Oleh : H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM
Anggota DPRD Provinsi Riau
—
Pancasila kembali menjadi topik hangat ke sekian kalinya sejak periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Sayangnya diskursus lagi-lagi hampa, tanpa arah. Seumpama berteriak di ruang besar nan kosong dan gelap gulita: suara teriakan memantul ke arah sendiri dan ruangan tetap terasa sempit meski besar. Kali ini Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) pemicunya.
Meski RUU inisiatif DPR tersebut belum dibahas karena menunggu persetujuan pemerintah terlebih dahulu, namun masih di internal DPR RI sudah mendapat kritikan tajam dari berbagai pihak. MUI dan berbagai ormas keagamaan terbesar semisal NU dan Muhammadiyah secara tegas menolak pembahasan dilanjutkan. Adapun di lingkup internal DPR RI, penolakan juga digaungkan Fraksi PKS dengan tidak menandatangani dilanjutkannya pembahasan. Setidaknya ada tiga alasan utama yang mendasari kritikan:
Pertama, adanya pasal di RUU HIP mengandung upaya mendegradasi Pancasila. Dengan “memeras” menjadi trisila atau ekasila. Di pasal sama juga terdapat penyimpangan makna ketuhanan yang menyebut ciri pokok pancasila adalah “ketuhanan yang berkebudayaan”. Redaksi paling mendapat sorotan. Menyandingkan agama dengan berkebudayaan jelas ambigu bahkan keliru. Karena agama berasal dari Tuhan sedang budaya hasil upaya manusia.
Kedua, Pembahasan produk hukum kontroversi di tengah pandemi dinilai tidak bijaksana. Pikiran, waktu dan tenaga bangsa ini terus dibawa ke episode pergulatan ideologi tanpa ending tahun 45-60an. Padahal masalah utama bangsa ada di waktu sekarang dan masa depan. Banyak masalah urgen: mengevaluasi kebijakan dan menyempurnakan regulasi yang bisa memproteksi warga negara agar selamat dari ancaman wabah, isu kesehatan, sosial dan ekonomi serta menunggu narasi besar apa yang ditawarkan pemerintah terkait new normal. Lagipula, membahas topik menyinggung pondasi bangsa tak akan efektif di waktu sekarang, mengingat terbatasnya waktu untuk konsultasi publik. Karena harus melibatkan suara banyak pihak. Tidak bisa mengikuti alur pemikiran para elit politik semata.
Ketiga, Pancasila sebagai ideologi tak perlu lagi dibahas dan diutak-atik. Pancasila sebagai falsafah berbangsa dan bernegara bersifat final. Pancasila juga sudah mengikat setiap insan yang menyatakan diri sebagai warga negara Indonesia. Paling utama, Pancasila konsensus bersejarah yang memadukan pemikiran, sikap dan perbuatan yang dilebur dalam semangat toleransi dari para pendahulu bangsa. Secara realita dan kebutuhan, kita saat ini bukan darurat Pencasila. Tetapi darurat penegakan nilai-nilai pancasila dalam hidup bernegara dan berbangsa.
Quo Vadis Pancasila
“Kalau Pancasila itu ada, air kita gak beli. Lapangan kerja gampang… Kalau Pancasila ada, masak iuran kesehatan (BPJS) menjadikan masyarakat sampai kejet-kejet, gak boleh perpanjang SIM, paspor. Di mana Pancasilanya?”_ Sujiwo Tejo, Indonesia Lawyers Club (ILC) TVOne, Selasa (5/11/2019).
Celutukan segar tapi bermakna dari budayawan di atas perlu menjadi bahan renungan. Sekaligus evaluasi terhadap jalan berpikir terhadap Pancasila, yang beberapa tahun belakangan narasi yang dilemparkan ke publik begitu masif dan intensif. Tidak salah memang bicara tentang Pancasila, begitu pula mengampanyekannya.
Namun sangat keliru jika ada upaya mereduksi dan mendegradasi makna Pancasila bahkan coba memonopolinya. Terus terang, Pancasila seakan jadi komoditas politik. Bak tiket VVIP beri perlakuan istimewa bagi yang mengklaimnya. Sementara pihak lain diluar kelompok auto anti-Pancasila. Cukup rumit memahami alur berpikir seperti ini. Pancasila yang dihasilkan dari semangat toleransi dan pluralisme justru diklaim yang mengaku Pancasilais dengan cara intoleran.
Gagal paham soal Pancasila tersebut harus dihentikan. Jika tidak berbahaya bagi eksistensi NKRI. Dalam konteks RUU HIP, pemimpin negara dalam hal ini Presiden Joko Widodo harus mengambil sikap jelas dan tegas, mengingat pemerintah memiliki waktu 60 hari untuk setuju atau menolak pembahasan. Menarik dan menolak pembahasan RUU HIP karena berpotensi akan memecah belah bangsa adalah satu-satunya pilihan.
Selanjutnya dalam konteks lebih luas, mengingat Pancasila bukan simbol yang tampak secara fisik, bisa dirasa dan diraba, maka nilainya ditentukan dari implementasinya. Maka negara harus memberi contoh. Persoalannya justru selama di sini kelemahannya.
Mustahil mengharapkan rakyat memahami dan menerapkan nilai-nilai Pancasila tetapi kehadiran Pancasila itu tidak dirasakan dalam produk kebijakan pemerintahan.
Kembali ke celutukan budayawan tadi, apa yang disampaikannya adalah sekelumit persoalan mendasar yang justru ancaman nyata bagi eksistensi Pancasila itu sendiri. Persoalan keadilan sosial diantaranya paling dirasakan saat ini. Jangan berharap hukum berlaku adil bagi rakyat biasa, bahkan untuk selevel penegak hukum saja masih timpang.
Contoh kasus Novel Baswedan yang menuntut keadilan bagi cacat yang dideritanya sebagai konsekuensi menjalankan tugas negara dalam pemberantasan korupsi. Adapula kasus penanganan hukum yang parsial atau “tebang pilih” dan “pandang bulu”.
Hal-hal seperti ini merupakan isu sensitif ibarat bom waktu yang siap meledak kapan saja. Secara nyata, ini secara perlahan akan mengerus nilai Pancasila itu sendiri.***