BERTUAHPOS.COM — Para nelayan di Kabupaten Rokan Hilir (Rohil), Riau, saat ini menghadapkan dengan situasi ekonomi yang semakin terjepit. Harga ikan hasil tangkapan mereka turun drastis, dari sebelumnya Rp25.000 per kilogram kini hanya Rp15.000 jika dijual ke tengkulak.
Tak hanya itu, sistem pembayaran yang diberlakukan kadang-kadang bikin miris. Pengepul hanya memberikan jaminan kertas bon. Bukan uang tunai. Hal ini diakui oleh Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Rohil, Rivi Chandra, kepada Bertuahpos, beberapa waktu lalu.
Tentu, kondisi ini sangat memberatkan para nelayan di daerah itu. “Kalau dapat uang cash, alhamdulillah. Tapi malah kadang-kadang tengkulaknya berhutang ke nelayan.”
“Nelayan hanya terima bon, dulu. Kalau ikan sudah laku, baru dibayarkan. Besoknya mereka (nelayan) mau melaut jadi bingung karena tidak punya modal untuk operasional,” kata Rivi.
Layaknya nelayan pada umumnya, mereka berharap besar dengan hasil tangkapan, bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk membayar pekerja.
Namun karena sistem bon dari tengkulak ini, membuat nelayan terpaksa berhutang, agar bisa kembali melaut. “Ini jadi lingkaran masalah. Nelayan kerja keras, tapi hasilnya tidak langsung bisa dinikmati,” ungkapnya.
“Kita (nelayan) sudah seharusnya bersikap. HNSI akan berupaya menjadi jembatan dan memperjuangkan agar kondisi ini tidak terus berlarut-larut. Kami juga tak mau, setelah bekerja, anggota kami justru tidak bisa makan,” tegas Rivi.
Sementara itu, persoalan lain yang dihadapi oleh para nelayan di Rohil, adalah potensi konflik antarnelayan akibat penggunaan alat tangkap yang merusak.

Rivi menyebut, selama ini nelayan tradisional di Rohil sudah lama meminta pemerintah mengevaluasi penggunaan alat tangkap seperti trawl, yang daya rusaknya terhadap habitat laut sangat tinggi.
“Kenapa alat seperti itu bisa diberi izin? Sementara kami nelayan lokal hanya memakai alat tangkap tradisional. Bagi kami, kalau hari ini dapat ikan, besok harus turun lagi untuk dapat hasil,” katanya.
Dia menilai, penggunaan trawl oleh sebagian nelayan justru mengancam keberlanjutan ekosistem laut dan merugikan nelayan tradisional. Ketimpangan ini bisa memicu konflik jika tidak segera ditangani oleh pemerintah.
“Jangan sampai hari ini kami bisa dapat ikan, lalu besok tidak bisa lagi. Hanya bisa memandang orang lain yang dapat hasil. Ini tidak adil,” ujarnya.
Rivi meminta pemerintah daerah dan pusat segera mengambil tindakan tegas. Baik dengan memperbaiki sistem distribusi hasil tangkapan ikan maupun menertibkan penggunaan alat tangkap yang merusak.
“Kalau nelayan dibiarkan terus seperti ini, yang ada bukan hanya kemiskinan, tapi juga potensi konflik sosial di lapangan,” pungkasnya.***