranah hukum.
Dia menambahkan, Fitra juga pernah melakukan analisis terkait pengelolaan dana di PT. Bank Riau Kepri pada tahun 2018 – 2019, yang mana pengelolaan dana operasional membengkak ketimbang laba bersih yang didapat.
“Jadi hasil analisa kita pada tahun 2018 – 2019, Bank Riau itu ada penambahan pemasukan income, tapi justru terjadi penurunan laba bersihnya (termasuk dividen). Ternyata memang masalahnya ada di pembengkakan dana operasional yang terlalu besar,” tuturnya.
“Nah, kalau kita amati dari kasus fee asuransi ini, ya, masyarakat umum juga bisa menyimpulkan bahwa manajemen BRK itu lebih mengutamakan keuntungan pribadi ketimbang keuntungan bank-nya. Kalau pimpinan cabangnya aja dapat 10%, apalgi direksinya, dugaanya begitu,” kata Triono Hadi.
“Kalau memang mereka berfikir kerjanya untuk umat, meningkatkan pendapatan perbankan, harusnya menetapkan kerjasama terkait asuransi itu murni untuk pendapatn bank, bukan untuk pendapatan pribadi. Harusnya fee 10% yang dibagikan ke Pimpinan Cabang itu menjadi pendapatan bank, bisa dipakai untuk meringankan beban nasabah, kan, dengan demikian kepercayaan masyarakat kepada BRK semakin meningkat. Kalau seperti ini kondisinya, luar biasa buruk kinerja BRK,” ucapnya. (tim)