BERTUAHPOS.COM – Tanda-tanda serius invasi Rusia ke Moldova semakin menguat setelah Presiden Vladimir Putin dan Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov mengisyaratkan campur tangan di wilayah Transnistria.
Komentar mereka menciptakan kekhawatiran di media sosial tentang potensi invasi Moskow ke negara-negara Eropa lainnya di masa depan.
Komentar Lavrov muncul pasca-pertemuan besar pekan lalu di Transnistria, wilayah yang memisahkan diri dari Moldova.
Para pejabat Transnistria secara resmi meminta bantuan Rusia dalam konflik dengan Moldova, menuduh negara itu melakukan “genosida.”
Hal ini menjadi pemicu kekhawatiran internasional, mengingat keterlibatan Rusia dalam konflik Ukraina pada Februari 2022.
Rusia terus mempertahankan ketegangan dengan negara-negara yang dulunya menjadi bagian Uni Soviet. Setelah invasi Ukraina, kekhawatiran muncul kembali akan potensi invasi ke wilayah lain yang pernah dikuasai, dengan Moldova sebagai target potensial.
Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, menimbulkan kekhawatiran dengan menyamakan Moldova dengan Ukraina sebelum invasi.
“Rezim di Chisinau membatalkan bahasa Rusia dan mendiskriminasi bahasa itu di semua bidang, serta melakukan tekanan ekonomi terhadap Transnistria,” ujarnya.
Perwakilan Kementerian Luar Negeri Rusia menyatakan Moskow akan “dengan hati-hati” mempertimbangkan permintaan Transnistria untuk melindungi warganya di wilayah tersebut.
Moldova mendapatkan status kandidat keanggotaan Uni Eropa pada 2022 dengan rencana untuk menjadi anggota pada 2030.
Pemerintah Rusia menentang keras negara-negara tetangga bergabung dengan organisasi seperti UE dan NATO, menganggapnya sebagai alasan tambahan untuk invasi Ukraina.
Presiden Moldova, Maia Sandu, sebelumnya menuduh Putin merencanakan kudeta untuk menggulingkan pemerintahan negaranya.
Analis Barat memperingatkan bahwa 1.500 tentara Rusia yang tetap di Transnistria dapat menjadi kekuatan yang dimanfaatkan dalam skenario tersebut, mengingat wilayah itu menjadi negara bagian yang tidak diakui pada 1990-an.
Situasi ini menimbulkan kekhawatiran dunia internasional terhadap potensi eskalasi konflik di Eropa Timur.***