PEKANBARU — Katimin (45) sudah tak tahu harus mengadu ke mana. Tingginya harga pupuk saat ini membuat kebun sawitnya hanya dipupuk seadanya.
Kondisi ini membuatnya dan teman-teman petani sawit lain di Kabupaten Siak didera rasa khawatiran, sebab hasil produksi tandan buah segar atau TBS dari kebun sawit mereka akan turun drastis di tahun depan.
Hal ini disampaikan oleh petani sawit dari Kabupaten Siak ini, saat berbincang dengan Bertuahpos.com via seluler, Jumat, 12 Agustus 2022. “Teman-teman saya yang lain bahkan tak bisa memupuk kebun sawitnya,” katanya.
Jika dibandingkan dengan harga normal, pupuk sawit sudah naik hingga 300%. Katimin berkata, terakhir sebelum terjadi kenaikan signifikan, dia dan para petani lain masih membeli pupuk di harga Rp270.000-an per karungnya. Namun sekarang, harga pupuk sudah di Rp980.000-an, bahkan ada di harga Rp1.000.000 lebih.
Untuk 1 kavling kebun sawit atau luas kebun 2 hektare, setidaknya membutuhkan 10 sak pupuk KCL. Sedangkan hasil panen 1 ton TBS kelapa sawit, hanya cukup untuk beli 2 sak pupuk. “Jauh kali memang (selisihnya),” tuturnya.
“Teman-teman saya sekarang sudah banyak tidak memupuk kebun sawit mereka. Mereka sudah sangat terbebani dengan setoran bank dan kebutuhan sehari-hari. Mereka juga punya anak yang sekolah bahkan ada yang kuliah. Semua itu harus ditutupi dengan hasil jual TBS. Jadi mereka memilih untuk tidak memupuk kebun sawit. ” tuturnya.
Katimin menjelaskan, dalam mekanismenya pemupukan, hasilnya baru akan bisa dirasakan di tahun depan. Misal, dilakukan pemupukan pada Agustus 2022, maka untuk melihat hasil TBS kualitas bagus itu baru akan didapat pada Agustus 2023 mendatang.
Oleh sebab itu, kata dia, jika harga pupuk terus naik, petani memilih tidak memupuk kebun sawit mereka, maka pada tahun depan akan terjadi penurunan jumlah produksi TBS kelapa sawit hingga 40%. Hal ini berdasarkan hasil analisa yang mereka lakukan secara berkelompok.
Selama ini, Katimin dan kelompoknya mendapatkan pupuk dari distributor resmi dengan mengikuti mekanisme dan ketentuan aturan berlaku. Sedangkan untuk proses pemupukan, dilakukan per 2 bulan sekali.
Namun, pola dan siklus pemupukan itu kini sudah tak menentu. Selain harga pupuk yang naik hingga 3 kali lipat, ketersediaannya di pasaran juga sangat langka. Dengan demikian, pengaplikasian pemupukan kebun sawit secara benar, tak lagi bisa diterapkan di kebun mereka. Dengan kata lain, rotasi pemupukan sudah tak menentu.
BACA: Kirim Surat ke Mentan, Gubri Sebut Petani Sawit Terbebani dengan Harga Pupuk Tinggi
“Jadi, ya seadanya saja lah. Kalau ada, dipupuk, kalau tak ada, ya nggak dipupuk. Jujur, saya dan kawan-kawan petani sawit lain di Siak sangat kebingungan, bagaimana caranya menyiasatinya,” ujar Katimin.
Kontras dengan Kontribusi Sawit Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Riau
Apa yang dialami oleh petani sawit di Riau saat ini, tentu bertolak belakang dengan kontribusi sektor kelapa sawit terhadap pertumbuhan ekonomi Riau.
Jika kita lihat pada triwulan II tahun 2022, Pemprov Riau mencatat ekonomi Riau tumbuh sebesar 4,88%. Adapun sektor tertinggi ditopang oleh industri pengolahan yang didominasi oleh komoditi turunan dari kelapa sawit yang tumbuh sebesar 26,19%.
“Hal ini menandakan bahwa komoditi unggulan Riau di sektor perkebunan—kelapa sawit—menjadi penopang utama dalam pertumbuhan ekonomi Riau saat ini. Dapat juga kita lihat bahwa aktivitas masyarakat di Riau sudah normal kembali,” kata Gubernur Riau Syamsuar, Rabu, 10 Agustus 2022 di Pekanbaru.
Selain ditopang dari sektor industri pengolahan—didominasi oleh turunan kelapa sawit—pertumbuhan ekonomi Riau juga didorong dari sektor pertambangan dan penggalian sebesar 24,4%.
Lalu sektor pertanian, kehutanan dan perikanan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Riau sebesar 24,34%. Menurut Syamsuar, diterbitkannya Pergub Nomor: 5 Tahun 2021 tentang Penetapan Harga TBS merupakan sebuah upaya untuk menjaga harga sawit masyarakat tetap stabil.
“Tugas kita menjaga bagaimana harga TBS kelapa sawit ini tidak turun lagi dengan Pergub ini, dan aturan ini mendapat dukungan dari provinsi lain di Sumatera,” tuturnya.
Syamsuar menambahkan, pihaknya juga sudah meminta kepada pusat untuk mengeluarkan regulasi terkait pemerataan hilirisasi sumber daya alam (SDA) berbasis komoditi unggulan Sumatera (sawit).
Selain itu, kata dia, juga diminta agar pusat membentuk semacam pusat informasi komoditi pertanian dalam arti luas sebagai pusat informasi pemasaran, “…yang itu khusus di Sumatera,” sebutnya.***