BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Saat ini, orang Jepang dianggap sebagai masyarakat dengan tingkah laku sopan. Di beberapa kasus, terutama anak muda, orang Jepang malah tampak imut-imut.
“Ya, imut-imut dan cantik, orang Jepang. Sopan juga. Itu menurut saya sih,” ujar salah satu warga Gobah, Pekanbaru, Ferri.
Warga lainnya, Muji, yang berdomisili di Lima Puluh, juga menganggap masyarakat Jepang saat ini bisa menjadi panutan.
“Mereka disiplin, dan juga terkenal karena kesopanannya,” kata Mujianto.
Namun, pujian tersebut mungkin tak akan diberikan warga saat mengetahui kejamnya Jepang di Riau saat penjajahan dulu.
Saat Perang Dunia II, Jepang sangat membutuhkan batu bara demi keberhasilan Perang Asia Pasifik Raya. Namun, daerah penghasil batu bara berada di pedalaman Sumatera Barat, yaitu Sawahlunto.
Karena sangat membutuhkan batu bara, Jepang kemudian membangun rel kereta api, mulai dari Sawahlunto menuju Pekanbaru, yang nantinya akan diangkut ke Singapura melalui Sungai Siak.
“Nah, dalam proses pembuatan rel kereta api Sawahlunto – Pekanbaru ini, Jepang mengerahkan ribuan rakyat Indonesia untuk mempercepat penyelesaiannya. Jalurnya adalah Sawahlunto-Lubuk Ambacang-Logas-Lipat Kain-Pekanbaru,” jelas sejarawan Riau, Suwardi MS kepada bertuahpos.com.
Tidak sampai satu tahun, yaitu sejak dimulai pada tahun 1942, pembangunan rel kereta api ini sudah sampai di Lipat Kain. Rel kereta api ini menembus gunung dan bukit untuk bisa sampai ke Pekanbaru.
“Proses pembuatan rel kereta api inilah yang memakan sangat banyak korban. Tenaga kerja paksa ini, yang disebut romusha, dipaksa Jepang untuk terus keras untuk mencapai target penyelesaian,” lanjut Suwardi.
Logas kemudian menjadi saksi bisu kekejaman Jepang kepada para romusha ini. Tanah Logas yang berbatu dan berbukit sangat menyulitkan untuk membuat rel kereta api. Jepang, yang ingin proyeknya cepat selesai, terus memaksa para romusha bekerja tanpa henti.
“Puluhan ribu romusha yang meninggal di Logas. Mereka terus disuruh bekerja tanpa henti. Sampai ada cerita yang berkembang di penduduk sana, bahwa sering melihat mayat berjalan di rel kereta api itu,” paparnya.
Untuk mengenang puluhan ribu orang yang meninggal akibat kerja paksa itu, pemerintah kemudian membangunkan tugu peringatan. Para romusha ini juga diberi gelar pahlawan kerja.
“Itulah yang bisa kita lihat di Tugu Pahlawan Kerja, yang ada di Jalan Kaharuddin Nasution, Pekanbaru,” tutup Suwardi. (bpc4)