BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Bagaimana cara menikmati masa pensiun? Masa-masa ini, tak semua orang siap menghadapinya. Malah, banyak yang tidak punya rencana. Sebut saja usia produktif kisaran 58 – 60 tahun. Ada juga hingga usia 70 tahun, jika dia seorang professor atau guru besar di sebuah perguruan tinggi. Setelah itu mau apa lagi? Apalagi kalau sakit-sakitan pula.
Keculi kalau dia punya usaha produktif seperti peternakan, perkebunan, atau yayasan amal. Atau ia seorang yang produktif menulis, mengarang buku atau mengoleksi barang antik, maka dia akan sibuk dengan hobbinya.
Namun, kecemasan menghadapi pensiun tidak bikin pusing Idjang Tjarsono, seorang pensiunan dosen Fisip HI Universitas Riau (1987-2019) beberapa waktu lalu.
Di era 90 an, Idjang tamatan S1 Filsafat UGM tahun 1980 an itu terkenal energik mengajar. Kebetulan di era 90 an, sebagai dosen pengampu mata kuliah dasar umum (MKDU), ia diamanahkan mengajar mata kuliah tetap Filsafat Logika, kewiraan (kewarganegaraan kini) dan Pancasila.
Jadilah pakar dibidang filsafat. Kehidupan keluarganya tak banyak yang tahu, yang jelas Pria Purwekorto ini supel terhadap mahasiswa.
Terhitung sejak 18 Oktober 2019, Idjang menyusun rencana pensiunnya dengan membuat semi video musikal. Mixing potongan gambar dan video berdurasi hampir 4 menit.
Dalam tayangan video musikal tersebut Idjang menyusun syair ringan tentang kampung halaman di kaki Gunung Slamet Purwokerto.
Dengan aransemen yang sederhana, video musical yang digubah sendiri oleh pak dosen, jadilah rangkaian mini kisah tentang kampung halamannya Kampung Banjarsari Kulon, Purwokerto Kabupaten Banyumas. “Ah,… sekedar mengisi waktu pensiun saja,” kata Idjang dalam pesan singkatnya kepada Bertuahpos.
Baginya pensiun adalah suasana baru sekaligus bahagia.
“Satu bulan sebelum pensiun aku menyadari cinta pertamaku UGM dan cinta terakhirku Unri. Satu hari sebelum perpisahan aku meneteskan air mata, memandangi sahabat-sahabatku, karena persahabatan adalah anak kesayangan kemanusiaan.”
“Satu minggu sebelum aku berangkat ke Jawa aku tulis di FB, aku mampu melawan kebencian tapi aku nggak mampu melawan kenangan. Satu hari setelah di Jawa aku tulis lagi di FB, Selat Sunda mampu memisahkan Jawa Sumatera tapi tak mampu memisahkan persahabatan,” sambungnya.
Tiga bulan setelah pensiun dia kesepian. Seringkali jalan-jalan mengelilingi kaki gunung Slamet. “Aku semakin yakin kembali ke alam. Alam yang jujur , tempat merenung bagi mereka yang berakal,” kata Idjang dalam diarynya, persis bersamaan ketika ia menyusun syair kampung halaman. (bpc5)