Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kekuasaan) kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
— QS. Al Isra: 1 —
Sebagai salah satu momen penting dalam kalender Islam, peristiwa Isra Mi’raj tak hentinya mengisi ruang imajinasi dan relung hati umat dengan berbagai kisah dan pelajaran berharga. Bila diurai seolah tak ada habisnya. Mulai pergolakan dakwah, risalah kenabian, pembuktian kebenaran Islam, dan nilai-lain bermanfaat lain bagi kehidupan manusia masa ke masa. Dari perspektif keagamaan sudah jelas, sholat lima waktu mulai disyariatkan saat peristiwa Isra Mi’raj. Begitu juga pelajaran lain mengasah keimanan akan janji Allah SWT, berupa ditampakan surga dan neraka ke Rasulullah. Adapun di luar konteks transendental, Isra Mi’raj juga memberi pondasi berpikir. Walau perjalanan Nabi mukjizat, namun berbekal ilmu manusia bisa merasakan pengalaman menakjubkan yang dulu disangsikan. Tatkala Nabi ditertawakan karena mengaku melakukan perjalanan dari Mekah ke Masjidil Aqsa hanya dalam satu malam secara utuh: jasad beserta ruh. Lalu seiring teknologi memproduksi pesawat terbang, kini kalau ada orang bilang mustahil Indonesia ke Eropa ditempuh dalam satu malam malah ditertawakan.
Berangkat dari hal di atas, dapat disimpulkan semua versi dan perspektif penuturan kisah Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW penuh narasi besar. Teruntuk kehidupan umat Islam khususnya dan peradaban manusia umumnya. Itulah kenapa Isra Mi’raj punya kedudukan istimewa dalam catatan sejarah dunia. Bagi umat muslim perlakuan istimewa tampak dari bagaimana kita memperingatinya. Apakah melalui acara lazim digelar, juga pengayaan kembali khazanah dan wawasan yang dapat menyegarkan cara berpikir dan memandang kehidupan. Tujuannya supaya Islam berdaya guna dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara. Apalagi himpitan persoalan kehidupan dewasa ini bisa mengikis optimisme dan semangat memperbaiki keadaan. Ditambah fenomena orang berkata benar dicap radikal, menebar kebencian dan diintimidasi atau dibully. Melakukan perbaikan dimusuhi dan tak dianggap, sementara pihak yang menggerogoti nilai normatif terdapat dalam agama dan Pancasila justru dibela dan dibenarkan. Di ranah publik, kebijakan dibuat bukan untuk menenangkan dan memenangkan rakyat. Malah ditunggangi dan dimanfaatkan untuk kepentingan segelintir kelompok sampai rela mengebiri hak rakyat. Tentu saja semua tadi bukan pertanda baik. Apabila dibiarkan bangsa bak menggali lubang kuburannya sendiri.
Penghambaan
Ayat pertama dari surat Al Isra’ disampaikan pada awal tulisan kunci untuk merekonstruksi cara berpikir. Barangkali pernah terlintas dalam pikiran, jika Isra Mi’raj hanya untuk menurunkan perintah shalat 5 waktu, kenapa Allah SWT tak langsung menurunkan perintah tersebut serupa wahyu ayat Al Qur’an turun? Kenapa Nabi harus menempuh perjalanan lebih dulu? Disamping kehendak Sang Pencipta, ada poin penting yang hendak Allah SWT beritahu. Selain perintah shalat, peristiwa Isra Mi’raj cara progresif Tuhan mengajar manusia selaku hamba. Paling sederhana kembali menyoal menempuh jarak jauh dalam waktu singkat, jauh sebelum teknologi hadirkan pesawat terbang, Nabi sudah melakukan terlebih dahulu. Itu hal paling simpel.
Paling fundamental tentu penghambaan. Ketika kita inginkan kehidupan lebih baik, mesti paham bagaimana konsep penghambaan bekerja. Bila seseorang bersungguh-sungguh menghambakan diri kepada Allah SWT, pertolongan datang. Isra Mi’raj cara Allah SWT menghibur Nabi paska didera berbagai cobaan dan kesusahan bertubi-tubi yang menguras jiwa. Mulai cobaan menyampaikan kebenaran Islam, meninggalnya sang istri tercinta disusul kehilangan paman beliau Abu Thalib. Dengan Isra Mi’raj Nabi dimuliakan dan mengangkat beliau ke level lebih tinggi, meski tak lantas mengakhiri cobaan. Paska Isra Mi’raj, pengakuan Nabi dicemooh oleh kalangan yang mengingkari. Fase tersebut sekaligus memisahkan mana pengikut beliau yang beriman dan yang bukan. Bedanya, secara kejiwaan Nabi lebih siap dan mantap menghadapi keraguan dan ancaman berbagai kalangan.
Hal sama bisa kita raih manakala konsep penghambaan total diterapkan dalam kehidupan. Sehingga tak gentar apapun tantangan serta tak ragu suarakan kebenaran dan perbaikan. Indonesia tidak kekurangan orang baik dan pintar. Tapi sayangnya pelaku kebatilan jauh lebih berani unjuk gigi walau jumlah tak seberapa. Sedangkan orang baik banyak memilih berdiam diri sekedar hindari konflik atau khawatir hal lain. Diamnya kebaikan di saat merajalelanya penyimpangan jelas mengundang bencana. Apapun itu bentuknya. Entah lingkup sosial hingga urusan lain. Termasuk dalam konteks bencana alam, dimana Al Qur’an menyebutkan bahwa kerusakan berawal dari dosa manusia. Namun tak sedikit kita temukan cemoohan ke orang yang berkata begitu. Padahal pernyataan tadi benar. Dosa dimaksud selain hubungan kepada Tuhan juga berbentuk pengabaian terhadap aspek alam dan lingkungan. Mulai individu masyarakat abai dan tak peduli kerusakan lingkungan hingga kelalaian Negara berakibat eksploitasi alam ugal-ugalan atau kebijakan malah pro oligarki.
Sunatullah
Jalan menuju penghambaan diri selalu akan menapaki kerikil tajam. Diantaranya upaya mendiskreditkan orang mendalami Islam lewat sebutan radikal, ajaran agama dianggap tak relevan, kaku dan keras. Sehingga perlu “dimoderasi” melalui istilah “moderasi beragama”. Adapun substansi sama saja dengan ide lama yang coba menimbulkan keraguan terhadap ajaran Islam sebagai pedoman kehidupan. Padahal sejarah membuktikan Baghdad dan Turki Utsmani kiblat ilmu pengetahuan di masanya dalam rentang waktu sangat lama. Berbanding terbalik, Eropa di masa itu jauh dari standar peradaban dan serba ketinggalan. Bahkan mengalami fase kritis kemanusiaan dan wabah akibat rendahnya pengetahuan dan kesadaran akan kebersihan serta buruknya pengelolaan pembangunan dan sanitasi .
Idealnya, ketika seorang muslim mendalami agama sesuai diajarkan Nabi, niscaya kebaikan akan dirasakan dalam kehidupan pribadi dan interaksi ke lingkungan sekitar. Aspek vertikal dan horizontal inilah esensi penghambaan dibalik peristiwa Isra Mi’raj. Shalat bukan semata perkara ibadah. Shalat berorientasi praktik, menciptakan salam kepada manusia. Bukankah di surat Al Ankabut ayat 45 Allah SWT berfirman: “dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat mencegah perbuatan keji dan munkar.” Nabi juga berkata “barangsiapa shalatnya tidak dapat mencegah perbuatan keji dan munkar maka baginya semakin jauh dari Allah SWT” (HR. Ali Ibnu Ma’bad). Jadi seharusnya apabila ada orang shalat rajin tapi belum mengena ke perilaku maka paling pantas dipertanyakan orangnya, bukan meragukan ajaran agama. Logikanya harus diluruskan.
Penghambaan total menuntut nilai dan ajaran Islam harus dihadirkan dalam setiap dimensi kehidupan (syumuliyatul Islam). Sosial, ekonomi, politik, budaya dan dimensi lain menjadi instrumen mewujudkan penghambaan diri. Bagaimana mungkin seorang muslim dikatakan shaleh jika di saat ia punya kemampuan, anggaplah menguasai perekonomian, namun tak dilakukan. Padahal kekayaan hanya akan dapat bermanfaat luas bila ada di tangan orang baik. Sebaliknya harta memicu bencana apabila di tangan pelaku curang. Lihat saja cerita naiknya harganya minyak goreng yang menyusahkan rakyat seantero negeri, terungkap dugaan praktik kartel melibatkan pelaku usaha dan perusahaan kakap. Begitupula dimensi lain tersaji peluang kebaikan. Menekankan kembali, pastinya menegakan sumuliyatul Islam bakal menghadapi banyak penghadang. Itu sudah sunatullah. Disinilah ujian sesungguhnya. Sebagaimana sabda Rasulullah, perubahan ke arah baik hanya akan tercapai apabila kita mengiringi perbuatan buruk (destruktif) dengan perbuatan baik (konstruktif).***
Penulis adalah pendiri Yayasan Qolbu Reengeneering, saat ini aktif sebagai anggota DPRD Provinsi Riau. (Seluruh isi dalam materi ini merupakan tanggung jawab penulis).