Tak ada yang salah dengan wanita yang berjuang untuk mimpi dan karirnya. Tapi sebagai perempuan, jangan lupa dengan tugas sebagai istri dan seorang ibu.
———
Lipsus Hari Kartini (Bagian 5 – Selesai)
ITULAH MAKNA Hari Kartini yang jatuh pada Selasa 21 April 2020 ini, bagi Kartini, SKM. Sejak awal, disematkan nama Kartini kepadanya merupakan sebuah beban moral yang sangat dalam, bahwa dia harus meneruskan perjuangan Ibu Kartini untuk generasi seterusnya.
“Dulu, waktu saya masih remaja, saya berfikir bagaimana perjuangan Ibu Kartini tentang hak dan emansipasi wanita bisa terus dipertahankan dan berlanjut,” katanya.
Tak ada yang salah dengan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Sebab tujuannya jelas, agar kaum hawa tetap bisa mendiri dan berprestasi sesuai dengan bidang kemampuan yang digemari.
Menurut Kartini, semua agama bahkan sepakat, sebagai seorang wanita kita boleh berkarir. Tapi tetap menomorsatukan tugas-tugasnya sebagai perempuan. Sebaliknya, ketika kita sukses dalam karir tapi keluarga berantakan, apa artinya perjuangan Ibu Kartini. Justru Ibu Kartini akan bersedih dengan perjuangan emansipasi yang telah dia torehkan.
“Kita akui juga sekarang banyak perempuan kebablasan. Bablas mengejar prestasi dan cita-cita tapi melupakan kondratnya sebagai seorang wanita. Bahkan karena asyiknya berkarir, berapa banyak perempuan yang enggan menikah.”
Jikapun ada wanita yang punya karir tinggi dan dia telah menikah, kebanyakan keluarga dan anak-anaknya bermasalah. Karena kita (wanita) telah melupakan kondratnya sebagai perempuan. Sebagai seorang istri dan ibu, wanita harus dominan dalam peran itu dengan menjalankan tugas dan tanggungjawabnya terhadap keluarga.
Bagi anak-anaknya, sejatinya seorang ibu adalah pendidik utama. Bukan hanya sebatas mengurus, merawat dan memberi makan. Menurutnya, inilah yang sering dilupakan oleh para perempuan di luar sana.
Keluarga dan anak-anak adalah titipan. Saat kita dihisab, bukan karir yang akan dipertanyakan, tapi tanggungjawab kita sebagai istri dan ibu terhadap anak-anak.
“Saya memaknai Hari Kartini, bagaimana kita sebagai perempuan pencapaian karir, dan status sebagai istri dan ibu harus seirama,” ungkapnya. “Sehebat apapun kita, kalau keluarga berantakan, pasti akan menyesal.”
Teruntuk Kertini Milenial
“Kalau Kartini yang sudah tua ini bisa berhasil, Anda yang muda-muda jangan sampai memalukan. Anda harus lebih sukses dari saya.”
Kalimat ini semacam “wasiat” yang disampaikan Kartini, SMK untuk para wanita-wanita muda di luar sana. Bagaimana tidak, Kartini memulai karisnya sebagai pengusaha di usia 43 tahun. Usia yang tergolong tua memang. Tapi, semangat juangnya telah mematahkan segala anggapan bahwa usia tak pernah menjadi penghalang bagi wanita untuk hidup mandiri, sukses berkarir, namun keluarga dan anak tetap terjaga sebagaimana mestinya.
Tidak mudah memang. Rintangan demi rintangan selalu datang menghadang. Itu tidak lain hanya sebuah proses yang harus dilalui, hingga waktunya tiba, buah hasil dari perjuangan itu tinggal dinikmati.
“Saya berhenti PSN di usia 43. Di saat itulah saya baru mulai belajar kembali untuk menjadi seorang enterpreneur,” katanya.
Memang harus ada harga yang dibayar. Namun sejak awal dia sudah memantapkan diri bahwa hasil dari perjuangan ini akan berbuah manis. Baginya, tak masalah harus jungkir balik di usia itu. Sebab Kartini punya mimpi yang harus dicapai dalam hidupnya.
“Belajar kembali ilmu-ilmu tentang kehidupan, ilmu soal pengembangan diri. Sampai pada akhirnya saja sadar, bahwa kalau mau sukses memang harus punya ilmu,” ucapnya. (bpc3)