BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Konflik perkebunan antara masyarakat dan perusahaan di Provinsi Riau diyakini berakar dari masalah ketidakadilan. Begitu tanggapan Wakil Gubernur Riau Edy Natar Nasution.
“Sebagian besar konflik terjadi diawali dari adanya rasa ketidakadilan di tengah masyarakat yang berkonflik,” ujarnya.
Sebagian dari masyarakat merasa tidak mendapatkan timbal balik yang cukup atas tanah mereka yang hilang. Masyarakat dengan segala keterbatasan berupaya merebut keadilan itu dengan cara-cara mereka sendiri.
Dia juga mengakui cenderung cara perusahaan mendapatkan lahan tidak berlandaskan pada persetujuan dari masyarakat pada proses awal pembebasan lahan.
Padahal pada saat pembebasan lahan tersebut, pihak perusahaan wajib baik secara hukum maupun secara industri untuk mendapatkan persetujuan dari masyarakat.
“Namun tidak semua perusahaan yang ada ini telah melakukan upaya tersebut sehingga banyak sekali masyarakat yang merasa kecewa karena mereka merasa dicurangi,” ujarnya.
“Kemudian ada ketidakpuasan masyarakat dalam permasalahan bagi hasil, yang mana permasalahan ini sering muncul dalam hal penerimaan bagi hasil dalam plasma yang oleh masyarakat dirasakan sangat tidak memadai.”
Pihak perusahaan tidak merealisasikan lahan plasma sebagaimana yang telah dijanjikan di awal kesepakatan.
“Semua itu merupakan hasil dari temuan tim peneliti, meskipun dalam beberapa kasus lahan plasma sudah sudah terealisasikan sebagaimana yang dijanjikan,” tutur Edy Natar.
“Namun keuntungan yang diberikan kepada masyarakat dirasa sangat terlalu kecil,” sambungnya.
Hal itu bisa saja akibat koperasi yang dibentuk untuk mengelola plasma tidak sepenuhnya berfungsi dengan baik dan tidak tranparan dalam hal membagikan keuntungan yang didapat.
“Ini adalah masalah intern masyarakat itu sendiri tetapi imbasnya juga akan sampai kepada perusahaan bahkan sering juga berujung pada aksi demonstrasi yang dilakukan kepada pemerintah daerah baik kabupaten kota maupun provinsi,” ujarnya.
Hal seperti ini tidak akan terjadi jika pihak perusahaan bisa membangun komunikasi baik dengan masyarakat lokal tempat mereka beroperasi.
Hanya saja dalam banyak kasus pihak pemerintah sebatas berupaya untuk memfasilitasi pertemuan antara masyarakat yang berkonflik dengan pihak perusahaan. Tidak lebih dari itu.
Menurut Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), sebenarnya Pemprov Riau bisa melakukan upaya penyelesaian konflik tersebut dengan melakukan penertiban lahan-lahan perkebunan yang tercatat ilegal.
Upaya penertiban tersebut dapat dilakukan melalui pendataan ulang perusahaan tanpa izin yang menguasai lahan di Riau dan pemberian sanksi terhadap perusahaan yang terbukti membuka lahan sawit tanpa izin.
“Gubernur Riau, tidak perlu ragu karena upaya penertiban ini didukung oleh KPK, DPRD dan warga masyarakat, ini juga salah satu langkah pembenahan tata kelola sawit di Riau menuju Konsep Riau Hijau yang digadangkan oleh Gubernur,” jelas Aldo dari Jikalahari, seperti dikutip dari situs resmi NGO itu. (bpc2)