BERTUAHPOS.COM — Sektor perikanan dan kelautan di Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) yang luas, seharusnya menjadi sumber kemakmuran bagi masyarakat pesisir. Namun, para nelayan di wilayah ini justru dihadapkan pada berbagai persoalan yang semakin menyulitkan kehidupan mereka.
Para nelayan harus bersaing dengan nelayan dari luar yang Menggunakan alat tangkap ilegal, hingga harga jual hasil tangkapan yang rendah. Mereka terus berjuang di tengah tekanan ekonomi yang semakin berat.
Pandangan ini disampaikan oleh Ketua DPD Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Provinsi Riau, Junaidi. Dia menyebut, permasalahan nelayan di berbagai daerah, khususnya di pesisir Riau, sangat kompleks.
Hal yang sama juga terjadi di Rohil, di mana para nelayan harus menghadapi persaingan tidak sehat serta ancaman dari penggunaan alat tangkap ilegal.
“Penggunaan alat tangkap ilegal seperti pukat harimau dan bubu tarik masih menjadi ancaman serius bagi perairan Rohil. Praktik ini tidak hanya merusak ekosistem laut, tetapi juga mengancam populasi ikan yang menjadi sumber utama mata pencaharian nelayan,” ujar Junaidi, Rabu, 12 Februari 2025.
Ironisnya, lanjut Junaidi, penggunaan alat tangkap ilegal ini diduga dilakukan oleh nelayan dari luar Rohil. Akibatnya, nelayan setempat semakin sulit mendapatkan hasil tangkapan yang layak, sementara kerusakan ekosistem terus berlanjut.
Selain ancaman alat tangkap ilegal, nelayan Rohil juga dihadapkan pada kondisi ekonomi yang semakin sulit. Harga kebutuhan pokok terus merangkak naik, sementara harga jual hasil tangkapan justru mengalami penurunan drastis.
“Nelayan semakin terhimpit karena harga jual ikan yang rendah, bahkan sangat rendah. Sementara itu, biaya operasional, seperti bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang terbatas dan perlengkapan melaut, terus meningkat,” jelas Junaidi.
Kondisi ini membuat para nelayan semakin kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Mereka harus berjuang lebih keras, namun hasil yang didapatkan tidak sebanding dengan usaha yang dikeluarkan.
Tak hanya itu, konflik antara nelayan lokal dengan nelayan dari daerah lain juga menjadi persoalan yang terus berulang. Kurangnya pengawasan dan pengaturan yang jelas terhadap batas wilayah penangkapan ikan menjadi pemicu utama bentrokan di laut.
Selain itu, kerusakan lingkungan seperti pencemaran laut dan abrasi pantai semakin memperburuk situasi. Populasi ikan yang terus menurun akibat rusaknya habitat laut membuat nelayan semakin sulit mendapatkan tangkapan yang cukup untuk menopang kehidupan mereka.
“Kerusakan lingkungan ini berdampak langsung pada jumlah hasil tangkapan. Semakin sedikit ikan yang bisa ditangkap, semakin sulit pula kehidupan nelayan,” tambah Junaidi. Baca : Nelayan Ikan Asin di Rokan Hilir Keluhkan Keterbatasan Alat dan Harga Garam yang Tinggi
Di tengah berbagai permasalahan ini, para nelayan di Kabupaten Rohil berharap adanya perhatian lebih dari pemerintah, baik di tingkat daerah maupun pusat. Mereka menginginkan kebijakan yang lebih berpihak kepada nelayan kecil, termasuk perlindungan terhadap wilayah tangkap mereka, akses BBM bersubsidi yang lebih luas, serta upaya nyata dalam menekan penggunaan alat tangkap ilegal.
“Selama ini nelayan terus menyuarakan keluhan mereka, terutama soal harga jual hasil tangkapan yang rendah, sulitnya mendapatkan BBM bersubsidi, dan tingginya biaya operasional. Namun, upaya yang dilakukan masih dirasa belum cukup,” kata Junaidi.
Menurutnya, nelayan di sini membutuhkan solusi yang lebih komprehensif dan berkelanjutan agar mereka bisa hidup sejahtera dari hasil laut mereka sendiri, tanpa harus terus berjuang di tengah badai persoalan yang tak berujung.
“Nelayan Rohil tidak meminta lebih. Mereka hanya ingin kehidupan yang lebih layak dan masa depan yang lebih baik untuk keluarga mereka,” katanya.***