BERTUAHPOS.COM — Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat, Ahmad Khozinudin, menyampaikan kritik tajam terhadap langkah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) terkait permasalahan pagar laut.
Menurutnya, langkah pembongkaran pagar laut di Tangerang, Banten itu bukanlah sebuah prestasi, melainkan hanya pengakuan atas kegagalan negara dalam menjalankan fungsinya melindungi rakyat.
“Meski perlu diapresiasi kinerjanya, namun apa yang dilakukan BPN/ATR tentang pagar laut itu bukan sebuah prestasi. Ini sekadar konfirmasi bahwa negara gagal menjalankan fungsi pelayanannya terhadap rakyat, khususnya nelayan yang terhalang aksesnya ke sumber penghidupan mereka,” ujarnya dalam program ILC, yang tayang pada Kamis, 23 Januari 2024.
Ahmad juga menyoroti Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, belum memberikan kejelasan terkait parameter pencabutan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atau Sertifikat Hak Milik (SHM) di atas laut — yang dianggap melanggar aturan. Ia khawatir bahwa parameter evaluasi yang menggunakan garis pantai justru bisa dimanipulasi.
“Saya khawatir akan ada penyempitan atau perluasan batas pantai. Akibatnya, banyak SHGB ilegal yang akan diselamatkan dengan alasan berada di belakang garis pantai karena abrasi. Ini masih menjadi misteri, karena ATR/BPN hanya menjelaskan bahwa SHGB di luar garis pantai akan ditinjau atau dibatalkan, tapi tidak dijelaskan mana saja yang benar-benar dibatalkan,” ujarnya.
Ahmad meminta Kementerian ATR/BPN untuk lebih transparan dengan menyebutkan secara spesifik SHGB mana saja yang dibatalkan. Ia khawatir langkah ini hanya bersifat simbolis, dengan jumlah SHGB yang dibatalkan sangat kecil dibandingkan dengan jumlah yang sebenarnya bermasalah.
Selain itu, Ahmad juga mengkritik fokus Kementerian ATR pada satu lokasi, yaitu Desa Kohod, dalam menangani masalah pagar laut. Menurutnya, persoalan ini tidak hanya terjadi di satu desa, melainkan menyebar di banyak wilayah.
“Pagar laut ini bukan hanya di Desa Kohod. Asumsi kami, ada ratusan, ribuan, bahkan puluhan ribu SHGB yang diterbitkan di atas laut. Sayangnya, Kementerian ATR hanya mengekspos satu kasus di Desa Kohod, sementara banyak wilayah lain diabaikan,” katanya.
Perampasan tanah oleh pihak-pihak tertentu tidak hanya terjadi di kawasan laut, tetapi juga di darat. Berdasarkan data yang diterima dari para korban, perampasan mencakup area sungai, jembatan, hingga jalan, yang diambil alih oleh perusahaan properti besar.
“Ini bukan masalah baru. Perampasan tanah ini sudah terjadi sejak 2018, dan hingga kini belum ada tindakan tegas dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini,” tegasnya.
Ahmad menegaskan bahwa langkah Kementerian ATR/BPN sejauh ini belum menunjukkan keseriusan dalam menyelesaikan akar permasalahan, dan ia berharap pemerintah dapat lebih transparan, tegas, dan adil dalam menangani kasus-kasus ini.***